Catwalk di Atas Jembatan Kayu, Fesyen Show di Desa Tenggelam Timbulsloko Demak

Taufik Budi
Catwalk di Atas Jembatan Kayu, Fesyen Show di Desa Tenggelam Timbulsloko Demak (Taufik Budi)

DEMAK, iNEWSJOGLOSEMAR.ID - Di atas jembatan kayu yang menghubungkan rumah-rumah warga, sebuah peragaan busana unik digelar di Desa Timbulsloko, Sayung, Demak. Jembatan yang biasanya digunakan warga sebagai satu-satunya akses keluar masuk kini menjadi catwalk bagi model profesional, aktivis lingkungan, hingga perempuan nelayan setempat.  

Acara ini bukan sekadar peragaan busana, tetapi juga simbol ketahanan warga pesisir terhadap dampak krisis iklim. Fesyen show ini merupakan bagian dari peringatan Hari Perempuan Internasional yang diselenggarakan oleh Komunitas Fesyen Berkelanjutan EMPU, bekerja sama dengan Puspita Bahari, Barapuan, YLBHI-LBH Semarang, Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA), PPNI, dan LBH APIK. Bertajuk "Gerak Budaya dan Karya Ramah Lingkungan untuk Masa Depan Warga Pesisir Menghadapi Krisis Iklim," acara ini menggambarkan perjuangan perempuan pesisir dalam beradaptasi di tengah ancaman lingkungan.  

Leya Cattleya dari Komunitas EMPU mengungkapkan kondisi mengenaskan yang dialami warga Timbulsloko. Menurutnya, pada 2019, jumlah penduduk desa ini mencapai lebih dari 3.000 jiwa, tetapi kini hanya tersisa sekitar 200 orang dari 80-an kepala keluarga.  

"Dulu, warga bisa menggunakan jalan untuk kendaraan, tetapi sejak banjir rob terus meningkat, mereka harus menggunakan sampan. Tinggi air sudah mencapai perut orang dewasa, membuat kehidupan semakin berat. Tantangan bagi warga luar biasa, mulai dari mencari nafkah hingga bertahan hidup," ujar Leya.  

Banyak warga yang awalnya bekerja sebagai petani kemudian beralih menjadi nelayan karena lahan pertanian mereka tenggelam. Namun, menjadi nelayan pun tidak mudah karena laut kini dipagari, membatasi akses mereka untuk mencari ikan. Lebih dari itu, sebagian besar pendapatan mereka habis untuk meninggikan rumah demi bertahan dari ancaman air pasang.  

Tak hanya itu, cara berpakaian warga pun berubah karena kondisi lingkungan. "Dulu mereka bisa berpakaian biasa, tetapi sekarang harus memakai kantong plastik sebagai sepatu boot darurat untuk menghindari air yang terus merendam," kata Leya.  

Jembatan kayu yang digunakan sebagai catwalk adalah hasil gotong royong warga, dibuat dari kayu-kayu bekas rumah yang tenggelam. Dengan panjang sekitar satu kilometer, jembatan ini menjadi satu-satunya akses bagi warga untuk keluar dari desa.  

Leya menegaskan bahwa adaptasi yang dilakukan warga ini adalah bentuk ketahanan yang luar biasa. "Kami menyebutnya 'adaptasi rakyat', tetapi ini bukan sesuatu yang bisa terus dibiarkan. Mereka bertahan karena terpaksa, bukan karena mereka ingin. Krisis iklim seharusnya mendapat perhatian serius dari semua pihak," katanya.  

Fesyen show ini diharapkan dapat menjadi pengingat bahwa dampak krisis iklim bukan sekadar isu global, tetapi nyata dan sudah dirasakan oleh banyak komunitas. Solidaritas dari berbagai pihak, baik pemerintah, sektor swasta, maupun masyarakat sipil, menjadi kunci agar warga pesisir seperti di Timbulsloko memiliki masa depan yang lebih baik.  

"Solidaritas membuat mereka bertahan, tetapi pada akhirnya, mereka butuh solusi nyata untuk benar-benar bisa hidup dengan layak," tandas Leya.

Peragaan busana ini menampilkan 20 karya dari Komunitas EMPU dan masyarakat pesisir Omah Petruk, menggunakan kain berbahan serat alam dengan pewarna alami. Karya ini berasal dari berbagai artisan, di antaranya:  

- Patanning.co (Sumba Timur)  

- Zie Batik (Semarang)  

- Moncer Art (Sragen)  

- Mlati Wangi (Semarang)  

- Rhabag (Semarang)  

- YC Aurart (Jakarta)  

- Lucy Chan  

- Swarna Bumi Ecoprint (Nganjuk)  

- Susi Shibori  

- Sora Shibori  

- Nine Penenun (Lombok Timur)  

- Collabox Creative Hub (Semarang)  

- Omah Petruk (Jepara)  

- Batik Demakan  

Koleksi ini menunjukkan bahwa fesyen dapat menjadi alat advokasi sosial dan lingkungan. Leya menegaskan bahwa industri fesyen berkontribusi 10% terhadap emisi karbon dunia, terutama melalui penggunaan bahan sintetis dan pewarna kimia. Oleh karena itu, fesyen berkelanjutan bisa menjadi salah satu solusi dalam mengurangi dampak buruk terhadap lingkungan.  

"Kita bisa berkontribusi dengan tidak sering membeli baju baru, merawat pakaian yang ada, dan memilih bahan yang lebih ramah lingkungan," tambahnya.  

Acara ini juga menampilkan tarian perempuan pesisir, menambah kekuatan narasi perjuangan warga dalam menghadapi perubahan iklim. Yang lebih menarik, model yang melenggang di atas catwalk bukan hanya dari kalangan profesional, tetapi juga ibu-ibu nelayan, petani, dan aktivis perempuan dari berbagai organisasi.  

Lasmiyah, seorang perempuan nelayan yang ikut dalam peragaan busana ini, mengungkapkan bahwa ia baru pertama kali mengikuti acara semacam ini.  

"Biasanya kerja bantu suami cari nafkah buat anak sekolah, ini baru sekali ikut fesyen show begini," ujarnya.  

Namun, di balik pengalaman baru ini, ia mengisahkan kehidupan yang semakin sulit.  

"Dulu kami bisa hidup lebih tenang, tapi sekarang desa ini sudah seperti lautan. Rumah-rumah tenggelam, semua serba susah. Pemerintah maunya kami pindah, tapi mau ke mana? Hidup di sini memang sulit, tapi ini rumah kami," kata Lasmiyah.  

Menurutnya, sejak 2014 kondisi semakin parah, dengan banjir yang tidak kunjung surut.  

"Saya sudah 42 tahun tinggal di sini, punya tiga anak. Suami saya juga tetap melaut, walau sekarang mencari ikan makin sulit. Semua makin berat," tambahnya.  

Lasmiyah berharap ada perhatian lebih dari pemerintah, bukan sekadar menyuruh warga pindah tanpa solusi konkret. Dia beharap pemerintah membangun permanen agar mempermudah mobilitas warga keluar masuk kampung.

 

Editor : Enih Nurhaeni

Bagikan Artikel Ini
Konten di bawah ini disajikan oleh Advertiser. Jurnalis iNews Network tidak terlibat dalam materi konten ini.
News Update
Kanal
Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik Lebih Lanjut
MNC Portal
Live TV
MNC Network