Membaca Arah Energi Hijau dari Eksperimen Jadi Kebiasaan Baru
SEMARANG, iNewsJoglosemar.id — Suara mesin motor menderu di halaman SPBU Sultan Agung, Semarang, pagi awal pekan ini. Di antara deretan dispenser bahan bakar, nozzle warna ungu terang tampak menonjol - Pertamax Green 95 - menjadi simbol perubahan gaya hidup menuju energi bersih.
“Dulu waktu awal launching sekitar bulan Juni, penjualannya cuma 700 sampai 800 liter per hari. Sekarang sudah tembus 2 kiloliter,” ujar pengawas SPBU Sultan Agung 41.502.02, Ardi Indra Prasetya, saat ditemui iNews.id.
“Artinya masyarakat mulai percaya dan beralih dari Pertamax biasa ke Pertamax Green,” lanjutnya dengan nada optimistis, Senin (27/10/2025).
Kenaikan konsumsi bahan bakar berteknologi hijau ini bukan sekadar klaim. Berdasarkan Oil Movement Report SPBU Sultan Agung, peningkatan volume penjualan Pertamax Green memang sangat signifikan. Pada periode 1 hingga 8 Agustus 2025, penjualan tercatat sekitar 21.994 liter. Dua bulan kemudian, tepatnya pada periode 10 hingga 18 Oktober 2025, angkanya melonjak menjadi 39.843 liter atau hampir dua kali lipat.
Peningkatan itu menandakan pergeseran nyata dalam perilaku konsumen di tingkat pengguna akhir. Dalam periode yang sama, produk-produk lain memang juga mencatat kenaikan, tetapi tidak sebesar Pertamax Green. Bio Solar naik dari 18 ribu liter menjadi sekitar 27 ribu liter. Pertalite tumbuh dari 18 ribu menjadi 27 ribu liter. Pertamax meningkat dari 24 ribu menjadi 37 ribu liter. Sementara Pertamax Turbo naik dari 24 ribu menjadi 37 ribu liter. Namun, secara persentase, Pertamax Green mencatat kenaikan tertinggi—sekitar 81 persen.
“Pertamax Green ini dominan di kendaraan roda dua. Kalau mobil memang masih sedikit, tapi tren naiknya cepat,” jelas Ardi.
Menurutnya, banyak pelanggan yang awalnya sekadar ingin tahu kini menjadi pelanggan tetap. Mereka mengaku mesin terasa lebih halus dan bahan bakar lebih efisien.
SPBU Sultan Agung yang berlokasi di depan Kampus Akademi Kepolisian (Akpol) ini adalah yang pertama di Semarang yang menyediakan Pertamax Green 95. Pasokan bahan bakar ini datang langsung dari depot Pertamina Surabaya, karena untuk wilayah Jawa Tengah belum tersedia depot khusus.
“Pasokan dari Surabaya lancar, tidak ada kendala. Biasanya kami minta setiap tiga sampai empat hari sekali, sekitar 8 kiloliter (kL),” kata Ardi.
Dari sisi operasional, peningkatan penjualan juga berdampak pada skor bisnis SPBU yang terus membaik. Sistem pencatatan digital yang digunakan memudahkan pengawasan stok, pengiriman, dan laporan penjualan harian.
“Kami pantau langsung lewat sistem, jadi lebih transparan dan cepat. Dari sisi kinerja, jauh lebih baik dibanding bulan-bulan sebelumnya,” ujarnya.
Selain mengusung energi hijau, SPBU Sultan Agung juga bertransformasi menuju sistem pelayanan digital. Hampir seluruh transaksi kini bisa dilakukan secara non-tunai. Konsumen dapat membayar menggunakan QRIS, EDC, atau aplikasi MyPertamina.
“Kebanyakan pelanggan sekarang pakai MyPertamina karena ada banyak promo dan lebih praktis,” tambah Ardi.
Transformasi layanan ini memperlihatkan konsep energi bersih berjalan beriringan dengan modernisasi sistem pembayaran. Langkah seperti ini penting untuk mendorong masyarakat beradaptasi dengan gaya hidup baru yang lebih efisien dan ramah lingkungan.
Target Melonjak
Area Manager Communication, Relations, and Corporate Social Responsibility (CSR) PT Pertamina Patra Niaga Jawa Bagian Tengah, Taufiq Kurniawan, mengungkapkan bahwa antusiasme masyarakat terhadap Pertamax Green tumbuh pesat dalam waktu singkat.
“Konsumsi Pertamax Green di Jateng dan DIY tercatat meningkat signifikan, mencapai 336 persen dari target tahun 2025 sebesar 512 kiloliter. Saat ini outletnya tersebar di 15 SPBU se-Jateng dan DIY, Dan jumlah ini akan terus bertambah nanti hingga tahun 2026, karena permintaannya meningkat,” imbuhnya.
Menurutnya, pertumbuhan itu bukan semata hasil promosi, melainkan juga pengalaman langsung para pengguna yang merasakan manfaatnya. “Selain sosialisasi, customer experience itu penting. Banyak yang menyampaikan pengalaman berkendara dengan Pertamax Green terasa lebih irit,” imbuhnya.
Yang menarik, lanjut Taufiq, sebagian besar konsumen awal justru berasal dari kalangan pengemudi ojek online. Mereka adalah kelompok masyarakat yang sangat menghitung efisiensi biaya bahan bakar.
“Para pengemudi ojek ini setiap hari memutar roda ekonomi. Karena merasakan perbedaan konsumsi bahan bakar yang lebih hemat, akhirnya mereka beralih ke Pertamax Green. Efek domino-nya, konsumen lain ikut mengikuti,” ujarnya.
Di kota seperti Semarang, jumlah pengemudi ojek online aktif diperkirakan sekitar 40 ribu pengemudi, berdasarkan data dari Dinas Perhubungan Jawa Tengah. Mereka menjadi salah satu segmen awal yang berpotensi besar untuk adopsi BBM seperti Pertamax Green karena sensitivitasnya terhadap biaya operasional harian.
Secara teknis, Pertamax Green merupakan bahan bakar hasil pencampuran antara Pertamax dengan bioetanol (E5) yang bersumber dari tebu lokal. Kandungan etanol tersebut tidak hanya menurunkan emisi gas buang, tetapi juga membantu pembakaran lebih sempurna di mesin kendaraan.
“Masyarakat tidak perlu khawatir. Para ahli sudah menyatakan etanol aman untuk mesin. Justru pembakarannya lebih maksimal dan ramah lingkungan,” kata Taufiq.
Dari sisi ekonomi, penerapan bioetanol juga memberi dampak langsung bagi petani lokal. Sebagian bahan baku tebu kini tidak hanya digunakan untuk industri gula, tetapi juga diserap untuk kebutuhan energi.
“Kami ingin memperkuat ketahanan pangan dan energi sekaligus, dengan memberdayakan petani tebu agar hasilnya bisa di-offtake oleh sektor bahan bakar,” jelas Taufiq.
Berdasarkan laporan Direktorat Bioenergi Kementerian Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM/2024), kapasitas terpasang produksi bioetanol nasional mencapai 303.325 kiloliter, namun realisasi produksi hanya sekitar 160.946 kL ditambah impor 11.829 kL. Sementara, penelitian di ITB menyebut potensi produksi bioetanol berbasis gula tebu mencapai 150 juta liter per tahun sebagai target awal.
Beberapa pabrik bioetanol aktif yang sering disebut adalah: PG Madukismo (DIY), PG Rejo Agung (Madiun), dan PG Gempolkrep (Mojokerto) — yang memproduksi tetes tebu dan molase untuk bioetanol nasional.
Di wilayah Jawa Tengah–DIY tercatat terdapat sekitar 1.097 SPBU yang beroperasi (data dari asosiasi SPBU regional). Sehingga kehadiran 15 outlet yang menjual Pertamax Green sudah merupakan langkah awal yang cukup signifikan di daerah itu.
Sementara Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) mencatat bahwa pada 29 Oktober 2025 pukul 19.00 WIB, konsentrasi PM2.5 di Semarang sebesar 24,6 µg/m³ masuk kategori “Sedang”. Dengan kualitas udara tersebut, kondisi ini memperkuat urgensi adopsi bahan bakar rendah emisi. Pemerintah menargetkan penurunan emisi karbon sebesar 358 juta ton CO₂ pada 2030 di sektor energi, sebagaimana tertuang dalam Enhanced NDC (Dokumen Komitmen Paris Agreement).
Menurut rencana bisnis biofuel PT Pertamina Patra Niaga, hingga akhir 2025 perusahaan menargetkan sekitar 100 SPBU di seluruh Indonesia menjual Pertamax Green 95. Selain itu, pada tahun 2026, ditargetkan penggunaan campuran etanol yang lebih tinggi, misalnya E10 (10%) di beberapa kota besar sebagai fase lanjutan transisi.
Kesadaran Lingkungan Meningkat
Antusiasme warga terhadap bahan bakar ramah lingkungan itu terus meningkat. Sejumlah pengguna mengaku, bukan hanya karena faktor lingkungan, tetapi juga karena performa kendaraan yang lebih baik dan pengalaman baru dalam pelayanan digital di SPBU.
Salah satunya Ilham Aksa, seorang pemotor yang rutin mengisi Pertamax Green senilai Rp20 ribu di SPBU Sultan Agung yang melayani self service. Ia bercerita, transaksi kini bisa dilakukan dengan mudah menggunakan sistem digital seperti QRIS, tanpa harus membawa uang tunai.
“BBM Pertamax Green ini sangat ramah lingkungan. Tarikan motor jadi lebih enteng, mesinnya terasa lebih bersih, dan performanya lebih halus,” ujar Aksa, yang sudah menggunakan Pertamax Green sejak pertama kali diluncurkan pada Juli lalu.
Menurut Aksa, meskipun harga Pertamax Green sedikit lebih tinggi dibanding jenis BBM lain, ia tidak mempermasalahkannya. “Kalau soal harga, enggak apa-apa. Yang penting kendaraan enak dipakai dan lebih ramah lingkungan. Saya malah ingin masyarakat lain juga mencoba, terutama di Kota Semarang,” tambahnya.
Kesan positif juga datang dari Rio Baskoro, pengguna mobil pribadi yang baru pertama kali mencoba Pertamax Green saat peluncuran perdana di Semarang. Ia mengaku terkejut dengan hasil uji emisi kendaraannya.
“Tadi saya coba uji emisi, hasilnya jauh banget bedanya. Emisi gas buang jauh lebih rendah, udara juga lebih aman,” tuturnya.
Rio menilai harga Pertamax Green masih terjangkau dibanding manfaatnya. Ia bahkan mengusulkan agar BBM ini lebih luas digunakan. “Menurut saya, sebaiknya masyarakat mulai beralih ke Pertamax Green. Harganya masuk akal, dan manfaatnya terasa banget,” ujarnya usai mengisi bahan bakar senilai Rp300 ribu.
Region Head Astra Motor Jawa Tengah, Ronaldo Wijaya, menegaskan bahwa masyarakat tidak perlu khawatir terhadap penggunaan bahan bakar campuran etanol seperti Pertamax Green. Menurutnya, seluruh mesin motor Honda, baik model lama maupun keluaran terbaru, telah melalui uji kompatibilitas terhadap bahan bakar E5 hingga E10 (campuran etanol 5–10 persen).
“Mesin Anda aman, teknologi kami mendukung, jadi tidak perlu khawatir,” ujarnya dalam peluncuran New Honda ADV 160 di Solo, 18 Oktober 2025.
Ronaldo menjelaskan, pemerintah Indonesia tengah mendorong percepatan program bahan bakar nabati (bioetanol) sebagai bagian dari strategi transisi energi. Saat ini, implementasi BBM E5 sudah berjalan di sejumlah SPBU, dan rencana penerapan E10 sedang dikaji oleh Kementerian ESDM.
“Teknologi injeksi yang kita gunakan sudah dilengkapi sensor canggih dan filter bensin berstandar internasional. Bahkan, injektor motor Honda sekarang sudah punya sistem adaptif untuk campuran etanol,” jelas Ronaldo.
Ia menambahkan, faktor penting bukan hanya pada jenis bahan bakar, tetapi juga pada perawatan berkala. “Banyak kasus motor dianggap bermasalah karena BBM, padahal filter bensinnya tidak pernah diganti. Jadi yang utama adalah disiplin servis,” ujarnya menekankan.
Ronaldo juga mengungkapkan bahwa Astra Motor telah berkoordinasi dengan pabrikan dan dealer resmi di Jawa Tengah untuk melakukan sosialisasi BBM etanol kepada konsumen. “Kami siap mendukung kebijakan energi hijau pemerintah. Jika nanti diberlakukan E10 secara nasional, Honda sudah siap dari sisi teknologi maupun layanan purnajualnya,” tandasnya.
Penggunaan bahan bakar campuran etanol seperti E5 memiliki manfaat untuk lingkungan. Studi-internasional menyebut bahwa campuran etanol dapat mengurangi emisi CO₂ sekitar 3–5% dibanding bensin fosil murni untuk kondisi kendaraan tertentu.
Jika misalnya 1 juta kendaraan beralih menggunakan produk seperti Pertamax Green, maka secara hipotetis dapat menghemat emisi hingga sekitar 120.000 ton CO₂ per tahun — asumsi yang digunakan untuk skala besar dan mengacu pada pengurangan intensitas emisi.
Lompatan Energi Baru
Pemerintah Indonesia melalui Kementerian ESDM dan dokumen Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) menetapkan bahwa bauran energi dari sumber terbarukan (EBT) ditargetkan mencapai 23% pada tahun 2025.
Dalam kerangka kebijakan biofuel nasional, produk seperti Pertamax Green termasuk bagian dari roadmap bioetanol yang dikeluarkan pemerintah dan badan usaha energi, yang bertujuan mengintegrasikan campuran etanol ke dalam BBM reguler untuk memperkuat transisi energi.
Pakar ekonomi Universitas Diponegoro, Dr. Jaka Aminata, menilai kehadiran Pertamax Green menjadi tonggak penting dalam perjalanan transisi energi Indonesia. Menurutnya, meskipun baru mengandung 5 persen bioetanol (E5), bahan bakar ini sudah membawa perubahan terhadap pengurangan emisi transportasi darat dan ketahanan energi nasional.
“Pertamax Green menggantikan sebagian bensin fosil dengan bioetanol berbasis tetes tebu yang berasal dari biomassa. Artinya, karbon yang dilepaskan saat pembakaran telah diimbangi dengan penyerapan CO₂ oleh tebu ketika tumbuh,” ujarnya.
Dengan prinsip life cycle assessment, Pertamax Green sudah menurunkan intensitas emisi gas buang tanpa menunggu elektrifikasi kendaraan secara penuh. Dari sisi ketahanan energi, Jaka menegaskan bahwa penggunaan etanol dari bahan baku lokal merupakan strategi untuk mengurangi ketergantungan terhadap impor minyak mentah dan BBM.
Indonesia selama ini masih defisit di neraca migas akibat tingginya impor bensin untuk sektor transportasi. “Setiap liter Pertamax Green berarti sedikit penghematan devisa, karena sebagian energi kendaraan diganti oleh bahan bakar domestik dari hasil tebu lokal, bukan dari impor,” katanya.
Selain itu, Pertamina bekerja sama dengan BUMN perkebunan untuk memasok bioetanol fuel grade, sehingga rantai pasok energi kini tersambung dengan sektor pertanian. “Ini bukan sekadar produk hijau, tapi juga kebijakan industri yang memperkuat ekonomi lokal dan ketahanan energi nasional,” tegasnya.
Secara makroekonomi, dampak Pertamax Green mulai terlihat dalam dua aspek: efisiensi energi dan pengurangan tekanan subsidi BBM. Dengan angka oktan tinggi (RON 95), Pertamax Green memberikan pembakaran lebih sempurna, sehingga konsumsi BBM per kilometer bisa lebih irit.
Di sisi fiskal, jika masyarakat beralih dari BBM bersubsidi seperti Pertalite ke BBM non-subsidi ramah lingkungan, maka beban subsidi negara bisa ditekan. Meski begitu, ia mengingatkan bahwa skala distribusi Pertamax Green masih kecil, sehingga dampaknya baru terasa secara gradual — bukan revolusioner.
“Selama ini subsidi BBM menjadi tekanan besar APBN. Pertamax Green menawarkan jalan tengah: tetap non-subsidi tapi lebih ramah lingkungan,” jelas Jaka.
Jaka menambahkan, tantangan terbesar adalah perilaku konsumen. Harga Pertamax Green saat ini sekitar Rp13.000 per liter, sedikit lebih mahal dari Pertamax (Rp12.200) dan jauh di atas Pertalite (Rp10.000).
“Untuk pengguna kendaraan menengah-atas, selisih Rp800 tidak signifikan. Tapi bagi pengguna motor harian, selisih Rp3.000 bisa terasa berat,” paparnya.
Karena itu, transisi besar-besaran ke BBM hijau perlu dilakukan bertahap: dimulai dari segmen menengah-atas, sambil memperkuat kapasitas produksi bioetanol agar harga bisa ditekan. “Pertamax Green ini bukan tujuan akhir, melainkan batu loncatan. Indonesia sedang belajar memproduksi dan memakai biofuel sendiri sebelum beralih penuh ke kendaraan listrik,” tutupnya..
Editor : Enih Nurhaeni