ASN Jadi Orang Tua Asuh Pekerja Rentan, Menyatukan Dua Wajah Kehidupan
SEMARANG, iNewsJoglosemar.id – Kota Semarang selalu membuka pagi dengan dua wajah yang hidup berdampingan tanpa pernah benar-benar bersinggungan. Di satu sisi, lorong-lorong pasar tradisional menyambut matahari dengan aroma tanah basah, sayuran yang baru dipetik, serta suara pedagang yang menata barang.
Hiruk-pikuk itu adalah detak awal hari bagi ribuan pekerja informal yang menggantungkan hidup pada apa yang bisa mereka dapatkan hari itu. Di tengah ritme semacam ini, kepastian hidup terasa sebagai kemewahan. Pedagang keliling mendorong gerobak sambil berharap cuaca bersahabat, sementara pemulung menarik napas panjang sebelum memulai rute mencari barang bekas.
Di sudut jalan, seorang tukang becak duduk menatap arah simpang, berharap ada tangan yang melambai sebelum siang tiba. Penghasilan mereka ditentukan oleh langit, lalu lintas, dan keberuntungan—ketiganya tidak pernah tentu.
Namun di ruang lain kota, tepatnya di kawasan Balai Kota Semarang, pagi berjalan dengan irama yang jauh berbeda. Para aparatur sipil negara (ASN) datang dengan pakaian rapi, melewati pintu kaca menuju ruangan berpendingin udara.
Di gedung-gedung itu, fasilitas kerja tersedia lengkap, gaji cair tepat waktu setiap bulan, dan jaminan sosial melekat sebagai hak yang nyaris tak pernah dipertanyakan. Dunia ASN berjalan dalam kepastian dan kerangka yang mapan.
Dua dunia ini berdampingan, tetapi jarak kesejahteraannya ibarat dua garis paralel yang seiring waktu justru tampak menjauh. Ketimpangan itu bukan sekadar gambaran romantik tentang riuh-rendah sebuah kota, melainkan fakta yang tercermin jelas dalam angka.

BPJS Ketenagakerjaan Semarang mencatat ada 262.166 pekerja informal, namun hanya 38.108 orang—sekitar 14,54 persen—yang terlindungi. Artinya lebih dari 85 persen pekerja informal masih menjalani hari tanpa perlindungan dasar. Satu kecelakaan kecil saja bisa menghapus pendapatan berminggu-minggu atau menyeret keluarga ke beban biaya medis yang mustahil mereka penuhi.
Di tengah angka-angka dingin itu, kisah-kisah kecil justru menjelaskan realitas yang lebih dekat. Salah satunya datang dari Chaca, ibu tiga anak asal Banyumanik, Kota Semarang—seorang perempuan yang menggantungkan hidup pada ojek online.
Setiap hari Chaca bangun sebelum matahari naik penuh. Ia menyiapkan sarapan, merapikan seragam sekolah, mengisi botol minum, dan memastikan semua kebutuhan anak-anaknya terpenuhi meski waktunya selalu terasa sempit. Setelah mengantar mereka, ia duduk di atas motornya, membuka aplikasi di ponselnya, lalu menunggu bunyi notifikasi yang menandai awal rezekinya hari itu.
Kadang orderan datang cepat. Sering pula ia menunggu lama sambil menatap jalan yang masih basah oleh sisa embun. Pagi baginya adalah teka-teki, tak ada yang tahu apakah hari itu dapur bisa tetap mengepul.
Di antara perjalanan mengantar pesanan makanan atau penumpang, Chaca selalu dihantui risiko: motor yang nyaris tersenggol, lubang jalan yang muncul tiba-tiba, atau hujan deras yang memaksa ia menepi sambil menggigil.
Jika risiko itu benar-benar datang, hidupnya berubah seketika. Tanpa jaminan asuransi, tanpa perlindungan sosial, dan tanpa tabungan yang cukup, satu kecelakaan saja cukup untuk menghentikan penghasilannya.
“Ya mau bagaimana lagi. Jalan kehidupan ini yang mesti dijalani,” ujarnya pelan, Sabtu (29/11/2025).
Kisah seperti Chaca tidak berdiri sendiri. Ia hanyalah satu titik dari mozaik besar pekerja rentan di Kota Semarang—ratusan ribu orang yang bekerja tanpa kepastian, tanpa perlindungan, dan tanpa jaring pengaman.
Indikator Kesejahteraan
Untuk menjawab kondisi inilah pemerintah pusat menerbitkan Instruksi Presiden Nomor 2 Tahun 2021 tentang Optimalisasi Pelaksanaan Program Jaminan Sosial Ketenagakerjaan. Instruksi tersebut menegaskan agar pemerintah daerah ikut memperluas perlindungan bagi pekerja rentan, termasuk mereka yang bekerja di sektor informal.
Kota Semarang menjadi salah satu daerah yang merespons cepat arahan itu dan menjadikannya prioritas pembangunan sosial. Wali Kota Semarang, Agustina Wilujeng Pramestuti, menegaskan komitmen terhadap perlindungan pekerja rentan.
Baginya, pekerja informal tidak boleh dibiarkan berjalan tanpa perlindungan dasar, terlebih ketika risiko kerja mereka jauh lebih tinggi daripada pekerja formal. Ia menyampaikan bahwa setiap organisasi perangkat daerah (OPD) wajib memastikan para ASN mengambil tanggung jawab untuk membayar iuran BPJS Ketenagakerjaan bagi minimal satu pekerja rentan di lingkungan terdekat mereka.
“Salah satunya ya buruh rentan. Saya minta setiap ASN di masing-masing OPD mengambil tanggung jawab untuk membayar BPJS Ketenagakerjaan. Dan saya minta pemantauannya per-OPD. Saya minta sekretaris dinasnya melaporkan kepada saya siapa ASN yang belum mengambil tanggung jawab untuk pembayaran BPJS,” ujarnya.

Menurut Agustina, jika program perlindungan pekerja rentan tidak dijalankan, dampaknya bukan hanya jatuh pada kelompok pekerja tersebut, tetapi juga memengaruhi indikator kesejahteraan kota secara keseluruhan.
“Kalau ini (pekerja rentan) tidak terurus, akan meningkatkan angka kemiskinan. Kalau kemiskinan itu korelasinya sudah jelas, lah. Kalau kemiskinan itu berarti pengangguran, putus sekolah, dan seterusnya. Karena itu kita berupaya mati-matian, ya,” tegasnya.
Tujuan program ini untuk mempercepat peningkatan cakupan perlindungan Jaminan Sosial ketenagakerjaan melalui partisipasi ASN. Upaya ini sekaligus menjadi bagian dari pemenuhan amanah Permendagri Nomor 15 Tahun 2024 yang mewajibkan pemerintah daerah menaikkan cakupan perlindungan Jaminan Sosial Ketenagakerjaan minimal 20 persen dari capaian tahun sebelumnya.
“Upaya ini untuk mewujudkan Semarang inklusi, berkeadilan sosial, dan sejahtera bagi masyarakat,” katanya.
Dalam pandangan Agustina, ASN tidak boleh hadir hanya sebagai birokrat yang mengurus administrasi. Mereka memiliki ruang besar untuk memberi dampak langsung kepada masyarakat.
“Artinya ASN itu tidak hanya bekerja, tidak hanya berkarya untuk diri dan keluarga. Tetapi bisa benar-benar terlibat berpartisipasi, yang usaha dari yang dilakukan oleh ASN itu bermanfaat atau dirasakan manfaatnya oleh masyarakat,” ucapnya.
Dari sinilah gagasan Gerakan ASN Peduli Pekerja Rentan lahir, dan kemudian diformalkan melalui Peraturan Wali Kota Semarang Nomor 26 Tahun 2025 tentang Pelindungan Sosial Pekerja Rentan. Intinya sederhana, setiap ASN menjadi orang tua asuh bagi minimal satu pekerja rentan.
“Mengajak seluruh ASN untuk berpartisipasi aktif, mendaftarkan dan membayarkan iuran program Jaminan Sosial Ketenagakerjaan minimal satu orang pekerja rentan,” tegas Agustina.
Dengan jumlah ASN Pemerintah Kota Semarang sekitar 16.000 orang, potensi perlindungan yang dapat diberikan menjadi sangat besar. Jika seluruhnya berpartisipasi, maka 16.000 pekerja rentan dapat memperoleh perlindungan dasar. Program yang awalnya menyasar PNS, kini diperluas mencakup PPPK.
Kejar Target
Gerakan ini juga berkaitan erat dengan target nasional Universal Coverage Jamsostek (UCJ). Kepala BPJS Ketenagakerjaan Cabang Semarang Pemuda, Mohamad Irfan, menjelaskan bahwa pemerintah pusat telah menetapkan target UCJ bagi setiap daerah.
“Jadi memang pemerintah sudah menetapkan Universal Coverage Jamsostek atau UCJ untuk masing-masing provinsi dan kabupaten kota,” ujarnya.
Menurut Irfan, untuk mencapai target tersebut, dua hal utama harus diperkuat: regulasi dan anggaran. “Yang pertama adalah regulasi, yang kedua adalah anggaran,” katanya.
Dari sisi anggaran, Pemerintah Kota Semarang telah menanggung perlindungan bagi 7.217 pekerja rentan melalui APBD dan Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBHCHT). Namun angka tersebut masih jauh jika dibandingkan jumlah pekerja informal yang mencapai ratusan ribu.
Regulasi daerah melalui Perwali 26/2025 memperluas ruang partisipasi seluruh elemen. Inilah yang melahirkan Gerakan ASN Peduli Pekerja Rentan sebagai sebuah gerakan kolektif kota.
“Satu orang ASN diharapkan menjadi, katakanlah orang tua asuh, terhadap pekerja rentan di lingkungannya, satu minimal,” ujar Irfan.
Iuran program ini terjangkau—hanya Rp16.800 per bulan untuk dua program: Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK) dan Jaminan Kematian (JKM). Manfaatnya jauh lebih besar: perawatan penuh hingga sembuh sesuai indikasi medis jika terjadi kecelakaan kerja, santunan kematian Rp42 juta, santunan cacat hingga 48 kali upah, dan beasiswa pendidikan hingga Rp174 juta untuk dua anak.

Saat ini, dari sekitar 8.031 PNS di Kota Semarang, tingkat partisipasi awal baru mencapai 3,47 persen. Data terbaru menunjukkan ada 90 ASN yang telah aktif menjadi orang tua asuh, dengan total 458 pekerja rentan terdaftar, dan 313 di antaranya berstatus aktif.
Beberapa OPD mencatat partisipasi tinggi seperti Dinas Kebudayaan dan Pariwisata, Dinas Kesehatan, serta Dinas Perdagangan. Namun masih terdapat 22 OPD yang belum berpartisipasi, sehingga pemerintah terus mendorong sosialisasi agar gerakan ini meluas.
Kepala Bagian Komunikasi Pimpinan dan Protokol Setda Kota Semarang, Siswo Purnomo, menjelaskan bahwa sasaran utama program ini adalah pekerja rentan yang berada dekat secara sosial dengan ASN.
“Misalnya tetangga, tetangga ada mungkin tukang cuci atau mungkin pekerja lepas lah istilahnya,” ujarnya.
Ia menambahkan, program ini semakin kuat pijakannya dengan Surat Edaran Pj. Sekretaris Daerah Kota Semarang Nomor B/838.800.1.12.2/II/2025 tentang Gerakan Pegawai Negeri Sipil (PNS) Pemerintah Kota Semarang Peduli Pekerja Rentan. Isinya tegas, mengajak ASN untuk “mendaftarkan dan membayarkan iuran Program Jaminan Sosial Ketenagakerjaan minimal 1 orang pekerja rentan”.
“Yuk jika ada yang terdekat di wilayah jenengan, di wilayah rekan-rekan ASN itu yuk didaftarkan.”
Di dalam gerakan ini, makna “pekerja rentan” dijelaskan dengan lebih konkret agar setiap ASN memahami siapa yang perlu dilindungi. Mereka adalah para pekerja yang selama ini hadir begitu dekat, namun acap luput dari perhatian: para asisten rumah tangga, sopir pribadi, hingga petugas keamanan rumahan yang bekerja tanpa kepastian pendapatan.
Termasuk pula para pekerja informal lain di lingkungan sekitar seperti tukang sayur, penjual jajanan, hingga loper koran yang setiap hari menyusuri jalanan kota. Bahkan anggota keluarga yang menjalankan usaha mandiri pun termasuk dalam kategori ini, selama mereka masih aktif bekerja dan usianya tidak lebih dari 64 tahun 11 bulan.
“Tindakan kecil ini akan membuka peluang besar bagi mereka yang selama ini menjalani hidup di tepi risiko,” ungkapnya.
Kolaborasi Jadi Kunci
Mekanisme baru dalam Gerakan ASN Peduli Pekerja Rentan kini dirancang lebih sederhana dan terintegrasi melalui sistem autodebet Bank Jateng. Proses dimulai dari tahap pendaftaran yang dilakukan lewat tautan resmi, di mana ASN sebagai donatur mengisi data diri mereka, mencakup nama, NIP, jabatan, serta asal organisasi perangkat daerah.
“Setelah itu, mereka melanjutkan dengan memasukkan data pekerja rentan yang akan dilindungi mulai dari nama, NIK, nomor ponsel, jenis pekerjaan, hingga lokasi mereka bekerja sehari-hari,” jelasnya.
Tahap berikutnya, ASN menentukan pilihan kepesertaan serta nominal iuran yang akan dibayarkan setiap bulan. Setelah seluruh data lengkap, ASN menandatangani surat kuasa autodebet dan melampirkan salinan buku rekening serta KTP untuk verifikasi. Dokumen tersebut kemudian dikumpulkan melalui OPD masing-masing.
“Pembayaran dilakukan bersamaan dengan proses penggajian ASN setiap tanggal 1, agar iuran pekerja rentan terbayar tepat waktu tanpa risiko terlewat,” tandasnya.
Di tingkat kota, data UCJ menunjukkan potensi peserta sebanyak 756.873 pekerja. Dari jumlah itu, 390.498 pekerja atau 51,59 persen telah terlindungi secara aktif. Angka ini sedikit melampaui target Provinsi Jawa Tengah yang berada di angka 51,49 persen.
Namun masih ada 366.375 pekerja atau 48,41 persen yang belum tersentuh perlindungan. Mayoritas berasal dari segmen pekerja informal—kelompok yang hidup setiap harinya berhadapan langsung dengan risiko tanpa jaring pengaman.

Kota Semarang menargetkan peningkatan cakupan hingga 71,59 persen pada 2025, yang berarti perlindungan tambahan untuk sekitar 170.000 tenaga kerja. Untuk itu, kolaborasi pemerintah, ASN, dan masyarakat menjadi kunci.
Di kota yang memperlihatkan dua wajah kehidupan yang berjalan berdampingan namun berjauhan, Gerakan ASN Peduli Pekerja Rentan hadir sebagai jembatan yang perlahan mempertemukan keduanya. Program ini bukan hanya tentang angka, grafik, atau persentase, melainkan tentang memanusiakan kembali pekerja yang selama ini berdiri di tepi perlindungan sosial.
Bagi Chaca dan pekerja rentan lainnya, angka-angka itu bukan sekadar statistik yang terpampang di layar presentasi. Angka-angka itu berubah menjadi harapan baru—penanda bahwa hidup mereka tidak lagi sepenuhnya bergantung pada keberuntungan.
“Kalau benar bisa begitu, rasanya seperti ada yang menjaga kami,” katanya dengan mata yang sedikit berbinar.
Kini, setiap kali Chaca menatap layar ponselnya, bukan hanya menunggu suara notifikasi orderan. Ia juga menunggu kemungkinan kabar lain, bahwa seorang ASN telah memilihnya sebagai anak asuh. Bahwa ada yang menjaga, bahwa suatu hari hidupnya tidak lagi berdiri sendiri di tepi risiko.
Editor : Enih Nurhaeni