Menjejak Curug Lawe Sicepit, Air Terjun Eksotis dengan Cerita Konservasi

Dukungan Konservasi
Transformasi nyata terlihat dari kondisi sosial ekonomi masyarakat. “Ngesrepbalong dulunya termasuk wilayah merah dengan tingkat kemiskinan tinggi. Sekarang masyarakat lebih aktif, ekonomi bergerak, dan wisata berkembang. Itu bukti nyata bahwa kolaborasi membawa manfaat,” kata Erwin.
PLN Indonesia Power juga mendukung kawasan wisata dengan infrastruktur ramah lingkungan. “Lampu penerangan di sini dibuat dari pipa bekas pembangkit yang didaur ulang, sementara listriknya disuplai dari PLTMH (Pembangkit Listrik Tenaga Micro Hidro) berbasis sungai setempat dengan kapasitas 4.000 Watt,” jelasnya.
Selain keindahan alam, tantangan lain yang muncul adalah persoalan sampah seiring meningkatnya jumlah wisatawan. Kesadaran pengunjung untuk membuang sampah dengan tertib masih perlu ditingkatkan, karena jika dibiarkan, sampah bisa berserakan, terbawa aliran sungai, dan akhirnya memicu banjir serta merusak lingkungan.
“Kesadaran pengunjung untuk membuang sampah dengan lebih tertib itu harus terus kita lakukan. Karena kalau sampah jatuh ke sungai, itu akan mengakibatkan banjir dan merusak lingkungan. Itu jelas tidak kita inginkan,” tegasnya.
Upaya penanganan masalah ini dilakukan melalui sinergi lintas pihak. “Kami bekerja sama dengan Dinas Kehutanan, Pemkab Kendal, dan Forum DAS (daerah aliran singai) untuk mengelola sampah dan menjaga kelestarian hutan. Hulu harus tetap hijau, karena kalau rusak akan berdampak pada banjir di Semarang sekaligus mengganggu produksi listrik di Tambaklorok,” lanjutnya.
Erwin mencontohkan bagaimana perubahan perilaku masyarakat ikut berkontribusi pada kelestarian lingkungan. “Ada Kang Polo, dulunya pemburu satwa, sekarang jadi fotografer satwa endemik. Dengan edukasi, populasi julang emas yang dulu hanya tiga ekor, kini berkembang jadi sekitar sepuluh pasang,” ungkapnya.
Bagi Erwin, ekowisata bukan sekadar soal destinasi, melainkan juga keberlanjutan. “Kami terus dampingi, mulai dari pembibitan kopi, pelatihan barista, pengeringan kopi, sampai penanaman pohon di sekitar kawasan. Dengan begitu, manfaatnya bisa dirasakan langsung oleh masyarakat,” tegasnya.
Gunung Ungaran yang berdiri megah di perbatasan Kabupaten Semarang dan Kendal bukan hanya menawarkan keindahan lanskap pegunungan, tetapi juga menjadi benteng terakhir bagi sejumlah satwa langka. Di kawasan ini, Elang Jawa (Nisaetus bartelsi) dan Julang Emas (Rhyticeros undulatus) masih bisa dijumpai, menjadikan Ungaran ditetapkan sebagai salah satu Important Bird Area (IBA).
Ketua Gugus Green Techno Park Universitas Negeri Semarang (Unnes), Prof. Dr. Margareta Rahayuningsih, S.Si., M.Si., menjadi saksi sekaligus penggerak awal riset konservasi di gunung ini. “Sekitar tahun 2010-2011, kami melakukan survei sederhana di Gunung Ungaran. Ternyata gunung ini menyimpan berbagai spesies burung langka seperti rangkong dan elang,” kenangnya.
Penelitian itu kemudian fokus pada studi ekologi Julang Emas. Pada 2011, tim menemukan lebih dari 17 sarang, meski hanya 8 hingga 9 sarang yang aktif digunakan. Selain Julang Emas, keberadaan Elang Bido dan Elang Hitam juga terdata.
“Kami tidak hanya meneliti jenis burung tersebut, tetapi juga mencari tahu pohon apa yang digunakan untuk bersarang dan jenis pakan yang mereka konsumsi,” jelasnya.
Editor : Enih Nurhaeni