Ekspedisi Patriot UNDIP Ungkap Sawit Melimpah tapi Jalan Rusak Hambat Ekonomi Donggala
DONGGALA, iNewsJoglosemar.id — Ekspedisi Patriot Universitas Diponegoro (UNDIP) menemukan persoalan serius terkait perkebunan sawit di Kecamatan Rio Pakava, Kabupaten Donggala, Sulawesi Tengah. Dalam Focus Group Discussion (FGD) yang digelar Tim 2 Ekspedisi Patriot, terungkap dua masalah utama: jalan rusak dan sengketa lahan, yang membuat potensi sawit melimpah di wilayah ini tidak berkembang maksimal.
FGD yang digelar di Kantor Kecamatan Rio Pakava itu mempertemukan unsur pemerintah kecamatan, perangkat desa, kelompok transmigran, sampai petani. Forum ini membahas desain pengembangan komoditas unggulan sekaligus mengurai berbagai kendala di kawasan transmigrasi Lalundu dan Bambakaenu.
Berbagai persoalan klasik muncul kembali dalam forum tersebut. Mulai dari potensi pertanian, infrastruktur jalan-jembatan, hingga batas wilayah yang tidak jelas dan sertifikat lahan yang belum tuntas. Situasi inilah yang dinilai menghambat investasi dan melambatkan ekonomi masyarakat transmigran.
Kepala Desa Bukit Indah, Sukarjoni, menegaskan bahwa ketidakpastian lahan dan kondisi infrastruktur menjadi hambatan besar bagi para petani maupun investor.
“Permasalahan infrastruktur jalan harus diperhatikan dan diprioritaskan. Kalau jalan dan sertifikat lahan belum beres, investor tidak akan berani masuk. Padahal potensi pertanian dan perkebunan sawit di kawasan ini sangat besar, tapi kondisi jalannya bikin rugi,” ungkapnya.
Rio Pakava memiliki hamparan sawit yang luas, namun hasilnya tidak maksimal karena buruknya akses transportasi. Jalan yang berlubang dan jembatan rusak membuat biaya angkut melonjak, menyebabkan harga tandan buah segar (TBS) tertekan dan lebih rendah dibanding daerah sentra sawit lain seperti Sumatera dan Kalimantan.
FGD juga mencatat bahwa sekitar 40% tanaman sawit berasal dari bibit cabutan, bibit non-sertifikasi yang membuat produktivitas menurun. Petani berharap pemerintah melibatkan diri dalam penyediaan bibit unggul agar sawit lokal dapat bersaing.
Masalah lain adalah kelangkaan pupuk dan harga yang tinggi. Petani sawit di Rio Pakava tidak mendapatkan pupuk bersubsidi, sedangkan pupuk non-subsidi dibanderol tiga hingga empat kali lipat.
“Harga sawit di sini paling rendah, tapi harga pupuk paling mahal. Kami berharap ada perubahan regulasi terkait pupuk subsidi dari Kementerian Pertanian agar lebih adil bagi petani sawit,” kata Widayat, A.Md., dari BPP Rio Pakava.
Meski tekanan ekonomi cukup berat, semangat petani transmigran tetap kuat. Mereka berusaha mempertahankan usaha tani sambil membuka peluang komoditas baru. Untuk mendukung hal ini, Tim Ekspedisi Patriot UNDIP melakukan pengambilan sampel tanah untuk diuji di laboratorium. Hasilnya akan digunakan untuk menentukan jenis komoditas potensial jangka menengah dan panjang.
Tim yang terdiri atas Muhammad Iqbal Fauzan, S.P., M.Si., Muhammad Naufal, Nafachani Timmu Nafsi, S.P., Sholikatul Azizah Nur Fitriani, S.P.W.K., serta Arla Disayna Azzahra Yuniaz, S.A.P., berkomitmen menyajikan data ilmiah sebagai dasar kebijakan pembangunan transmigrasi berbasis potensi lokal.
Ketua Tim 2 Ekspedisi Patriot UNDIP, Muhammad Iqbal Fauzan, S.P., M.Si., menyebut bahwa kegiatan ini adalah batu loncatan penting dalam kerja sama lintas pihak.
“Kegiatan ini merupakan awal dari kolaborasi antara masyarakat, pemerintah daerah, dan kementerian agar kawasan transmigrasi Rio Pakava dapat tumbuh menjadi pusat ekonomi baru berbasis potensi komoditas pertanian unggulan,” ujarnya.
Hasil temuan lapangan ini akan dikirimkan sebagai rekomendasi kepada Kementerian Transmigrasi, mencakup perbaikan jalan dan jembatan, penyelesaian sengketa lahan, hingga penguatan komoditas unggulan.
Ekspedisi Patriot UNDIP turut mendukung SDG 11 (Kota dan Permukiman Berkelanjutan) dan SDG 8 (Pekerjaan Layak dan Pertumbuhan Ekonomi), dengan mendorong tata kelola wilayah dan potensi lokal berbasis komoditas pertanian.
Editor : Enih Nurhaeni