SALATIGA, iNEWSJOGLOSEMAR.ID – Menyambut bulan suci Ramadan, masyarakat di berbagai daerah menggelar beragam tradisi. Salah satunya adalah punggahan, seperti yang dilakukan warga Dusun Gamol RT 05/RW 06, Kelurahan Kecandran, Kecamatan Sidomukti, Kota Salatiga, pada Selasa (25/2/2025).
Punggahan secara harfiah berarti "naik," yang melambangkan harapan agar umat Muslim dapat meningkatkan ibadah selama bulan Ramadan. Kegiatan ini diawali dengan doa bersama dan pembacaan tahlil yang ditujukan kepada leluhur yang telah berpulang.
Ketua RT 05, Riyanto, menjelaskan bahwa tradisi punggahan telah berlangsung sejak lama dan diwariskan turun-temurun. Warga yang mengikuti acara ini diwajibkan membawa berbagai sajian khas, seperti kue apem, kue pasung, serta olahan berbahan beras ketan.
"Punggahan ini meneruskan ajaran para pendahulu. Konon, tradisi ini juga diajarkan oleh Sunan Kalijaga sebagai simbol penyambutan Ramadan. Kue apem sendiri melambangkan permohonan maaf, yang berasal dari kata ‘afwan’ dalam bahasa Arab," terangnya di Mushola Al Muttaqin Gamol.
Lebih lanjut, Riyanto menambahkan bahwa tujuan utama dari punggahan adalah untuk meningkatkan keimanan serta mempersiapkan diri secara spiritual dalam menjalankan ibadah puasa Ramadan.
Sebelum menggelar punggahan, warga setempat juga melakukan tradisi nyadran, yakni membersihkan makam leluhur, berdoa bersama, serta berkomitmen untuk menjauhi perbuatan yang kurang baik selama Ramadan.
"Punggahan juga menjadi ungkapan rasa syukur kepada Allah SWT atas nikmat yang diberikan. Selain itu, tradisi ini mempererat tali silaturahmi antarwarga, yang diwujudkan dengan makan bersama setelah berdoa," imbuhnya.
Sementara itu, tokoh agama setempat, Ustadz Zuhri, menjelaskan bahwa punggahan biasanya dilaksanakan antara satu minggu hingga dua hari sebelum hari pertama puasa Ramadan.
Menurutnya, punggahan memiliki makna yang luas, terutama sebagai pengingat bagi umat Islam agar lebih mempersiapkan diri dalam menyambut bulan penuh berkah.
"Tradisi ini juga mengingatkan masyarakat untuk segera melunasi kewajiban ibadah, seperti membayar fidyah atau mengganti puasa tahun lalu yang tertunda karena halangan," jelas Zuhri.
Dengan adanya tradisi ini, masyarakat Salatiga tidak hanya melestarikan budaya leluhur, tetapi juga semakin siap secara spiritual dalam menjalani ibadah Ramadan dengan penuh keikhlasan dan kekhusyukan.
Editor : Enih Nurhaeni
Artikel Terkait