MUSAFIR mendapat keringanan untuk tidak berpuasa di bulan Ramadan . Hal ini sebagaimana firman Allah dalam surat Al Baqarah ayat 185 yang berbunyi: "Maka barang siapa di antara kamu dalam keadaan sakit atau sedang bepergian maka dia boleh meninggalkan puasa dan menggantinya di hari lain".
Prof Dr Wahbah Al Zuhaily dalam buku "The Islamic Jurisprudence and Evidences" menyebutkan safar yang memperbolehkan berbuka adalah safar yang berjarak minimal kira-kira 89 km. Safar ini, menurut jumhur (mayoritas) ulama, harus dilakukan sebelum terbitnya matahari.
"Jika dia telah berpuasa saat memulai perjalanan --karena dia memulai perjalanannya sehabis Subuh-- maka dia tidak boleh membatalkan puasanya," tulis Wahbah Al Zuhaily.
Kendati demikian, jika ternyata dia tidak mampu menuntaskan puasanya karena perjalanan yang amat melelahkan, maka dia boleh berbuka dan wajib mengqadha’nya, sebagaimana hadis riwayat Jabir:
"Bahwasanya Rasulullah berangkat menuju Makkah pada ‘Aam al-Fath. Sampai masuk kawasan Kurâ’ al-Ghamîm (nama sebuah jurang di Asfân, dataran tinggi Madinah) Nabi masih berpuasa, maka para sahabat pun ikut berpuasa. Kemudian Rasul mendengar laporan bahwa "rombongan sudah merasa amat berat untuk meneruskan puasa, hanya saja mereka menunggu apa yang dilakukan Rasul". Maka lantas Rasul mengajak meminum air sehabis Asar. Anggota rombongan pada memperhatikannya, ada sebagian yang ikut membatalkan puasa, dan sebagian lain ada yang masih tetap bertahan meneruskan puasanya. Setelah diberitahu bahwa masih ada yang berpuasa, maka Rasul pun bersabda: "Mereka yang tidak membatalkan puasanya itu orang-orang yang keras".
Hadis ini menunjukkan bahwa seorang musafir boleh berbuka dalam perjalanannya sekalipun dia sudah memulai puasanya pada hari itu.
Ulama Hambaliyah membolehkan musafir berbuka sekalipun dia baru memulai perjalanannya pada siang hari sebagaimana riwayat Abu Dawud dari Abu Bashrah Al-Ghiffâri yang pernah membatalkan puasanya dalam perjalanan, dan ia berkata bahwa "hal itu merupakan sunnah Rasul."
Ulama Syafi’iyah, ada satu syarat lagi yaitu hendaklah orang yang bepergian tersebut bukan termasuk orang yang selalu bepergian seperti sopir. Dia tidak boleh berbuka kecuali jika dia betul-betul menemui masyaqqah (kepayahan) yang luar biasa.
Jumhur ulama selain Hanafiyah ada dua syarat lain lagi, yaitu: Perjalanan yang dilakukan bukan untuk kemaksiatan. Tidak berniat untuk menetap di tempat tujuan selama 4 hari.
Ulama Malikiyah menambah syarat lain: berniat tidak berpuasa pada malam harinya. Seandainya seorang musafir telah memulai puasanya sampai pagi hari, lantas ia hendak membatalkannya? Menurut jumhur ulama hal itu tidak jadi soal dan dia tidak berdosa. Namun tetap wajib mengqadha’nya sebagaimana Rasul pernah melakukan hal yang sama, seperti yang ditunjukkan hadis di atas.
Sementara ulama Hanafiyah dan Malikiyah berpendapat bahwa hal itu tidak boleh dan ia berdosa jika melakukannya serta wajib mengqadha’nya dan membayar kafarat. Mana yang lebih baik bagi musafir, berpuasa atau tidak? Menurut ulama Hanafiyah, Malikiyah dan Syafi’iyah, berpuasa lebih baik jika tidak ada sebab yang mendesak untuk membatalkan puasa.
Hanafiyah menambahkan, bila sesama rombongan musafir pada membatalkan puasa, atau bekal mereka jadi satu, maka lebih baik membatalkan puasanya. Namun jika keadaan tidak memungkinkan untuk melanjutkan puasa maka wajib hukumnya membatalkan puasa.
Dalil yang melandasi pendapat mereka adalah firman Allah: "Dan berpuasalah karena itu lebih baik bagi kalian".
Lain lagi dengan Hanbaliyah yang men-sunnatkan untuk membatalkan puasa dan memakruhkan berpuasa sekalipun tidak ada masyaqqah sama sekali, berdasar sabda Rasulullah (dalam hadis di atas). "Mereka yang tidak membatalkan puasanya itu orang-orang yang keras."
Diperkuat lagi dengan riwayat Syaikhain Bukhari dan Muslim bahwa Rasul bersabda: "Berpuasa dalam perjalanan bukanlah termasuk perbuatan yang baik". Menurut Wahbah al-Zuheily, pendapat jumhur lebih bisa diterima, setidaknya karena dua alasan: (1) karena sesuai dengan firman Allah: "dan berpuasalah karena itu lebih baik bagi kalian", dan (2) kisah dalam hadis di atas terjadi saat ‘Aam al-Fath, yaitu ketika terjadi perang.
Editor : M Taufik Budi Nurcahyanto
Artikel Terkait