SEMARANG, iNewsJoglosemar.id - Doktor Anggun Puspitarini Siswanto, masih menyimpan segudang cerita. Pengajar dan peneliti berbakat dari Universitas Diponegoro (Undip) itu bercerita awal menjadi dosen Sekolah Vokasi hingga menduduki posisi strategis di International Office Undip.
"Saya lulus S3 sekitar umur 28 tahun, masih muda saat itu. Mungkin doktor termuda di Undip tapi karena saat itu masih berstatus calon dosen, jadinya belum banyak yang tahu," kata Anggun.
"Di situ saya belajar bahwa menjadi doktor berarti memiliki tanggung jawab yang besar di pundak kita. S3 itu jenjang terakhir pendidikan, ketika masyarakat memahami kita paling tahu segalanya, padahal justru sebaliknya. Pendidikan Doktoral itu yang kita pelajari secara mendalam ya tentang riset kita, yang mana itu termasuk fraksi kecil dari keseluruhan keilmuan kita. Terdapat fakta menarik yang saya peroleh dari Pembimbing di Sheffield terkait filosofi di balik gelar PhD. Sesungguhnya, para Doktor mendapat gelar Doctor of Philosophy (Ph.D) sebab setelah menyelesaikan jenjang pendidikan S3 maka diharapkan pemilik gelar PhD tersebut memahami filosofi keilmuan, filosofi kompetensi termasuk filosofi kehidupan," lugasnya meyakinkan.
Anggun mencapai puncak pendidikan dengan meraih gelar doktor di The University of Sheffield, Inggris, tanpa melalui jenjang S2. Berbekal ijazah S1, Anggun awalnya mendaftar di Program Master of Philosophy (M.Phil).
Dia tak menyadari, jika itulah pintu masuk ke Program Doctor of Philosophy (Ph.D).
Doktor jurusan Chemical and Biological Engineering tersebut termasuk Alumni yang kembali mengabdi ke Almamaternya. Anggun memulai pendidikan tingginya pada tahun 2006 sebagai Mahasiswa Program Studi Diploma III Universitas Diponegoro dan pada 2009 melanjutkan ke jenjang Sarjana di Program Studi Teknik Kimia Universitas Diponegoro. Setelah menyelesaikan pendidikan Pascasarjana di Inggris pada periode 2012-2016, Anggun kembali pulang ke Indonesia dan mengabdi di Universitas Diponegoro hingga saat ini.
“Sekolah Vokasi Undip resmi berdiri di tahun 2016. Di mana Dekan Pertama Sekolah Vokasi Undip saat itu ialah Prof. Dr. rer. nat. Imam Buchori, S.T. dan kemudian dipimpin oleh Prof. Dr. Ir. Budiyono, MSi sebagai Dekan sampai sekarang,” lanjutnya.
Sebagai dosen muda lulusan Inggris, Doktor Anggun tak berhenti berprestasi dan mengembangkan karier akademik. Pada 2018-2019, dia menjadi Visiting Associate Professor in National Institute of Technology, Akashi College, Japan yang membuatnya harus terbang ke Negeri Sakura secara berkala untuk memberi perkuliahan.
“Sejak Januari 2020, saya diminta Pimpinan untuk bergabung di level Universitas, tepatnya di Kantor Urusan Internasional (KUI) atau International Office (IO). Kemudian, pada Agustus 2021 saya dilantik oleh Bapak Rektor menjadi Kepala International Office sampai sekarang,” tandasnya.
Perempuan yang menguasai empat bahasa itu menjelaskan, International Office memegang peran penting untuk mendukung Visi Universitas sebagai World Class University guna meningkatkan global competitiveness para lulusannya.
“Internasionalisasi di setiap Universitas perlu didukung oleh berbagai unit baik internal maupun eksternal termasuk top-down dan bottom-up. International Office merupakan salah satu pintu strategis untuk para mitra internasional mengenal lebih dekat suatu Universitas dan juga membangun sinergi secara internal sebab internasionalisasi tentunya perlu diawali dengan internalisasi,” katanya.
Adalah suatu kehormatan baginya mendapatkan kepercayaan untuk memperkenalkan Undip di dunia internasional. Meski, Anggun harus sering meluangkan waktu di luar jam kerja di Tanah Air, karena mesti menyesuaikan perbedaan zona waktu di luar negeri.
“Yang dikerjakan banyak. Alhamdulillah. Busy but happy. Kami tidak hanya bekerja bersama para mahasiswa internasional di Undip dan para mahasiswa Undip yang sedang pertukaran studi di kampus-kampus mitra di luar negeri namun kami juga bekerja bersama pihak eksternal seperti menjalin komunikasi yang erat dan hangat dengan para Duta Besar dan juga Atase Pendidikan di seluruh dunia,” terangnya.
“Nanti sebentar lagi saya akan rapat dengan Tim dari salah satu KBRI kita di Eropa, karena perbedaan zona waktu, jadi kerja di International Office itu seperti 24 jam. Misalnya, saat kita masih subuh, maka mitra dari Australia dan Selandia Baru sudah siap berkoordinasi dan saat jam kantor usai di sore hari WIB, gantian mitra dari Eropa yang online dan kemudian saat kita siap mengakhiri hari, maka teman-teman di Amerika baru saja memulai hari. Walau demikian, tentunya kami senang berkesempatan untuk memperkenalkan salah satu kampus terbaik di Indonesia ini kepada dunia,” tutup Doktor Anggun.
Editor : Enih Nurhaeni