Batik dan Perca Menjadi Bahasa Desainer Gadis Disabilitas Madina Salma

Taufik Budi
Batik dan Perca Menjadi Bahasa Desainer Gadis Disabilitas Madina Salma (Taufik Budi)

SEMARANG, iNEWSJOGLOSEMAR.ID – Semangat berkarya tak mengenal batas bagi seorang gadis disabilitas Madina Salma Suraya. Di usia 28 tahun, perempuan asal Pedurungan Semarang ini menjadi salah satu desainer sekaligus dressmaker yang terus menembus batas keterbatasan.

Mengusung brand Madina Salma, ia telah menekuni dunia fesyen sejak 2022 dan kini dikenal luas melalui lini busana ready to wear yang estetik dan sarat makna. Produk-produk Madina tak hanya cantik secara visual, tetapi juga memiliki kekhasan tersendiri. Ia konsisten menggunakan batik dan kain perca dalam banyak rancangannya.

“Batik itu identitas budaya, dan kain perca menurut saya simbol keberlanjutan. Potongan-potongan kain yang dianggap sisa itu justru bisa jadi karya yang bermakna,” kata Madina, Selasa (11/2/2025).

Bagi Madina, perca bukan hanya bahan tambahan, melainkan elemen penting yang menyampaikan filosofi tentang harapan dan kehidupan baru. Kombinasi itu menjadi ciri khas busana rancangannya, mulai dari outer, kemeja kerja, hingga gaun pengantin yang ia buat secara custom untuk konsumen.

Ciri khas inilah yang membuat produk Madina Salma tak hanya menarik dari segi estetika, tetapi juga memiliki kedalaman nilai budaya dan sosial. Menurutnya, setiap kain punya cerita dan jejak, yang bisa dirangkai ulang dalam bentuk baru tanpa kehilangan makna awalnya.

Ketertarikannya pada fesyen berawal dari sang tante yang juga seorang desainer. Usai lulus dari SMA Islam Sultan Agung Semarang jurusan IPA, Madina mendapatkan hadiah mesin jahit pertamanya. Dari situ ia mulai belajar secara otodidak lewat YouTube, hingga akhirnya mendirikan brand sendiri.

“Saya mulai dari rumah, cuma punya mesin satu. Dulu hanya bikin pesanan tetangga. Tapi saya suka, dan terus belajar. Lalu tahun 2022 saya mulai serius, bikin brand sendiri,” kenangnya.

Kini, Madina mengelola bisnisnya bersama lima orang karyawan. Menariknya, salah satu di antaranya juga penyandang disabilitas tuli, yang merupakan adik kelasnya. Baginya, bekerja bersama teman disabilitas lain bukan hanya soal pemberdayaan, tapi juga membangun lingkungan yang saling memahami.

Proses pemesanan produk dilakukan sebagian besar melalui Instagram, mulai dari konsultasi desain hingga pengukuran. Konsumen bisa datang langsung ke tempat produksinya atau mengirim ukuran secara mandiri.

“Kalau pengukuran bisa dilakukan sendiri di rumah, tinggal dikirim via chat, nanti langsung saya buatkan,” ujar Madina.

Dalam proses itu, komunikasi jadi kunci. Meski belum bisa bahasa isyarat, Madina mengandalkan tulisan dan membaca gerak bibir untuk memahami kebutuhan pelanggan. “Kalau lewat teks aman. Kadang mama atau saudara juga bantu mendampingi kalau saya kesulitan,” katanya.

Tantangan terberat baginya justru terjadi saat pandemi Covid-19. “Semua orang pakai masker, saya jadi nggak bisa membaca gerak bibir. Waktu itu susah banget, jadi semua komunikasi pakai tulisan,” kenangnya.

Madina sendiri menyandang disabilitas sejak kecil dan tumbuh di sekolah umum, bukan SLB (Sekolah Luar Biasa). Ia mengaku pernah minder, terutama soal komunikasi. Tapi seiring waktu, ia berhasil mengatasi rasa itu dan membuktikan dirinya mampu berdiri sejajar dengan desainer lainnya.

“Saya enggak bisa dengar dengan jelas, tapi pakai alat bantu bisa sedikit-sedikit (mendengar). Sekarang saya lebih percaya diri. Saya ingin buktikan bahwa disabilitas bukan hambatan,” ujar Madina.

Perjalanan Madina makin berkembang sejak bergabung dalam program Rumah BUMN BRI tahun 2024. Ia tak hanya mendapat dukungan modal, tetapi juga pendampingan dan akses ke berbagai kegiatan ekspo nasional.

“Sebelum ada BRI, saya cuma promosi di Instagram. Setelah ikut program Rumah BUMN, saya bisa ikut pameran bareng Bhayangkari dan dapat klien dari Polda Jateng sampai Mabes Polri. Mereka pesan yang custom,” ungkapnya.

Selain itu, Madina juga difasilitasi alat pembayaran digital seperti QRIS dan EDC. “Kalau pakai QRIS, uang lebih cepat masuk ke rekening. Lebih praktis dan aman daripada tunai,” ujarnya.

Kini, brand Madina Salma bahkan telah menembus pasar internasional. Lewat komunitas UMKM binaan UNESCO, ia memperoleh klien dari luar negeri seperti Prancis, Singapura, dan Jepang.

Dengan omzet bulanan yang menembus angka Rp20 juta, Madina terus mengembangkan lini produknya. Harga busana buatannya pun bervariasi, dari Rp250 ribu untuk ready to wear, hingga Rp7 juta untuk gaun pengantin pasangan.

“Kita banyak produksi gaun pengantin juga, tapi yang sering dipamerkan itu yang ready to wear. Lebih praktis dan cocok untuk ekspo,” jelasnya.

Salah satu karya paling membekas bagi Madina adalah koleksi Setitik Culture Wear. Dalam proyek itu, ia berkolaborasi dengan pelukis asal Bali, Idayu. Batik dalam koleksi tersebut dilukis tangan dan mengambil inspirasi dari arsitektur kolonial di kawasan Kota Lama Semarang.

Kolaborasi lintas disiplin itu bukan hanya memperkuat karakter produknya, tetapi juga memperluas jejaring dan eksposur brand. “Saya suka kerja sama dengan seniman lain, apalagi kalau bisa eksplor budaya lokal,” tambahnya.

Tak hanya aktif berproduksi, Madina juga rajin mengikuti kompetisi fesyen. Ia pernah meraih juara 2 dalam Modeste Design Competition tingkat Jawa Tengah pada 2024.

Berbagai penghargaan itu tak hanya meningkatkan kredibilitas brand-nya, tetapi juga membuktikan bahwa karya desainer disabilitas punya kualitas dan daya saing tinggi.

Pendamping komunikasinya, sekaligus rekan sesama pelaku usaha rajut, Pradita Rahmawati, menjadi sosok penting dalam perjalanan Madina. Ia yang pertama kali merekomendasikan Madina untuk bergabung dengan program BRI.

“Saya lihat produk Madina punya potensi besar. Desainnya khas dan sudah dikenal sampai luar negeri. Sayang kalau tidak ikut komunitas ini,” ujar Pradita.

Madina kemudian dikenalkan kepada Endang Sulistyawati, Koordinator Rumah BUMN Semarang, yang merespons positif dan memfasilitasi pendaftaran ke program UMKM BRI. Madina dinilai sebagai contoh nyata bagaimana pelaku UMKM bisa tumbuh meski berangkat dari keterbatasan.

“Kami mendukung penuh. Produk Madina punya karakter kuat dan bisa jadi inspirasi bagi pelaku usaha lainnya,” ujar Tia sapaan akrabnya.

Tia mengungkapkan bahwa pihaknya saat ini membina lebih dari 7.000 pelaku UMKM dari berbagai wilayah di Jawa Tengah. Dari jumlah tersebut, sekitar 3.000 UMKM berasal dari Kota Semarang, menunjukkan peran aktif kota ini sebagai salah satu pusat pertumbuhan wirausaha lokal.

Rumah BUMN secara konsisten menyelenggarakan berbagai pelatihan untuk mendorong para pelaku UMKM agar mampu naik kelas. Program pembinaan ini meliputi berbagai aspek penting dalam pengembangan usaha, mulai dari digitalisasi hingga ekspansi pasar.

Yang menarik, Rumah BUMN bersifat terbuka dan inklusif. Pelaku UMKM penyandang disabilitas juga mendapat kesempatan yang sama untuk berpartisipasi dalam pelatihan, mengikuti pameran, serta memanfaatkan layanan digital seperti QRIS maupun BRImo.

“Di Rumah BUMN Semarang, kami rutin mengadakan pelatihan yang mencakup pemasaran digital, pengelolaan keuangan, peningkatan kualitas produk, hingga strategi ekspor ke pasar global,” terang Tia.

Ia menambahkan bahwa Rumah BUMN Semarang merupakan satu dari 54 titik yang tersebar di seluruh Indonesia. Tujuannya tak lain untuk mendorong UMKM agar mampu melangkah lebih jauh—go modern, go online, go digital, dan go export.

 

Editor : Enih Nurhaeni

Bagikan Artikel Ini
Konten di bawah ini disajikan oleh Advertiser. Jurnalis iNews Network tidak terlibat dalam materi konten ini.
News Update
Kanal
Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik Lebih Lanjut
MNC Portal
Live TV
MNC Network