SEMARANG, iNEWSJOGLOSEMAR.ID – Langkah kecil sering kali menjadi awal dari perubahan besar. Hal ini dirasakan oleh Ratna Pertiwi (38), seorang mantan pegawai bank yang kini sukses mengembangkan bisnis jajanan "Pentol Soultan" dengan konsep ramah lingkungan.
Berkat inovasi digital Livin’ Merchant dari Bank Mandiri, usahanya yang dimulai dari skala rumahan kini telah berkembang hingga memiliki tiga cabang di Semarang. Ratna, lulusan Teknik Lingkungan Universitas Diponegoro, memiliki kepedulian terhadap lingkungan yang tinggi.
Ketika memulai usaha pentol pada 2020, ibu dua anak itu memilih menggunakan kemasan kertas untuk wadah jualannya. Meski biaya produksi lebih mahal dibandingkan kemasan plastik, ia tetap berkomitmen.
“Saya ingin usaha ini tidak hanya sekadar mencari keuntungan, tetapi juga berdampak baik bagi lingkungan. Memang harga cup kertas lebih mahal, satu cup pentol saya jual Rp20.000, sementara kalau pakai plastik bisa lebih murah, sekitar Rp10.000–15.000. Tapi saya percaya, konsumen semakin sadar akan pentingnya penggunaan kemasan ramah lingkungan,” ujar Ratna, Jumat (28/2/2025).
Berkembang dengan Digitalisasi
Selain konsisten dalam penggunaan kemasan ramah lingkungan, Ratna juga memanfaatkan inovasi digital untuk mendukung bisnisnya. Ia mulai menggunakan aplikasi Livin’ Merchant dari Bank Mandiri untuk mencatat transaksi, baik pemasukan maupun pengeluaran usaha.
“Dulu saya mencatat transaksi manual, tapi setelah menggunakan Livin’ Merchant, semuanya lebih mudah. Pencatatan transaksi otomatis, baik dari pembelian bahan baku, penjualan ke pelanggan, hingga stok barang. Bahkan dengan transaksi yang tercatat jelas, saya bisa mendapatkan akses pembiayaan lebih mudah dari Bank Mandiri,” jelasnya.
Pentol menjadi pilihan usaha yang menarik karena proses pembuatannya relatif cepat dan dapat disajikan dengan praktis kepada konsumen. Dengan waktu produksi yang efisien, penjual dapat melayani pelanggan dengan cepat tanpa perlu menunggu lama. Jika ada sisa produk yang belum terjual, pentol dapat disimpan dalam lemari es dan tetap terjaga kualitasnya, sehingga meminimalkan potensi kerugian akibat makanan yang terbuang.
Selain kepraktisannya, pentol juga memiliki pasar yang luas karena digemari oleh berbagai kalangan, mulai dari anak-anak hingga orang dewasa. Dalam sehari, produksi pentol di tiga cabang usaha bisa mencapai sekitar 50 kilogram, yang kemudian didistribusikan ke berbagai titik penjualan. Dengan permintaan yang terus meningkat, usaha ini pun semakin berkembang dan mampu menjangkau lebih banyak pelanggan.
Berkat pencatatan transaksi yang rapi melalui Livin’ Merchant, Ratna berhasil mengajukan pembiayaan di Bank Mandiri untuk mengembangkan usahanya. Dana yang diperoleh digunakan untuk membuka cabang baru di berbagai lokasi strategis di Kota Semarang, yaitu Ketileng, Lamper, dan Pleburan.
“Saya tidak menyangka bisa membuka tiga cabang dalam waktu singkat. Awalnya saya hanya berjualan di rumah, tapi dengan pencatatan digital yang rapi, Bank Mandiri bisa melihat omzet saya dan memberikan akses pembiayaan. Ini benar-benar membantu saya berkembang,” ujar Ratna.
Di setiap cabangnya, Ratna memastikan bahwa standar produksi tetap terjaga. Dalam sehari, usahanya mampu memproduksi hingga satu kuintal pentol, yang dijual dalam berbagai kemasan. Untuk menjaga efisiensi, ia juga mulai menggunakan mesin dalam produksi.
“Harapan saya, semakin banyak UMKM yang menyadari pentingnya pencatatan keuangan yang baik dan penggunaan kemasan ramah lingkungan. Dengan langkah kecil ini, kita bisa berkontribusi untuk lingkungan sekaligus mengembangkan bisnis,” tutur Ratna.
Praktis dan Gratis
Bank Mandiri mencatat, hingga Desember 2024, pengguna aplikasi Livin’ Merchant di Jawa Tengah telah mencapai 3,2 juta pengguna. Dari jumlah tersebut, sebanyak 228.000 merupakan UMKM yang telah memanfaatkan aplikasi ini dalam operasional mereka.
"Fitur Livin’ Merchant yang paling banyak digunakan adalah layanan QRIS. Ini karena sistem ini sangat praktis dan gratis. Pelaku UMKM tidak perlu repot menyediakan uang kembalian, sementara konsumen juga merasa lebih nyaman dengan pembayaran digital," ungkap Andhika Hendro Dwiantoro, Transaction Banking Retail Head Bank Mandiri Region VII/Jawa 2.
Bank Mandiri telah menghadirkan dua inovasi digital utama untuk mendukung transaksi keuangan masyarakat, yaitu EDC (Electronic Data Capture) dan Livin’ Merchant. "Namun, dari kedua inovasi tersebut, yang paling banyak digunakan masyarakat adalah Livin’ Merchant karena fleksibilitas dan kemudahannya," tambah Andhika.
Selain memudahkan transaksi, Bank Mandiri juga memberikan pelatihan kepada UMKM binaannya. "Edukasi yang kami berikan mencakup bagaimana pencatatan transaksi yang baik, manajemen stok, hingga pemanfaatan dana usaha untuk ekspansi bisnis," lugasnya.
Pelatihan ini juga mencakup pemahaman terkait penerapan prinsip ESG (Environmental, Social, and Governance). Bank Mandiri mendorong UMKM untuk mulai mengadopsi kemasan ramah lingkungan serta efisiensi energi dalam operasionalnya, seperti beralih ke listrik daripada gas.
Dampak dari inovasi digital ini mulai terasa. Dengan adanya pencatatan digital di Livin’ Merchant, Bank Mandiri dapat menilai kelayakan kredit UMKM lebih cepat. "Misalnya, jika sebuah UMKM menggunakan QRIS selama tiga hingga empat bulan berturut-turut, kami bisa melihat pola transaksi mereka. Ini akan menjadi dasar dalam memberikan pembiayaan yang sesuai," tambah Retno Widyayanti, Regional Transaction and Consumer Head Bank Mandiri Region VII/Jawa 2.
Data Inventory
Bank Mandiri terus mendorong digitalisasi UMKM melalui aplikasi Livin’ Merchant, yang tidak hanya berfungsi sebagai alat pembayaran, tetapi juga sebagai sistem manajemen inventaris yang terintegrasi. Dengan fitur ini, UMKM dapat mencatat bahan belanja, nilai transaksi, serta penggunaan bahan baku yang lebih ramah lingkungan.
Dengan adanya pencatatan yang sistematis, pelaku usaha dapat lebih mudah menganalisis tren bisnis mereka dan melakukan penyesuaian strategi. Selain itu, fitur ini membantu UMKM dalam memenuhi standar keberlanjutan dengan mencatat penggunaan bahan ramah lingkungan, yang semakin menjadi faktor penting dalam industri saat ini.
Dari data yang dikumpulkan melalui Livin’ Merchant, Bank Mandiri dapat melakukan penilaian kelayakan kredit bagi UMKM yang ingin mengembangkan usahanya. Informasi tentang stabilitas bisnis, volume transaksi, serta penggunaan bahan baku berkelanjutan akan menjadi bahan pertimbangan bagi bank dalam memberikan pinjaman modal.
Dengan demikian, UMKM yang telah menerapkan praktik bisnis yang lebih hijau dan efisien memiliki peluang lebih besar untuk mendapatkan dukungan finansial guna memperluas pasar dan meningkatkan kapasitas produksi mereka. Bank Mandiri juga menawarkan Kredit Usaha Rakyat (KUR) dan Kredit Usaha Mikro (KUM) bagi UMKM yang telah menunjukkan kelayakan finansial.
"Kami memastikan dana yang disalurkan benar-benar digunakan untuk pengembangan usaha, bukan konsumtif. Jika dana digunakan dengan baik, UMKM bisa naik kelas dan mendapatkan pembiayaan lebih besar," ujar Retno.
Tren Global
Pakar Ekonomi Universitas Diponegoro (Undip), Esther Sri Astuti, S.A, PhD, implementasi teknologi hijau dalam sektor UMKM membutuhkan edukasi yang berkelanjutan.
"Jadi memang harus diedukasi kepada UMKM ya. Green teknologi bagi UMKM itu mahal. Misalnya, jika ingin usaha tetapi harus menggunakan energi terbarukan dan tidak boleh menggunakan energi fosil, tentu biayanya lebih tinggi. Tidak semua UMKM punya kemampuan finansial untuk langsung beralih, sehingga harus dilakukan secara bertahap. Tapi tetap harus didorong ke arah sana," ujar Esther.
Esther menegaskan bahwa ekonomi hijau bukan sekadar tren, tetapi sudah menjadi tuntutan global. Indonesia pun telah berkomitmen dalam Paris Agreement untuk mengurangi emisi karbon dan beralih ke energi yang lebih ramah lingkungan. Oleh karena itu, kebijakan ekonomi nasional juga perlu selaras dengan tren ini.
Menurutnya, perlu ada insentif bagi UMKM yang menerapkan konsep ekonomi hijau. "UMKM yang sudah menerapkan green economy seharusnya mendapatkan stimulan, entah itu berupa insentif pajak, subsidi, atau bantuan lainnya," katanya.
Namun, Esther juga menyadari bahwa keterbatasan anggaran pemerintah menjadi tantangan dalam memberikan bantuan bagi pelaku usaha hijau. Oleh karena itu, ia mengusulkan agar insentif diberikan dengan cara lain, misalnya melalui subsidi produk-produk ramah lingkungan yang harganya lebih terjangkau dibandingkan produk berbasis fosil.
"Jika UMKM menggunakan produk hijau seperti energi terbarukan atau bahan baku yang lebih ramah lingkungan, seharusnya ada subsidi. Ini akan mendorong lebih banyak pelaku usaha untuk beralih ke praktik yang lebih berkelanjutan," tambahnya.
Salah satu contohnya adalah pemanfaatan kendaraan hybrid atau listrik untuk operasional usaha. Menurutnya, jika akses terhadap kendaraan atau alat produksi berbasis energi terbarukan lebih mudah dan murah, UMKM akan lebih terdorong untuk mengadopsi teknologi tersebut.
Selain itu, teknologi digital juga dapat menjadi pendorong utama bagi UMKM dalam menerapkan praktik ramah lingkungan. "Di era digital, banyak informasi yang tersedia di internet mengenai penerapan green economy. Ini bisa dimanfaatkan oleh UMKM untuk mulai mengadopsi cara-cara produksi yang lebih berkelanjutan," ujarnya.
Esther juga menambahkan bahwa perubahan menuju ekonomi hijau harus dilakukan dengan pendekatan yang realistis. "Tidak semua UMKM bisa langsung berubah dalam waktu singkat. Tapi dengan dorongan yang tepat, baik dari pemerintah maupun sektor swasta, perubahan ini bisa terjadi secara bertahap," pungkasnya.
Editor : Enih Nurhaeni
Artikel Terkait