SEMARANG – Masa kejayaan emak-emak buruh linting rokok seolah telah usai. Kini mereka harus pandai berhemat untuk memenuhi kebutuhan keluarga, apalagi usai dihantam badai pandemi Covid-19 disusul dengan kenaikan harga BBM.
Juni Indarwati yang telah bekerja sebagai buruh linting rokok selama 20 tahun, hanya bisa mengenang masa-masa bisa lembur di pabrik. Dulu, hampir separuh hari dihabiskan untuk bekerja melinting rokok dengan tangan-tangannya.
“Dulu saya bekerja bisa 10 jam per hari. Mulai pukul 06.00 sampai 16.00 WIB. Masa-masa bisa mengumpulkan cukup banyak uang bagi kepentingan keluarga,” kata Juni ditemani dua rekannya Meilia dan Agustina, Selasa (20/9/2022).
Menurutnya, saat itu pabrik tempatnya bekerja banyak menerima pesanan rokok sehingga ribuan buruh harus menambah ekstra waktu pengerjaan. Namun kondisi tersebut tak berjalan sesuai harapannya. Jumlah pekerjaan melinting rokok tak sepadat waktu lalu.
“Dulu bisa bekerja sampai sore. Tapi beberapa tahun terakhir kita enggak pernah lembur. Jadi sangat berdampak sekali (pada pendapatan). Malah sekarang itu ada ungkapan, jangan terlalu berharap bisa lembur, karena bisa bekerja full Senin sampai Sabtu saja itu kita sudah bersyukur,” lugasnya.
“Karena (rokok) permintaan konsumen turun, sehingga pekerjaan juga berkurang. Akhirnya jam kerja kita juga berkurang. Kalau sekarang sekarang jam kerja normal 7 jam. Masuk pukul 06.00 pulang jam 14.00 WIB,” lanjutnya.
Padahal, jam lembur sangat berarti bagi buruh untuk menambah penghasilan. Lembur juga melibatkan seluruh divisi, sehingga hampir seluruh buruh bisa mendapatkan uang lebih untuk dibawa pulang.
“Lembur itu besar hasilnya. Satu jam pertama itu kita mendapatkan Rp15 ribu. Jadi dalam sepekan kita setidaknya bisa mendapatkan Rp800 ribu. Jadi kalau ada lembur kita bisa makan enak lah,” tambah Agustina.
“Semua bagian divisi itu bisa ikut lembur. Karena kan enggak mungkin misalnya hanya bagian pelintingan saja, karena mesti di-packing, hingga di bagian gudang. Jadi kalau lembur itu melibatkan banyak buruh dari hulu sampai hilir,” imbuh perempuan asal Semarang Utara itu.
Dia menuturkan, sekira lima tahun terakhir menjai waktu paling berat bagi buruh linting rokok. Mereka hampir tak pernah lembur bekerja karena tak banyak produksi seperti semula.
“Ya penyebabnya termasuk kenaikan cukai rokok. Itu sangat berdampak. Apalagi ada kabar pada tahun 2023 cukai rokok akan meningkat. Ini bakal semakin memperberat kondisi kami,” cetusnya.
“Sekarang kan BBM naik, harga-harga kebutuhan naik. Padahal nanti kalau cukai rokok benar-benar dinaikkan maka produksi rokok juga akan turun, akibatnya kami yang bekerja sebagai buruh rokok ini akan semakin terdampak. Harapannya jelas, cukai rokok tak naik,” bebernnya.
Federasi Serikat Pekerja Rokok Tembakau Makanan Minuman Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (PP FSP RTMM-SPSI) Provinsi Jawa Tengah menyebut terdapat 107.181 anggota yang bekerja di bidang rokok. Jumlah tersebut berdasarkan verifikasi keanggotaan serikat pekerja yang diselenggarakan Dinas Tenaga Kerja Provinsi Jawa Tengah per Juni 2022.
Sebanyak 80,01% di antaranya bekerja di pabrik rokok yang memproduksi sigaret kretek tangan (SKT), dan 19,09% bekerja di pabrik makanan dan minuman yang tersebar di 24 kabupaten/kota. Sementara itu di seluruh Indonesia, anggota PP FSP RTMM – SPSI berjumlah 227.579 yang tersebar di 15 provinsi, 56 kabupaten/kota, dan 456 pimpinan unit kerja di tingkat perusahaan.
“Rencana pemerintah menaikkan cukai hasil tembakau (CHT) tidaklah bijak, mengingat industri ini telah tertekan akibat pandemi Covid-19 secara bertubi-tubi. Industri hasil tembakau (IHT) seolah dianggap sebagai sapi perah pemerintah yang harus terus berkontribusi bagi negara melalui cukai dan pajak, tetapi rakyat kecil yang terlibat di dalamnya tidak diperhatikan,” kata Ketua FSP RTMM-SPSI Jateng, Edy Riyanto.
“Kelangsungan hidup dan kesejahteraaan anggota kami seolah menjadi tidak penting dan terabaikan jika pemerintah menetapkan kenaikan CHT yang terlalu tinggi pada 2023,” sambungnya.
Dia menyampaikan, kenaikan harga-harga barang kini juga memicu rendahnya daya beli. Dampak tekanan inflasi mulai terasa dan sehingga berpotensi mempengaruhi serapan tenaga kerja. Di tengah naiknya harga berbagai komoditas, kenaikan cukai akan kembali menambah beban industri rokok.
“Kami sangat mengkhawatirkan situasi ini akan memaksa perusahaan di industri rokok melakukan efisiensi dengan mengurangi jumlah pekerja. Harapan kami kalau cukai rokok bisa seperti pada 2019, yakni 0%. Artinya tidak ada kenaikan cukai rokok,” tandasnya.
Editor : M Taufik Budi Nurcahyanto