SEMARANG, iNewsJoglosemar.id – Meskipun pembangunan terus berjalan, Kota Semarang masih menyimpan pekerjaan rumah besar dalam sektor permukiman. Tercatat, seluas 44,58 hektare kawasan masih tergolong kumuh. Menyadari kondisi itu, Pemerintah Kota Semarang meluncurkan program Kiprah Kotaku (Kolaborasi dan Integrasi Penanganan Permukiman Kumuh) sebagai upaya sistematis untuk menuntaskan persoalan ini.
Peluncuran program dilakukan Kamis, 10 Juli 2025 di Sambung, Kelurahan Rowosari, Kecamatan Tembalang. Kegiatan ini juga diwarnai dengan aksi simbolis rehabilitasi rumah tidak layak huni (RTLH) oleh anggota Pramuka Kwartir Cabang Semarang.
Menurut Kepala Dinas Perumahan dan Permukiman Kota Semarang, Yudi Wibowo, program Kiprah Kotaku menjadi strategi besar dengan melibatkan banyak pihak lintas sektor.
“Urgensi program ini sangat tinggi, karena bukan hanya menanggulangi, tapi juga mencegah tumbuhnya kawasan kumuh baru. Targetnya adalah mewujudkan lingkungan yang layak huni dan pembangunan yang inklusif,” ujar Yudi.
Pemerintah tidak hanya menilai kekumuhan dari fisik bangunan. Menurut Dinas Perkim Kota Semarang, indikator kawasan kumuh mencakup kepadatan dan kualitas bangunan, akses air minum, sistem drainase, pengelolaan air limbah dan sampah, akses jalan lingkungan, dan perlindungan kebakaran.
Yudi menjelaskan, aspek lain seperti legalitas tanah, pencahayaan dan ventilasi yang memadai, hingga kondisi sanitasi juga menjadi bagian penting dalam penilaian.
“Program ini menyasar persoalan dari hulu ke hilir, termasuk soal kepemilikan lahan dan integrasi pendanaan dari APBN, APBD Kota dan Provinsi, CSR, Baznas, hingga swadaya masyarakat,” tegasnya.
Sebagai tahap awal, Kiprah Kotaku merehabilitasi tiga unit rumah di Semarang Utara, Mijen, dan Tembalang. Meskipun jumlahnya kecil, langkah ini menjadi simbol gotong royong dan pemantik replikasi untuk wilayah lain.
Lebih lanjut, Pemkot Semarang melalui skema pendanaan APBD Kota, akan merenovasi 732 rumah tidak layak huni di titik-titik strategis lainnya.
“Pendataan dilakukan secara menyeluruh, meliputi kondisi atap, lantai, dinding, hingga akses air bersih dan sanitasi,” jelas Yudi.
Kesuksesan Kiprah Kotaku sangat bergantung pada model kolaboratif dan partisipatif. Pemerintah menggandeng banyak pihak, termasuk Bappeda, organisasi kemasyarakatan, pelaku CSR, hingga warga penerima manfaat.
Seluruh proses—mulai dari identifikasi rumah, pendampingan teknis, sampai evaluasi—dibangun secara terbuka, terukur, dan berbasis kebutuhan lokal.
"Kami percaya bahwa kolaborasi bukan sekadar jargon. Keterlibatan aktif masyarakat dan pemangku kepentingan jadi kunci utama agar program ini tak hanya berjalan, tapi tumbuh secara berkelanjutan,” ujar Yudi.
Program Kiprah Kotaku membawa misi lebih luas dari sekadar rehabilitasi rumah. Program ini mendorong kesadaran kolektif bahwa kualitas permukiman adalah bagian dari kesejahteraan kota. Lewat pendekatan berbasis komunitas, diharapkan masyarakat juga aktif menjaga kebersihan lingkungan, legalitas bangunan, hingga pengelolaan sampah rumah tangga.
Dengan pendekatan menyeluruh dan terukur, Kiprah Kotaku dirancang sebagai langkah berani menuju nol kawasan kumuh di Kota Semarang. Program ini akan terus dipantau dan dikembangkan dengan mengedepankan prinsip keberlanjutan, inklusivitas, dan gotong royong.
Editor : Enih Nurhaeni
Artikel Terkait