Mahasiswa Kesehatan Meretas Peliknya Rawa Pening, Padi Apung Jadi Harapan Baru
SEMARANG, iNewsJoglosemar.id - Kabut tipis masih menggantung di permukaan air Rawa Pening ketika saya tiba di Desa Kebondowo, Banyubiru, Kabupaten Semarang. Udara pagi itu dingin, membawa aroma khas rawa yang bercampur lumpur dan rumput basah.
Dari kejauhan, gunung Telomoyo berdiri gagah, seolah menjadi penjaga atas hamparan air yang luas dan tenang. Dari tepi desa, saya melihat 15 mahasiswa Universitas Ngudi Waluyo (UNW) bersiap di halaman kantor desa lama yang kini menjadi posko mereka.
Posko itu sederhana, catnya mulai pudar dan kusam dimakan waktu. Namun, dari sana, semangat muda memancar kuat. Mereka inilah tim Program Penguatan Kapasitas Organisasi Mahasiswa (PPK Ormawa) Bhumijala, penggerak inovasi padi terapung atau Agrofloat di tengah Rawa Pening.
“Setiap pagi kami mulai dari sini,” kata Zulfa Alya Fadhila, ketua tim PPK Ormawa Bhumijala, Minggu 2 November 2025.
Mahasiswi Program Studi Kesehatan Masyarakat angkatan 2022 itu tampak memegang catatan lapangan dengan jemari yang masih dingin. “Kami tinggal di posko ini selama lebih dari satu bulan, penuh. Pertengahan Juli sampai Agustus kami enggak pulang sama sekali.”
Mereka bukan mahasiswa pertanian, melainkan dari jurusan kesehatan dan ilmu keolahragaan. Tapi justru itulah yang membuat langkah mereka menarik, berangkat dari bidang yang berbeda untuk menjawab persoalan pangan yang melanda masyarakat pesisir rawa.
Motor mereka berderet di depan posko. Setelah doa singkat, mesin dinyalakan hampir bersamaan, deru knalpot memecah keheningan pagi. Tujuan mereka demplot (Demonstration Plot) padi terapung di tengah Rawa Pening.
Jarak posko ke tanggul hanya sekitar lima menit berkendara. Jalan yang mereka lalui sudah mulus, namun banyak berkelok, dan tikungan tajam. Begitu sampai di tanggul, motor mereka parkir di halaman rumah warga, berupa tanah yang sudah becek oleh embun.

Perjalanan dilanjutkan dengan berjalan kaki. Jalan setapak berupa pematang sawah yang licin, selebar 30 sentimeter, diapit sawah padi di kiri kanan. Setiap langkah seperti ujian keseimbangan. Kadang terdengar tawa kecil saat salah satu dari mereka tergelincir lumpur.
“Lahan padi ini kalau musim hujan terendam semua, air rawa naik hingga menutup sawah-sawah ini,” ujar Zulfa sambil menunjuk tanaman padi yang tampak subur.
Saya ikut berjalan di belakang rombongan itu. Ransel-ransel mereka tampak berat, berisi pupuk, alat ukur, dan bekal makan siang yang dimasak bergantian di posko. “Kami punya jadwal piket,” tambahnya. “Ada piket masak, piket lahan, semuanya bergilir.”
Pematang sawah itu berakhir. Dari kejauhan, saya melihat beberapa perahu kayu tertambat di bambu. Di sinilah perjalanan air dimulai. “Dari tanggul ini ke lahan sekitar satu kilometer,” kata Zulfa. “Kami dayung sendiri. Sepuluh menit kalau lancar.”
Perahu-perahu itu kecil, hanya cukup dua orang. Sebagian mahasiswa sudah lihai mendayung, sebagian lain masih tampak kikuk. Mereka mengenakan pelampung oranye, mengayuh dengan ritme pelan di antara hamparan eceng gondok yang menutup permukaan air.
Eceng gondok menjadi tantangan tersendiri. Kadang perahu terjebak di tengah-tengahnya, membuat mereka harus mencari jalur lain atau nekat menerjang tanaman itu dengan mengerahkan tenaga ekstra untuk mendayung.
“Tantangan kami itu, kalau angin besar. Ombak di rawa bisa tinggi,” kata Zulfa sambil tertawa kecil.
Teknologi Agrofloat
Setelah 10 menit mendayung, kami tiba di area demplot—lahan apung yang mereka sebut Agrofloat. Dari dekat, saya melihat rakit-rakit styrofoam tersusun rapi, diikat dengan bambu. Di atasnya tumbuh padi varietas Inpara 8, hijau muda, bergoyang pelan tertiup angin rawa.
Air di bawahnya jernih, memantulkan bayangan batang padi yang menembus ke air. Di sela-selanya, ikan nila berenang, sesekali muncul di permukaan. Sistem inilah yang mereka sebut “Mina Padi Apung”—menanam padi sekaligus memelihara ikan dalam satu ekosistem.
“Kalau di darat banjir, padinya rusak. Tapi kalau di air, justru bisa panen,” ujar Zulfa. “Kami ingin bantu petani di tepi rawa yang lahannya sering terendam.”
Zulfa menjelaskan, proyek ini dijalankan melalui hibah PPK Ormawa dari Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Kemdikti Saintek). Mereka menamakan timnya “Bhumijala”—bumi dan air—sebuah filosofi tentang harmoni ekosistem.
Program ini dikembangkan setelah mahasiswa melihat fakta di masyarakat, sekira 60 hektare lahan pertanian di Desa Kebondowo setiap tahun tergenang saat musim hujan. Air yang naik dari Rawa Pening menenggelamkan sawah, membuat petani hanya bisa menanam sekali dalam setahun.
Dari hasil pengamatan, pertumbuhan padi apung ini menunjukkan hasil positif. Dalam usia 87 hari, rumpun-rumpunnya subur. Dari catatan mereka, masa panen padi varietas Inpara 8 sekira 124 hari, sehingga target panen uji coba dicanangkan pada 19 November.

Ikan nila di bawahnya pun tumbuh besar, dari bibit 15 ekor per kilogram menjadi hanya 5–6 ekor per kilogram. Dari sinilah konsep ketahanan pangan itu tumbuh. Bukan hanya menjaga ketersediaan beras, tapi juga menambah sumber protein bagi warga desa.
“Artinya ikan ini sudah besar,” kata Zulfa sambil tertawa. “Kalau dihitung, hasilnya bisa berlipat. Padi dapat, ikan juga dapat. Panennya nanti bareng padinya.”
Saya memperhatikan bagaimana mereka bekerja di atas air. Setiap pot di styrofoam berisi empat batang padi. Akar-akarnya menembus media kerikil dan menggantung menyentuh air, menyerap nutrisi dari bawah.
Di area demplot seluas 425 meter persegi itu, deretan bambu dipasang mengitari sisi luar sebagai penahan agar rakit tetap stabil dan eceng gondok tidak menerobos masuk. Di setiap sudut, umbul-umbul bertuliskan “Pupuk Indonesia” berkibar tertiup angin.
Lahan tersebut dibagi menjadi lima petak, memanfaatkan dua jenis styrofoam sebagai pelampung yakni lembaran dan boks bekas wadah buah. “Yang pakai boks padinya terlihat lebih hijau dan subur. Kami juga pasang jaring di atas,” ujar Zulfa sambil menunjuk ke arah tali-tali yang melintang.
“Untuk mencegah burung dan belalang. Kalau tikus sih jarang, karena mereka malas nyebur,” sambungnya seraya tertawa.
Belajar Mendayung
Pengalaman langsung menerapkan teknologi pertanian terapung juga dirasakan para mahasiswa. Di antaranya Zaki Adji Nurdiansyah, mahasiswa S1 Kesehatan Masyarakat. Selama lima bulan terlibat dalam program ini, Zaki menyebut aktivitas mereka berjalan intensif setiap hari.
“Untuk kegiatan sehari-harinya biasanya pemantauan padi. Setelah itu pemupukan, perawatan sama mengecek pertumbuhan padi. Selain itu karena di sini ada Mina Padi, jadi kita juga mengecek pertumbuhan ikan itu.”
Zaki juga mengakui awalnya sempat mengalami “culture shock academic” karena harus belajar sektor pertanian. Selain itu, medan rawa membuat penyesuaian berlangsung ekstra.
“Kalau dari awal memang agak kaget, karena kita kan basic-nya di bidang kesehatan. Tapi kita harus merawat padi, juga merawat ikan,” ungkapnya. “Lalu dari medannya juga enggak kayak sawah pada umumnya. Biasanya kan di lahan pertanian darat ini di tengah-tengah rawat jadi agak perlu penyesuaian.”
Latihan kemampuan teknis pun harus dilakukan dari nol. “Sebelumnya kita kan enggak bisa dayung, kita juga harus latihan dayung. Meski tidak mudah, penyesuaian berjalan cepat. “Mungkin sekitar satu sampai dua bulan,” ujarya seraya tersenyum.
Pengalaman serupa disampaikan Pandunur Setyajati, mahasiswa Program Studi Kesehatan Masyarakat UNW, semester 5, yang kini berusia 20 tahun. Kesulitan terbesar menurutnya adalah medan Rawa Pening yang tidak biasa bagi pemula.

“Medannya ini sangat-sangat sulit. Apalagi ini berada di tengah rawa. Ini sangat berbeda dengan sawah-sawah yang ada di daratan. Orang tua saya juga punya sawah, tapi di daratan. Makanya ini pengalaman baru banget,” lugasnya.
Ia mencontohkan saat proses pemasangan media tanam pada lapisan styreofoam. “Waktu kita mengimplementasikan media tanam ke styreofoam itu sangat sulit, karena kita kan juga menggunakan perahu. Kita harus menyeimbangkan perahu supaya tidak oleng ke kanan atau kiri, supaya tidak jatuh,” katanya sambil tertawa.
Rawa Pening bukan tempat yang mudah. Airnya tenang, tapi menyimpan bahaya tersembunyi. Sekali waktu, angin datang dari arah Telomoyo dan mengguncang perahu. Mereka tahu benar risiko itu. Karena itu, pelampung selalu menjadi kewajiban.
“Untuk insiden belum ada sih, soalnya kan kita juga wajib memakai pelampung untuk aktivitas di rawa ini.”
Rentan Banjir
Desa Kebondowo terdiri dari 7 dusun dan 2 asrama (TNI dan Polri), dengan 13 Rukun Warga (RW) dan 50 Rukun Tetangga (RT). Secara geografis, Desa Kebondowo memiliki luas 691,602 hektare, dengan ketinggian berkisar antara 200 hingga 450 meter di atas permukaan laut.
Potensi di Desa Kebondowo meliputi pertanian yang subur dan lokasi strategis dekat Rawa Pening, cocok untuk pengembangan pertanian dan perikanan. Permasalahan muncul karena lahan pertanian sering terendam air akibat pasang surut Rawa Pening, sehingga petani hanya bisa panen maksimal setahun sekali dengan hasil tidak pasti.
“Agrofloat ini kami rancang untuk mendorong swasembada pangan dan meningkatkan pendapatan masyarakat,” ujar Sri Wahyuni, S.KM., M.Kes, dosen pendamping yang akrab disapa Yuni, membuka percakapan di tepian Rawa Pening.
Angin lembut dari permukaan rawa membawa aroma eceng gondok yang menumpuk di tepian. Sementara di kejauhan, beberapa mahasiswa masih tampak sibuk di lahan demplot untuk memeriksa tanaman padi.
“Selama ini, masyarakat kalau lahannya tergenang air, tidak bisa menanam. Padahal potensi di sini besar sekali. Maka kami dari tim PPK Ormawa Bhumijala mencoba memberi solusi lewat konsep padi apung berbasis smart farming,” katanya, sambil menunjuk hamparan lahan percobaan yang terapung di atas air setenang kaca.

Rawa Pening bukan tempat mudah untuk bertani. Air yang naik setiap musim hujan membuat sawah terendam berbulan-bulan. Petani hanya bisa menanam sekali setahun, selebihnya menunggu air surut sambil pasrah pada cuaca.
“Dengan Agrofloat, petani bisa menanam tiga kali setahun,” lanjutnya. “Karena padinya kami tanam di atas media apung, bukan di tanah.”
“Sekarang padinya masih tumbuh bagus,” kata Yuni. “Setiap minggu kami masih melakukan penyemprotan dan pemupukan. Sebelumnya kami pakai urea, tapi itu hanya di awal, sekitar 40 hari pertama,” katanya.
Mereka juga bermitra dengan PT Pupuk Indonesia yang membantu pengujian unsur hara dan kesiapan media tanam. “Pupuk Indonesia juga memberi bantuan pupuk untuk tahap berikutnya,” tambahnya.
Tak hanya itu, Bhumijala juga menggandeng Kelompok Tani Desa Kebondowo, Balai Penyuluhan Pertanian (BPP) Banyubiru, dan Dinas Pertanian Kabupaten Semarang. “Setiap pekan kami evaluasi, apakah ada hama atau tidak. Mereka aktif memantau bersama kami,” ujarnya.
Program ini berjalan selama lima bulan, sejak Juli lalu. Meski masa hibah dari Kemdikti Saintek hanya berlangsung hingga November, namun Yuni menegaskan akan ada keberlanjutan program.
“Setelah ini kami bekerja sama dengan pemerintah desa dan kelompok tani untuk melanjutkan. Mereka sudah berkomitmen,” katanya mantap.
Setiap tanggal 17, Yuni dan timnya rutin hadir di pertemuan kelompok tani. Mereka berbagi hasil, berdiskusi, dan merancang pengembangan ke dusun-dusun lain di sekitar Rawa Pening.
“Kami ingin inovasi ini tidak berhenti di Kebondowo saja,” ujarnya. “Masih banyak wilayah lain yang bisa kita bantu.”
Dua Hasil Panen
Hari yang ditunggu pun tiba, tanaman padi genap berusia 124 hari. Pada Rabu 19 November, mereka bersiaga di dermaga Bukit Cinta, Banyubiru sejak pagi. Bukan untuk berwisata, melainkan menunggu sejumlah pejabat dan rekanan yang akan melakukan panen bersama.
Puluhan pelampung berwarna oranye terlihat menumpuk di sudut dermaga samping tangga menurun menuju perahu. Bukan lagi menggunakan perahu dayung, melainkan perahu motor kapasitas 5-6 orang berderet untuk mengangkut menuju demplot.
Kondisi rawa saat ini berbeda, karena air telah pasang sejak sepekan terakhir. Hal itulah yang menjadi salah satu alasan membuat mereka memilih menggunakan perahu motor. Pematang sawah dan lahan padi yang membentang dari tanggul hingga tengah rawa telah tertutup air. Kondisi seperti ini menjadi siklus tahunan Rawa Pening ketika curah hujan meningkat.
Saya ikut dalam rombongan perahu paling depan, melihat hamparan rawa terasa lebih luas. Tak lagi terlhat pematang sawah dan hijaunya lahan padi seperti dua pekan silam. Kondisi ini membuat puluhan hektare lahan padi yang baru berumur sekira dua bulan terancam gagal dipanen.
Deru mesin motor meraung-raung membelah tenangnya air rawa. Deretan gunung Telomoyo hingga Merbabu tetap berdiri gagah, dengan bayangan yang memantul di permukaan air.
Dengan wajah berbinar, mereka memanen padi. Sebagaimana saat menanam, mereka mesti menggunakan perahu untuk memotong rumpun padi dan mengangkutnya ke karamba. Sementara untuk memanen ikan relatif mudah, yakni dengan cara menyerok untuk dimasukkan ke ember.
Mereka mendapatkan dua anugerah sekaligus, 65 kilogram ikan yang selama ini berenang lincah di sela batang padi, serta 58 kilogram gabah yang menguning sempurna. Bagi mereka, hasil panen ini bukan sekadar angka, melainkan buah dari ketekunan dan kebersamaan.
Varietas yang digunakan di demplot, Inpara-8, memiliki potensi hasil hingga ~6,0 ton/ha, meski pada lahan rawa produktivitas nyata biasanya berkisar 3,5–4,7 ton/ha tergantung manajemen, kondisi air, dan pemupukan.
Jika dikonversi ke skala hektare, 58 kilogram gabah dari lahan 425 meter persegi setara dengan sekitar 1,37 ton gabah per hektare (≈0,89 ton beras/ha setelah penggilingan). Meski angka ini jauh di bawah potensi varietas yang digunakan, namun dinilai wajar pada fase awal karena teknologi Agrofloat masih dalam tahap adaptasi.
Beberapa faktor yang memengaruhi hasil antara lain kestabilan rakit styrofoam, ketersediaan nutrisi yang belum optimal, fluktuasi ketinggian air, serta tingginya tekanan angin di Rawa Pening yang berpengaruh pada penyerapan unsur hara.
Sementara, produksi 65 kg ikan dari demplot 425 meter persegi setara dengan ±1,53 ton nila per hektare. Angka ini sejalan dengan studi integrated rice–fish (sawah + ikan), rata-rata hasil ikan per hektare biasanya sekitar 485 kg/ha per musim. Bahkan, ada juga studi yang menyatakan hasil 1.500–1.700 kg/ha, tergantung manajemen, jenis ikan, dan kepadatan tebar.

Kombinasi produksi padi dan ikan ini memberi sinyal bahwa konsep Agrofloat bukan hanya berfungsi sebagai mitigasi banjir, tetapi juga membuka peluang peningkatan pendapatan petani. Fase berikutnya akan difokuskan pada optimalisasi pemupukan berbasis uji tanah, perbaikan desain rakit agar lebih stabil, serta peningkatan jumlah petak uji agar data produksi lebih representatif.
“Bayangkan kalau itu bisa dikembangkan,” kata Yuni, matanya berbinar. “Banyubiru bisa menjadi contoh ketahanan pangan berbasis air.”
Selain pertanian, tim Bhumijala juga mulai mengembangkan wirausaha pascapanen. Dari ikan nila hasil panen, mereka melatih Kelompok Wanita Tani (KWT) untuk membuat nugget ikan. “Kami ingin produk hasil panen tidak berhenti di sawah, tapi menjadi olahan bergizi untuk keluarga.”
Tujuannya lebih besar lagi: pencegahan stunting. “Anak-anak kan sering tidak suka ikan karena durinya. Jadi kami ubah jadi nugget yang lebih aman dan disukai,” katanya sambil tertawa kecil. “Ini cara kami, dari kesehatan, membantu masyarakat lewat pangan.”
Dari sisi lain lahan, saya melihat ibu-ibu dari KWT datang mendekat ke demplot dengan perahu. Salah satunya, Sri Nur Cahyani, tersenyum ramah. “Kami diajak belajar bikin nugget ikan dari hasil nila ini,” katanya. “Biar anak-anak bisa makan ikan tanpa takut duri.”
Ide pemberdayaan KWT itu juga datang dari mahasiswa. Dari hasil panen ikan, mereka membuat pelatihan pengolahan pangan untuk ibu-ibu desa. Produk nugget ikan itu nantinya dijual sebagai usaha rumahan.
Respons masyarakat luar biasa. “Anak-anak kami suka,” kata Nur. “Bahkan mereka pikir itu nugget ayam.” Ia tertawa sambil menunjukkan contoh produk yang dibungkus sederhana.
Harapan Baru di Atas Air
Di karamba yang biasa digunakan untuk berteduh, tampak Bambang Sulistia, Ketua Kelompok Tani Desa Kebondowo. Ia mendampingi anak-anak muda dari Universitas Ngudi Waluyo.
“Program mereka bagus, semangatnya luar biasa. Mereka mau turun langsung ke rawa, belajar bareng warga.”
Bambang sudah terbiasa menjadi tempat belajar bagi mahasiswa. Ia menyebut dirinya bagian dari pusat pelatihan masyarakat, sebuah bentuk kesadaran kolektif untuk membuka diri terhadap pengetahuan baru. Maka ketika mereka datang membawa program Agrofloat—padi apung berbasis smart farming—ia langsung setuju menjadi mitra.
“Ini pilot project,” katanya mantap. “Artinya uji coba yang nanti bisa dipakai petani saat air Rawa Pening naik. Karena kalau musim hujan datang, sawah kami tergenang, tidak bisa ditanami. Mudah-mudahan padi apung ini bisa jadi jalan keluar.”
Bambang dan 30 anggotanya terlibat penuh dalam kegiatan ini—dari pembuatan media tanam hingga pemeliharaan ikan nila di bawah rakit padi. Konsep Mina Padi apung ini menurutnya menarik, karena memungkinkan dua hasil panen sekaligus. Program ini, lanjutnya, sangat relevan dengan kondisi geografis Kebondowo.
“Dulu Rawa Pening bentuknya seperti mangkuk, sekarang sudah seperti piring,” ujar Bambang menggambarkan pendangkalan dan sedimentasi yang terjadi.
“Airnya meluap ke sawah-sawah kami. Itu masalah utama. Tapi kalau teknologi padi apung ini berhasil, kami bisa tetap tanam walau air naik.”
Ia menegaskan, perubahan ekologis ini sudah sangat lama, bahkan saat dirinya belum lahir. Pendangkalan membuat rawa makin dangkal, sementara enceng gondok tumbuh cepat dan menutup permukaan air.
“Sedimen tinggi, eceng gondok tumbuh cepat, sawah jadi korban,” katanya. “Kalau dulu airnya jernih, sekarang meluber ke persawahan kadang permukiman.”
Meski demikian, Bambang optimistis. “Saya menilai pemerintah sudah berupaya baik, tapi petani juga harus bergerak. Kami tidak bisa menunggu. Harus bersinergi dengan perguruan tinggi, media, dan lembaga lain,” katanya. “Petani di sini bukan hanya butuh bantuan, tapi butuh kawan belajar.”

Sebagai ketua kelompok tani, ia mengoordinasikan sekitar 200 anggota dari tujuh kelompok, ditambah jaringan KWT. “Wilayah kami kompleks,” jelasnya. “Ada lahan di dataran tinggi, sedang, dan rendah. Yang dekat Rawa Pening paling rawan tergenang. Tapi semua tetap ingin menanam.”
Kepala Desa Kebondowo, Kecamatan Banyubiru, Ahmad Yani menjelaskan bahwa wilayahnya menjadi salah satu kawasan yang paling terdampak naik-turunnya air Rawa Pening. Secara keseluruhan, kawasan pertanian di Desa Kebondowo mencapai sekitar 250 hektare.
Lahan tersebut digarap oleh banyak petani dengan rata-rata kepemilikan 2.500 meter persegi hingga 2 hektare per orang. Dampaknya terasa langsung terhadap penghasilan warga. “Kalau untuk Desa Kebondowo lebih dari 60 hektare,” ujarnya saat menggambarkan area sawah yang rutin tertutup air saat pasang.
Kondisi itu membuat petani tidak bisa berbuat banyak. “Para petani ya enggak bisa budidaya padi, ya akhirnya dibiarkan,” katanya. Menurutnya, situasi seperti ini bukan hal baru. “Sudah lama. Sudah lama dari dulu, dari nenek moyang,” jelasnya.
Karena itu, pemerintah desa menyambut baik inovasi Mina Padi apung yang dikembangkan mahasiswa. Menurutnya, terobosan ini memberi harapan baru bagi petani di wilayah pasang-surut.
“Sangat positif karena bisa membantu masyarakat kami, ketika air pasang di sawah itu. Semoga dengan inovasi yang baru ini hasilnya akan berdampak positif,” katanya.
Lebih jauh, dukungan tidak hanya datang dari pemerintah desa, tetapi juga dari petani dan pemerintah kabupaten. “Alhamdulillah mendukung semua dari kabupaten, dari petani sendiri di sekitar Rawa Pening,” ujarnya.
Ia memastikan pemerintah desa selalu memberikan ruang dan dukungan bagi mahasiswa dan petani yang ingin mengembangkan inovasi di wilayahnya. “Kita selalu support kepada adik-adik mahasiswa dan petani kami yang ada di sekitar Rawa Pening,” tegasnya.
Data Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Direktorat Jenderal Sumber Daya Air, Balai Besar Wilayah Sungai Pemali Juana merinci, kedalaman danau: 0,35 – 10 m, rerata = 2,17 m; sedimentasi: 778,93 ton/th, dengan laju sedimentasi 1.77 mm/ ha/ tahun pada 2015. Sementara sebaran eceng gondok di Rawa Pening pada periode Mei–Agustus 2024 berkisar 632,6 hektare.
Jurnal Institut Teknologi Nasional Yogyakarta (ITNY) April 2020 membeberkan karakteristik endapan air Rawa Pening tepatnya di Muara Inlet Sungai Galeh. Lapisan dasar di muara sungai inlet menunjukkan sedimen halus berupa pasir-lanau & lumpur kaya bahan organik, menunjukkan bahwa kawasan ini adalah facies danau dangkal ke dalam, dengan potensi sebagai media tanam/hortikultura atau mendukung struktur rakit terapung.
Menuju Swasembada Pangan
Pemerintah Kabupaten Semarang menyebut Rawa Pening membentang di empat kecamatan yakni Tuntang, Bawen, Banyubiru, dan Ambarawa. Fungsinya sebagai sumber air, irigasi, PLTA, serta ruang hidup masyarakat setempat. Kondisi ekologisnya sudah lama terganggu oleh pertumbuhan gulma air seperti eceng gondok dan akumulasi sedimen.
Pada musim kemarau, luas perairan dapat menyusut hingga sekitar 1.800 hektare, sementara saat musim hujan bisa melebar sampai 2.600 hektare. Dari perubahan elevasi air sekitar 800 hektare itulah lahan yang biasanya dimanfaatkan petani sebagai sawah ketika surut. Namun persoalannya, air kerap naik tiba-tiba saat hujan.
Dinas Pertanian, Peternakan, dan Pangan (Dispertanikap) Kabupaten Semarang menilai, jika model Mina Padi Apung ini berhasil, Rawa Pening bisa menjadi lahan potensial baru. Ada lebih dari 800 hektare area yang dapat dimanfaatkan untuk sistem padi apung dan Mina Padi.
Penyuluh Pertanian Muda Dispertanikap Kabupaten Semarang, Agung Maasabha, menjelaskan bahwa kondisi Rawa Pening sangat dipengaruhi naik-turunnya permukaan air sepanjang musim.
“Kondisionalnya itu naik turun air. Jadi musim hujan, musim kemarau itu naik turun,” ujarnya.
Laporan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) menyatakan wilayah Jawa Tengah (termasuk Ambarawa/Banyubiru) mengalami peningkatan curah hujan di musim puncak, hingga mendorong kenaikan muka air Rawa Pening dan memperluas genangan. Bahkan pada 2024 wilayah Jawa Tengah termasuk dalam zona dengan curah hujan tahunan tinggi (>2.500 mm) pada pola normal/normal-tinggi.
“Sering terjadi, petani itu menanam sampai lima kali, tapi yang hasil hanya sekali atau dua kali,” katanya, menggambarkan betapa rentannya tanaman yang terendam sebelum panen.
Ia menyebutkan bahwa petani di sekitar Rawa Pening tersebar di lima kecamatan, yaitu Bawen, Ambarawa, Banyubiru, dan wilayah Kota. Ketika air pasang, petani tidak dapat mengolah sawah sama sekali.
“Iya, enggak bisa. Hanya bisa menunggu surut aja,” ungkapnya.
Hal ini terjadi terutama pada musim hujan, ketika elevasi pintu air Tuntang harus diatur oleh Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS) Pemali Juana. Rawa Pening menjadi sumber air bagi Demak, Gubug, dan Grobogan, sekaligus mengaliri PLTA Jelok, sehingga tidak bisa serta-merta dibuang seluruhnya.
“Kalau sertamerta dialirkan semua, kejadiannya seperti yang kemarin kita dengar banjir,” jelas Agung. Karena itu, sekali penurunan elevasi harus dihitung matang. “Kemarin menurunkan angka 80 sentimeter saja itu bisa 150 hektare bisa ditanam,” tambahnya.
Di tengah tantangan itu, Agung menilai inovasi Mina Padi apung sebagai harapan baru. Dengan sistem ini, petani tidak lagi sepenuhnya bergantung pada surutnya air. Bahkan, ketika permukaan air naik, rakit tanam bisa digeser lebih ke arah rawa sehingga luas tanam bertambah.
“Kami harapkan ini bisa dikembangkan di lahan pasang surut, jadi bisa nambah (lahan). Baik ketika surut bisa nanam, dan saat naik (pasang) juga tetap bisa nanam. Misalkan yang 800 hektare ini bisa jadi dua (kali tanam),” ujarnya.
Inovasi ini, lanjutnya, sejalan dengan upaya optimalisasi lahan rawa yang juga menjadi bagian dari program nasional. Dengan kemampuan tanam lebih dari sekali, potensi luas tanam bisa meningkat signifikan.
“Bisa 1 kali tanam, bisa jadi 2 atau bisa jadi 3,” katanya. Jika optimal, lahan 800 hektare dapat berlipat hasilnya. “800 hektare bisa 1.600 hektare,” ujar Agung, tergantung seberapa besar area yang akan difokuskan untuk model padi apung.
Jurnal Ilmiah Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) memaparkan data historis kualitas perairan Rawa Pening. Indeks Trophic State Index (TSI) di berbagai stasiun pengamatan berkisar 57,22–68,06, menunjukkan tingkat eutrofik tinggi. Artinya, perairan kaya nutrisi, mendukung pertumbuhan tanaman air maupun perikanan, tapi memiliki risiko degradasi jika tidak dikelola.
Kepala Dispertanikap Kabupaten Semarang, Moh Edy Sukarno, juga menyebut inovasi ini sebagai proyek percontohan. “Kami akan mendampingi dengan penyuluh di tiap kecamatan,” katanya. “Ini bisa jadi model swasembada pangan di kawasan perairan.”
Rektor Universitas Ngudi Waluyo, Prof. Subiyantoro, menjelaskan bahwa inovasi Padi Mina Apung di kawasan Rawapening lahir dari kesadaran mahasiswa terhadap pentingnya ketahanan pangan nasional. Ia menegaskan bahwa program tersebut selaras dengan arah pembangunan pemerintah.
“Program Padi Mina Apung di kawasan Rawa Pening ini didasari pada Asta Cita Presiden Prabowo yang salah satunya terkait dengan ketahanan pangan yang memang ini menjadi skala prioritas kita, agar bangsa Indonesia bisa berswasembada pangan,” ujarnya.

Menurutnya, semakin berkurangnya lahan pertanian menjadi dorongan bagi mahasiswa untuk berinovasi. “Ini bentuk inovasi mahasiswa, melihat makin lama makin sedikit lahan pertanian. Maka mahasiswa berinovasi untuk bisa memanfaatkan kawasan Rawa Pening ini jadi kawasan yang bisa berproduksi, bisa mendukung program ketahanan pangan ini,” tambahnya.
Prof. Subiyantoro menegaskan bahwa program tersebut tidak berhenti pada hibah PPK Ormawa semata. “Padi Mina Apung ini menjadi bagian dari kelanjutan proses Tridharma Perguruan Tinggi,” ucapnya.
Ia menyebut bahwa kampus akan terus mengkaji potensi inovasi lanjutan. Namun, karakteristik Rawa Pening yang berbeda-beda harus menjadi perhatian. Program tersebut akan dikembangkan mahasiswa agar dapat diperluas dan diadaptasi.
“Akan kami kaji produk-produk yang terkait, inovasi-inovasi apa lagi yang bisa dilakukan oleh sivitas akademika,” tuturnya.
Melalui kajian tersebut, ia berharap teknologi Mina Padi Apung dapat menyebar lebih luas dan membantu menutup kekurangan lahan pertanian yang terus menyusut. Selain itu, Prof. Subiyantoro mengapresiasi dukungan instansi yang terlibat dalam pendampingan program ini.
“Alhamdulillah tim PPK Ormawa ini bisa berkolaborasi dengan banyak pihak, tentunya dengan Dinas Pertanian Perikanan dan Pangan Kabupaten Semarang yang didukung oleh Balai Pelatihan Penyuluhan Pertanian, serta Pupuk Indonesia,” ungkapnya.
Sejak tahap awal hingga panen, mahasiswa mendapat pendampingan penuh. Ia juga menyampaikan peran aktif Pupuk Indonesia. “Juga dari Pupuk Indonesia yang memberikan support,” ucapnya. Prof. Subiyantoro berharap kerja sama tersebut dapat terus diperkuat.
“Semoga nanti kami tetap bisa berkolaborasi, tim peneliti dari Pupuk Indonesia bisa ikut memberikan penguatan dari inovasi mahasiswa ini,” katanya.
Turunkan Tim Riset
Manager Penjualan Area Jateng II PT Pupuk Indonesia (Persero), Safari Yusuf, menjelaskan bahwa perusahaannya langsung tertarik ketika mahasiswa mengajukan rencana penelitian penanaman padi di wilayah perairan Rawa Pening.
“Kami sangat interest dikarenakan ini adalah inovasi baru di tengah kesulitan dari pemerintah untuk menambah luas lahan tanam,” ujarnya.
Ia menilai pendekatan tersebut memberi peluang pemanfaatan lahan yang sebelumnya kurang produktif. “Di lahan yang kiranya kurang produktif ini bisa untuk produksi tanaman pangan, khususnya padi,” tambahnya.
Menurut Yusuf, pihaknya bersama tim riset turun langsung mengecek lokasi sebelum memberikan dukungan. “Saat itu kami dengan Tim Riset mengecek lokasi dan mengadakan uji sampel tanah untuk mengetahui unsur-unsur apa yang sekiranya cocok nanti, pupuk apa yang cocok untuk di lahan tersebut,” jelasnya.
Setelah hasil uji keluar, Pupuk Indonesia memutuskan memberikan pupuk non-subsidi. “Untuk uji coba ini kami memberikan pupuk non-subsidi yaitu Ponska Plus,” katanya.

Dari hasil awal, pertumbuhan padi dinilai cukup menjanjikan. Namun Yusuf menegaskan perlunya pengujian lanjutan. “Masih ada yang harus diulang pilot project ini, karena kekurangan dan kelebihannya itu harus kami uji kembali agar ke depan nanti sesuai dengan hasil yang diharapkan,” ujarnya.
Ia menyebut produktivitas, dosis pupuk, dan cara perawatan harus benar-benar tepat sebelum proyek diperluas. “Harapan kami apabila nanti dalam proyek ke depan ini hasilnya sudah maksimal, baru kita bermain di lahan yang lebih luas,” tegasnya.
Ia juga menyampaikan rencana kolaborasi berkelanjutan antara perusahaan, universitas, dan pemerintah daerah. “Kemungkinan nanti kita akan membuat MoU seperti apa ke depan kerjasamanya,” tuturnya.
Ia berharap temuan mahasiswa tidak berhenti pada pilot project. PT Pupuk Indonesia, kata Yusuf, siap bila inovasi ini diperluas ke tempat lain. Sebagai penyalur pupuk subsidi nasional, mereka juga membuka ruang untuk kolaborasi lebih luas.
“Kami sangat mendukung untuk sektor-sektor pertanian ini. Agar hasilnya nanti itu bisa dinikmati oleh masyarakat. Apabila nanti memang harus berkolaborasi di tempat lain, kami sangat mendukung,” tegasnya.
Di sekitar kami, eceng gondok bergoyang pelan di atas air. Burung-burung rawa beterbangan rendah, menandai datangnya sore. Dari kejauhan, perahu lain mulai bergerak pulang, meninggalkan riak-riak kecil di permukaan air.
Langit mulai berwarna jingga. Bayangan gunung Telomoyo dan Merbabu memanjang di permukaan Rawa Pening, seolah menutup hari dengan doa. Saya menatap mahasiswa-mahasiswa itu, keringat menempel di wajah, tangan mereka masih kotor oleh lumpur, tapi senyum tak pernah hilang.
Perahu motor itu menderu pelan saat mereka kembali menuju dermaga. Getaran mesinnya membelah hamparan eceng gondok yang berkilau diterpa cahaya sore. Panen pertama memang telah usai, tetapi perjalanan mereka baru benar-benar dimulai.
Dalam hati saya tahu, apa yang mereka lakukan di sini bukan sekadar penelitian. Ini tentang keberanian anak-anak muda untuk meretas peliknya rawa, menjembatani ilmu dan kearifan lokal, mengubah keterbatasan menjadi sumber harapan swasembada pangan.
Editor : Enih Nurhaeni