get app
inews
Aa Text
Read Next : Badai Hantam Perairan Tanjung Emas Semarang, 3 Pemancing Tewas

Menguak Buzzer Politik: Siapa Mereka, Sebaran, dan Penggunanya

Sabtu, 23 Agustus 2025 | 14:41 WIB
header img
Menguak Buzzer Politik: Siapa Mereka, Sebaran, dan Penggunanya. Foto: Taufik Budi

SEMARANG, iNewsJoglosemar.id – Isu buzzer politik kembali mencuat setelah Universitas Diponegoro (Undip) bersama Universitas Amsterdam memaparkan hasil riset internasional dalam sebuah workshop di Semarang, Jumat (22/8/2025. Workshop ini mengkaji fenomena disinformasi, pasukan siber, dan operasi pengaruh digital yang kian marak di Asia Tenggara.

Forum ini juga menghadirkan akademisi dari berbagai negara, termasuk Belanda, Jepang, Australia, Amerika Serikat, Finlandia, serta sejumlah negara Asia Tenggara.

Wakil Rektor Bidang Riset, Inovasi, Kerja Sama, dan Komunikasi Publik Undip, Wijayanto, S.IP., M.Si., Ph.D., menyebutkan bahwa isu disinformasi menjadi salah satu masalah paling serius dunia saat ini.

“Ini adalah hari pertama dari satu workshop tentang isu yang sangat penting. Intinya hari ini tentang disinformasi, kabar bohong di media sosial, hoaks yang secara spesifik tentang buzzer, cyber troops, dan operasi pengaruh di Asia Tenggara. Ini masalah yang menurut UNESCO dan beberapa riset menjadi tantangan paling penting yang dihadapi umat manusia, bahkan lebih serius dari perubahan iklim,” ungkap Wijayanto.

Menurutnya, disinformasi membuat masyarakat tidak lagi percaya pada isu penting lain, termasuk krisis iklim. Karena itu, forum ini menjadi momentum penting bagi Undip untuk tampil sebagai salah satu pemimpin riset global di bidang demokrasi digital.

Dekan FISIP Undip, Dr. Drs. Teguh Yuwono, M.Pol.Admin., menambahkan bahwa dunia digital telah mengubah cara politik bekerja. Jika dulu pepatah “mulutmu harimaumu” berlaku, kini media sosial menjadikan “jari-jarimu adalah harimaumu”.

“Apa pun yang kita tulis, meski tanpa data atau fakta yang benar, bisa membunuh karakter orang lain, termasuk lawan politik. Pertarungan buzzer ini biasanya terorganisir, punya target tertentu, dan bisa terjadi di berbagai level, dari Pilpres, Pilkada, sampai grup WhatsApp,” tegas Teguh.

Ia menyebut fenomena buzzer sebagai “pedang bermata dua”: bisa dipakai untuk pendidikan publik, tapi juga untuk pembunuhan karakter dan polarisasi politik.

Siapa Pengguna Jasa Buzzer?

Penelitian yang dipaparkan dalam forum tersebut mengungkap bahwa ada empat faktor utama pengguna jasa buzzer: politisi, pebisnis, pemerintah, dan pihak-pihak yang menggabungkan keduanya.

“Siapa pelakunya mudah berganti, tergantung kasus dan isunya. Ada kalanya politisi, ada kalanya pebisnis. Bahkan dalam beberapa kasus, buzzer mengaku mendapat pendanaan dari kementerian. Apakah kementerian tahu buzzer yang turun ke lapangan? Itu sulit diverifikasi. Bisa jadi kampanye media sosial disalurkan ke pihak ketiga yang memakai buzzer. Jadi, indikasi itu ada,” jelas Wijayanto.

Buzzer ini, yang disebut juga pasukan siber, didefinisikan sebagai sekelompok aktor bayaran yang secara rahasia digaji untuk menggiring opini publik. Aktivitas mereka tidak hanya muncul saat pemilu, tetapi juga dalam mendukung kebijakan publik tertentu.

Contohnya, ketika Undang-Undang KPK direvisi, ada percakapan di media sosial yang mendukung langkah pemerintah. Menurut penelitian, sebagian dukungan itu lahir dari operasi siber yang dijalankan buzzer.

Dari Aktivis hingga Mahasiswa

Riset kolaborasi Undip dan University of Amsterdam menemukan bahwa pekerjaan sebagai buzzer telah menjadi industri tersendiri. Banyak pelakunya adalah anak muda berpendidikan tinggi, rata-rata sarjana, dengan usia sekitar 25 tahun.

“Informan kami paling banyak berada di Jakarta, tapi juga tersebar di banyak daerah. Ada yang awalnya aktivis, ada yang jurnalis, ada juga mahasiswa. Tapi sebagian besar lulusan perguruan tinggi. Mereka pintar, paham teknologi, fasih berbahasa, dan mengerti strategi politik,” ungkap Wijayanto.

Menurut Yatun Sastramidjaja, Direktur Magister Antropologi Budaya dan Sosial University of Amsterdam, banyak buzzer awalnya relawan partai atau simpatisan politik, namun kemudian bertransformasi menjadi tenaga profesional.

“Sekarang yang terpenting bagi mereka adalah bayaran. Mereka bekerja secara profesional, meskipun kadang masih ada ikatan ideologis atau simpati politik,” ujarnya.

Sebaran hingga Pengaruh

Prof. Ward Berenschot, pakar Antropologi Politik Komparatif University of Amsterdam, menyatakan bahwa riset lima tahun yang dilakukan bersama Undip menunjukkan fenomena buzzer di Indonesia adalah bagian dari industri global.

“Kami wawancara dengan pelaku industri ini untuk melihat cara kerja dan aliran dananya. Ternyata banyak politisi dan pebisnis yang mendanai tim siber untuk membentuk opini publik secara diam-diam. Yang membaca di media sosial tidak akan tahu bahwa itu konten berbayar. Ini berbahaya,” jelasnya.

Prof. Ward juga menemukan bahwa sejumlah akun buzzer termasuk dalam daftar akun paling berpengaruh di Twitter pada masa Pilpres. “Mereka berhasil mengarahkan debat publik dan menggiring opini pada topik tertentu,” tambahnya.

Tantangan Regulasi

Meski aktivitas buzzer berdampak serius pada demokrasi, hingga kini di Indonesia belum ada regulasi yang secara khusus mengatur praktik manipulasi opini publik.

“Kalau hukum formal di Indonesia, belum ada yang bisa menjerat praktik ini. Yang bisa dianggap kriminal hanyalah pencemaran nama baik atau isu agama. Tapi manipulasi opini publik belum ada aturannya,” kata Wijayanto.

Menurut para akademisi, ada tiga hal penting untuk menghadapi fenomena ini: peningkatan literasi digital warga, komitmen politisi untuk tidak menggunakan buzzer sebagai alat dukungan, serta transparansi algoritma media sosial agar ruang publik lebih terlindungi.

 

 

 

Editor : Enih Nurhaeni

Follow Whatsapp Channel iNews untuk update berita terbaru setiap hari! Follow
Lihat Berita Lainnya
iNews.id
iNews Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik lebih lanjut