Lebih dari Sekadar Bahasa
Namun menurut Yuliansyah, menjadi pemandu yang baik tak cukup hanya mengandalkan kefasihan bahasa. Wawasan lintas budaya menjadi elemen penting lain yang harus dikuasai.
“Jangan menanyakan hal-hal pribadi seperti status pernikahan, usia, atau pekerjaan mereka. Itu dianggap tidak sopan di beberapa budaya,” pesannya. Selain itu, ia juga mengingatkan soal kecenderungan beberapa turis asing yang enggan difoto.
“Daripada memaksa mereka berfoto bersama, lebih baik arahkan mereka ke spot-spot yang fotogenik. Di Lawang Sewu, pintu utama, tangga besar, dan halaman tengah adalah favorit,” lanjutnya sambil meminta para peserta mempraktikkan cara memandu turis ke titik-titik tersebut.
Sesi ini tidak hanya berupa teori. Peserta diberi kesempatan untuk mempraktikkan penyampaian informasi sejarah dalam bahasa Inggris, diselingi dengan tips komunikasi sopan dan menarik. Selain itu, peserta juga diajak berdiskusi tentang kemungkinan pertanyaan turis dan bagaimana meresponsnya dengan tepat.
Pemantapan ini belum berakhir. Minggu depan, peserta dijadwalkan kembali ke lokasi untuk menjalani praktik lapangan langsung. Mereka akan diminta menyusun narasi pemanduan yang mencakup alur cerita, titik pemberhentian, serta materi penyampaian yang relevan dan menarik.
“Tujuan akhir dari pelatihan ini adalah mencetak pemandu wisata yang tidak hanya mahir berbahasa Inggris, tapi juga peka terhadap budaya tamu dan mampu menjadi wajah ramah Kota Semarang di mata dunia,” tutup Yuliansyah.
Editor : Enih Nurhaeni
Artikel Terkait