SEMARANG, iNEWSJOGLOSEMAR.ID – Rajutannya bukan sekadar produk, melainkan kisah tentang kegigihan, cinta pada kerajinan, dan semangat yang tak pernah padam. Bu As menyalurkan hidupnya dalam setiap helai benang yang kini menjelajah hingga ke Australia dan Eropa.
Di sebuah sudut Jalan Jangli Tlawah, Candisari, Semarang, benang-benang harapan dirajut menjadi karya yang menembus batas waktu dan wilayah. Adalah Bu As—Sri Astuti, perempuan 63 tahun asal Bumiayu, Brebes—yang kini menjadi sosok penting di balik brand Asbag, tas rajut premium yang menyapa pasar global dari rumah sederhananya di Semarang.
Bu As memulai perjalanan bisnisnya dari nol. Dulu, ia bekerja sebagai staf di konsultan proyek pembangunan Jalan Semarang–Tegal. Setelah itu, ia menjajal dunia marketing multi-level hingga membantu usaha waralaba milik suaminya yang berasal dari Semarang. Namun, ketika suaminya terkena stroke dan berhenti bekerja, Bu As kembali merajut—secara harfiah dan maknawi.
Awalnya hanya hobi, rajutan tangan Bu As mulai dilirik pasar setelah adiknya membawa produk-produk ke kantornya. Ternyata banyak peminat. “Dari situ usaha ini berkembang,” kenangnya, ketika ditemui di kediamannya, Kamis (13/2/2025).
Tahun 2012 menjadi titik tolak, saat Bu As direkrut sebagai binaan CSR PT Taspen. Ia mulai aktif mengikuti pameran seperti Inacraft. Tahun 2014–2015, ia bergabung dengan Dinas Koperasi Kota Semarang dan berkesempatan ikut Tong Tong Fair di Belanda serta pameran nasional lain.
Kepercayaan terhadap Bu As terus tumbuh. Pada 2016, ia mulai diundang sebagai narasumber oleh Dinas Pendidikan Kota Semarang. “Lalu merambah Kudus, Kendal, hingga kementerian,” ujarnya bangga.
Teknik rajut Bu As berbeda. Ia memakai jaring (net) sebagai media dasar. Teknik ini ia pelajari dari salah satu wali murid di sekolah anaknya yang pernah belajar di Jepang. “Rajutan pakai jaring itu rapi, stabil, dan ringan. Enggak gampang berubah bentuk,” jelasnya.
Kuasai Ekspor
Tas Asbag juga sering dikombinasikan dengan kulit asli maupun kulit ecoprint. Desainnya elegan dan tidak butuh penyangga tambahan, cocok untuk pasar premium.
Bu As tidak sendiri. Ia memberdayakan empat ibu-ibu sekitar rumahnya untuk merajut dan dua laki-laki untuk bagian jahit. “Semua freelance, rata-rata usia 50-an,” katanya.
Ia juga aktif memberi pelatihan. “Saya pernah ngajar mahasiswa di UMKM Center. Tapi banyak yang menyerah, bilangnya sulit. Padahal volunteer Jepang-Inggris saja bisa,” ujarnya.
Produk Asbag telah dibawa konsumen ke Australia, Jerman, Belanda, Hongkong, bahkan Rusia. “Pelanggan saya di Australia punya pabrik benang di Bandung. Dia penasaran, kok saya beli banyak. Akhirnya datang ke sini,” kisahnya.
Meski produknya mendunia, Bu As enggan ekspor langsung. “Ribet urusannya. Kalau dibeli lalu dibawa ke luar negeri ya malah senang,” katanya santai.
Harga produknya variatif. Pouch tanpa kulit mulai dari Rp150 ribu. Tas kombinasi kulit ecoprint bisa mencapai Rp1,3 juta. “Kulit ecoprint itu mahal, dan pengerjaannya rumit,” jelasnya.
Sejak tahun 2015, Bu As mulai memanfaatkan program Kredit Usaha Rakyat (KUR) dari BRI dan menjadi bagian dari UMKM binaan Rumah BUMN Semarang. Untuk memperkuat pondasi usahanya, ia pertama kali mengambil pinjaman sebesar Rp20 juta dengan bunga ringan hanya 3 persen per tahun.
Setelah pinjaman pertama selesai, ia kembali melanjutkan ke tahap berikutnya dengan mengajukan pinjaman kedua sebesar Rp50 juta. "Setelah pinjaman selesai, saya ditawari lagi untuk pinjam. Hingga sampai sekarang masih ada pinjaman berjalan," tutur Bu As.
Tambahan modal tersebut dimanfaatkan secara maksimal untuk memperkuat lini produksi—mulai dari pengadaan alat hingga pembelian bahan baku. Seiring waktu, diversifikasi produk pun terjadi. Tas rajut yang awalnya sederhana kini berkembang menjadi beragam model seperti dompet rajut, tas kombinasi kulit, tas dengan sentuhan ecoprint, bahkan motif batik yang disesuaikan dengan selera pasar.
Lonjakan Pesanan
Langkah strategis Bu As dalam memanfaatkan fasilitas KUR BRI selaras dengan misi program tersebut: memperkuat permodalan, mendorong pengembangan usaha, dan meningkatkan akses pembiayaan UMKM dengan skema bunga yang terjangkau. Ia juga pernah ikut ajang Brilianpreneur meski belum lolos.
“Pelatihannya berguna banget. Dari branding sampai digital marketing,” ungkapnya.
Omzetnya bisa mencapai Rp50 juta per bulan saat ramai, dan Rp20 juta saat sepi. Lonjakan pesanan biasanya terjadi saat Imlek, Natal, dan masa pergantian jabatan pejabat. “Biasanya dipakai untuk suvenir atau kenang-kenangan pejabat yang pindah tugas,” terangnya.
Pasar lokal terbesar Asbag berasal dari Jakarta. “Kalau Semarang jarang. Mungkin karena harga saya dianggap mahal,” ujarnya.
Bu As rutin ikut pameran, terutama yang diadakan dinas atau pihak luar kota. “Waktu ada pelatihan sebuah hotel di Semarang belum lama ini, ada turis China sempat borong tas saya. Mereka suka rajut,” katanya.
Produk Asbag juga dipajang di Rumah BUMN Semarang. Bu As berharap bisa lebih sering diajak pameran. “Saya ingin kolaborasi. Tapi ya kita juga harus aktif,” tambahnya.
Bu As sendiri tak pernah berhenti menenun harapan lewat benang dan kreativitas. “Ini bukan cuma kerajinan, ini warisan dan peluang. Rajutan ini menyulam masa lalu, menjahit masa depan,” tandasnya.
Kini, ia mengandalkan QRIS dan m-banking untuk transaksi. “Langsung masuk rekening, nggak ribet cari uang kembalian,” ujarnya.
Koordinator Rumah BUMN Semarang, Endang Sulistiawati, menyebut bahwa pihaknya membina lebih dari 7.000 UMKM, termasuk 3.000 dari Kota Semarang. “Kami inklusif, UMKM disabilitas pun dapat hak sama dalam pelatihan dan akses digital,” ujar Tia sapaan akrabnya.
Tia juga menjelaskan, Rumah BUMN rutin mengadakan pelatihan pemasaran digital, pengelolaan keuangan, hingga strategi ekspor. “Kami ingin UMKM bisa go modern, go online, go digital, dan go export,” tutupnya.
Editor : Enih Nurhaeni
Artikel Terkait