Menjejak Curug Lawe Sicepit, Air Terjun Eksotis dengan Cerita Konservasi

Taufik Budi
Menjejak Curug Lawe Sicepit, Air Terjun Eksotis dengan Cerita Konservasi. Foto: Taufik Budi

 

KENDAL, iNewsJoglosemar.id – Perjalanan menuju Curug Lawe Sicepit di Desa Ngesrepbalong, Kecamatan Limbangan, Kabupaten Kendal, terasa seperti undangan untuk kembali ke pangkuan alam. Sejak awal langkah, hati saya dipenuhi rasa penasaran, bagaimana wajah air terjun di lereng Gunung Ungaran itu akan menyambut.

Hamparan sawah hijau terhampar luas, berpadu dengan latar belakang perbukitan yang membingkai Kecamatan Limbangan. Jalannya menanjak, menurun, berliku, namun justru itulah yang membuat perjalanan semakin berkesan.

Di kanan-kiri jalan, pepohonan kopi tumbuh rapat, diselingi hutan rakyat yang menjadi pagar alami menuju kawasan air terjun. Udara terasa bersih, jauh berbeda dengan hiruk-pikuk kota. Dari pusat Kecamatan Limbangan, perjalanan hanya belasan menit.

Akses menuju desa ini juga relatif mudah. Dari Kota Semarang, waktu tempuh sekitar 45 menit sudah cukup untuk tiba di lokasi. Tak heran, banyak wisatawan memilih Ngesrepbalong sebagai destinasi akhir pekan.

Sesampainya di lokasi parkir, perjalanan dilanjutkan dengan trekking sejauh kurang lebih 500 meter. Jalurnya menurun, dikelilingi pepohonan lebat, dengan suara gemericik air sungai kecil yang menemani langkah.

Udara semakin sejuk ketika kaki menapak lebih dalam. Aroma tanah basah bercampur wangi dedaunan hutan membuat hati semakin tenang. Burung-burung berkicau riang, seakan ikut menyambut kedatangan para pelancong.

Dan tibalah saya di depan Curug Lawe Sicepit. Air terjun itu menjulang gagah, sekitar 30 meter tingginya. Air jatuh deras menabrak batu besar, menciptakan percikan yang membentuk butir-butir kabut.

Suara derasnya seperti orkestra alam. Gemuruh yang menenangkan, membuat lelah perjalanan seketika hilang. Saya hanya bisa terpaku, merasakan kesejukan yang menembus kulit.

Saya membayangkan, andai saja Feeya, putri kecil saya yang duduk di kelas empat SD, ada di sini.

Saat membayangkan Feeya melompat riang di antara bebatuan, saya melihat seorang wisatawan melakukan hal serupa. Perempuan berkerudung duduk di atas batu sembari menatap air terjun. Kakinya menjuntai di atas batu, menikmati dinginnya air yang mengalir.

"Curug Lawe Sicepit ini menarik sekali ya. Kita menuju ke sini tuh sebenarnya tidak susah," ujar Eva Mirabuana, wisatawan asal Kota Semarang yang saya temui di lokasi, Rabu (17/9/2025).

Eva menambahkan, trekking menuju curug sepanjang kurang lebih 500 meter dari lokasi parkir, menawarkan pengalaman yang tak terlupakan. Perjalanan trekking kini semakin aman dengan adanya besi-besi pegangan, memberikan rasa aman bagi wisatawan, termasuk anak-anak.

“Perjalanan trekking memang menawarkan pemandangan yang memanjakan mata. Di sepanjang jalur, terdengar suara burung berkicau serta bau harum bunga kopi,” lanjutnya.

Ia menjelaskan bahwa pengunjung bisa menikmati trekking ringan sebelum disuguhi pemandangan curug yang menjulang indah dengan ketinggian sekira 30 meter. Selain itu, kawasan ini juga menawarkan pengalaman birdwatching, di mana wisatawan bisa mengamati burung langka seperti Julang Emas hingga Elang Jawa.

“Selain melihat Curug di sini juga ada wisata birdwatching. Jadi di eduwisata birdwatching ini, kawan-kawan bisa membidik melalui kamera," katanya lagi.

Eduwisata Kopi

Wisatawan juga bisa mampir ke kafe Pucu’e Kendal setelah puas menjelajah. Di tempat ini, pengunjung bisa merasakan eduwisata kopi yang dikelola oleh Pokdarwis (Kelompok Sadar Wisata), mulai dari proses menanam, memetik, mengolah, hingga menyeduh kopi. Pengalaman ini memberi nilai tambah karena wisatawan bisa belajar sekaligus menikmati hasil olahan kopi lokal.

“Curug Lawe Sicepit benar-benar satu paket lengkap. Selain indah dan alami, airnya segar sekali, sesuatu yang jarang saya temui di Semarang bawah. Di sini kita bisa healing, kembali ke alam, dan melupakan penat keseharian,” ujarnya.

Inisiatif ini juga memperkuat konsep ekowisata Desa Ngesrepbalong yang semakin berkembang. Dengan dukungan fasilitas trekking, birdwatching, dan eduwisata kopi, kawasan ini bisa menjadi destinasi alam edukatif untuk segala usia, termasuk anak-anak sekolah dasar.

Pasti Feeya akan berteriak kegirangan, menepuk-nepuk air yang dingin. Ia mungkin akan melompat dari satu batu ke batu lain, matanya berbinar melihat pelangi kecil yang terbentuk dari butir air.

"Ainya dingin banget!" begitu mungkin ia akan berseru. Kabut tipis yang menyapu wajah tentu membuatnya tertawa, seakan alam sedang mengajaknya bermain petak umpet.

Dalam perjalanan kembali, saya bertemu dengan Wahyudi, Ketua Pokdarwis Gunung Sari Kafe Pucu’e Kendal. Ia menyambut saya dengan senyum ramah, khas warga desa.

"Selamat datang di Ngesrepbalong," sapanya. "Semoga Curug Lawe Sicepit memberikan kesan yang mendalam."

Saya bertanya tentang bagaimana desa ini bisa bangkit menjadi destinasi wisata. Wahyudi kemudian menjelaskan dengan panjang lebar. “Dusun kami berada di lereng Gunung Ungaran, hutannya masih asri, udaranya sejuk, dan kami mencoba mengangkat potensi ini lewat wisata alam yang edukatif,” ujarnya.

Ia menjelaskan bahwa Curug Lawe Sicepit menjadi ikon utama dengan aliran air deras meskipun di musim kemarau. “Air curug ini asli dari lereng Ungaran, selalu segar, dan ada cerita mitos batu besar di bawah air terjun yang tidak bisa basah. Konon, siapa yang membasuh muka dengan airnya akan tampak berseri-seri,” kata Wahyudi.

Selain curug, Pokdarwis juga menawarkan paket wisata edukasi kopi, mulai dari menanam, memetik, mengolah hingga menyeduh. “Kami ingin wisatawan bisa belajar jadi barista atau petani kopi dalam satu rangkaian pengalaman. Jadi bukan hanya jalan-jalan, tapi ada ilmu yang dibawa pulang,” ucapnya.

Wahyudi menuturkan, ekowisata di Curug Lawe Sicepit tidak hanya menawarkan keindahan alam, tetapi juga sarana edukasi lingkungan bagi para pengunjung. Setiap wisatawan diajak untuk membuang sampah pada tempat yang telah disediakan, sebagai bentuk kebiasaan menjaga kebersihan alam.

“Bahkan saat kembali dari curug, kalau mampir ke Kafe Pucu’e Kendal dan membawa satu botol bekas air minum, bisa ditukar dengan satu gelas kopi khas Ngesrepbalong,” ujarnya sambil tersenyum.

“Mbak, Mas, nanti kalau balik ke atas mampir kafe dan sambil bawa botol bekas minuman bisa mendapatkan kopi gratis,” teriaknya pada wisatawan menggunakan megaphone.

Untuk pecinta alam, birdwatching menjadi daya tarik besar karena adanya burung Julang Emas. “Pengamatan burung ini bisa dilakukan sekitar Agustus sampai Desember, saat julang emas bersarang. Spotnya ada di beberapa titik khusus, dan kami siapkan pemandu untuk mendampingi,” terang Wahyudi.

Ia menyebut, minat wisatawan justru lebih besar datang dari mancanegara. “Wisatawan lokal masih sedikit, tapi dari luar negeri justru antusias. Terakhir kami kedatangan tamu dari Amerika, mereka datang hanya untuk memotret Julang Emas,” ujarnya.

Wahyudi menambahkan, harga paket birdwatching tertinggi Rp600 ribu untuk empat orang sudah termasuk pemandu. “Pemandu akan mengantar sampai ke titik lokasi pemotretan terbaik. Ini pengalaman langka, karena burung Julang Emas sangat sensitif dengan kehadiran manusia,” jelasnya.

Ia juga mengapresiasi peran Indonesia Power dalam mendukung pengembangan wisata desa. Berbagai fasilitas wisata juga terus ditingkatkan, seperti akses jalan, area parkir, tempat sampah, dan toilet. Namun, yang terpenting adalah kesadaran masyarakat untuk menjaga kelestarian alam dan kearifan lokal.

“Dari pembibitan kopi, pasca-panen, sampai seduhan, kami didampingi lewat pelatihan dan bantuan alat. Untuk birdwatching, bahkan kami dibantu dengan peralatan hingga pelatihan bahasa Inggris agar lebih percaya diri melayani turis asing,” katanya.

“Berkat pelatihan itu, sekarang teman-teman Pokdarwis mulai bisa berkomunikasi langsung dengan wisatawan mancanegara. Meskipun masih sederhana, kami sudah tidak sepenuhnya bergantung pada translator. Kami punya 30 pemandu anggota Pokdarwis,” tandas Wahyudi.

Data dan Fakta

Jejaring Desa Wisata (Jadesta) Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif menunjukkan Desa Ngesrepbalong masuk 300 besar Anugerah Desa Wisata Indonesia (ADWI) 2024, dengan kunjungan yang cukup tinggi.

Wisata alam menjadi primadona dengan 7.064 pengunjung, disusul wisata budaya 5.772 pengunjung, dan wisata buatan 3.296 pengunjung. Angka tersebut menegaskan bahwa desa ini semakin populer sebagai destinasi ekowisata.

Gambaran lebih luas tentang geliat pariwisata Kendal dapat dilihat dari Data Sektoral BPS Kabupaten Kendal 2024. Tercatat ada 28 destinasi wisata yang aktif dikunjungi wisatawan. Dari jumlah itu, Pantai Indah Kemangi menjadi yang paling ramai dengan 365.729 pengunjung, disusul Pantai Ngebum sebanyak 313.545 orang. Destinasi unggulan lain yakni Pantai Cahaya (60.896), Curug Sewu (52.741), dan Promas Greenland (83.699).

Untuk wisata berbasis alam pegunungan, Curug Lawe Sicepit di Ngesrepbalong Limbangan menunjukkan tren positif. Sepanjang 2024, objek wisata ini mencatat 19.651 pengunjung, termasuk wisatawan mancanegara. Pada 2023, jumlah wisatawan Curug Lawe Sicepit sebanyak 16.293 pengunjung, sehingga terjadi pertumbuhan sebesar 20,61%.

Keberhasilan pengembangan wisata di Desa Ngesrepbalong, Kendal, tak bisa dilepaskan dari sinergi berbagai pihak. Salah satunya dukungan PLN Indonesia Power yang konsisten hadir melalui program tanggung jawab sosial dan lingkungan (TJSL).

Saya berkesempatan berbincang dengan Flavianus Erwin Putranto, Senior Manager PLN Indonesia Power Unit Bisnis Pembangkitan Semarang. Ia menjelaskan bahwa perusahaan energi ini telah mendampingi masyarakat sekitar Curug Lawe Sicepit sejak lima tahun terakhir.

“Alhamdulillah, program Julang Emas (Jaga Gunung Ungaran, Lestarikan Lingkungan Bersama Masyarakat) yang kami jalankan sebelumnya mendapat apresiasi Proper Emas. Tahun ini kami melanjutkannya dengan program Kembang Desa (KEMBangkan pAriwisata NGesrepbalong Dukung Ekonomi dan peleStarian Alam),” ungkap Erwin.

Menurutnya, ekowisata di kawasan ini kini berkembang pesat, bukan hanya menjadi destinasi alam, tetapi juga pusat edukasi. “Kalau dulu wisatawan hanya menikmati alam, camping, atau minum kopi, sekarang mereka bisa belajar tentang panen kopi, pengolahan, hingga penyeduhan. Eduwisata ini kami integrasikan agar lebih banyak manfaat dirasakan masyarakat,” jelasnya.

Ia menambahkan, program TJSL PLN Indonesia Power berjalan dalam siklus lima tahunan dengan strategi keluar (exit strategy) berupa kemandirian masyarakat. “Kalau sudah mandiri, kami mapping lagi lokasi lain yang perlu dibina. Jadi tidak menutup kemungkinan ke depan kami kembangkan desa-desa lain yang butuh pemberdayaan,” ujarnya.

Lebih jauh, Erwin juga menyinggung keberadaan Kafe Pucu’e Kendal, yang lahir pada masa pandemi Covid-19. “Awalnya masyarakat sudah menanam kopi, kemudian kami support dengan pelatihan barista, infrastruktur, hingga pembangunan balai kopi Pucu’e Kendal. Sekarang tempatnya nyaman, ramah lingkungan, dan jadi pintu masuk menuju Curug Lawe Sicepit. Hanya butuh 15 menit dari sini, wisatawan sudah bisa sampai di curug,” terangnya.

Ia menekankan, keberlanjutan program menjadi alasan PLN tetap bergerak di wilayah ini. “Program Julang Emas sudah menuju kemandirian, tapi dengan Kembang Desa kami melihat ada kerawanan baru, misalnya masyarakat yang terkena PHK lalu kembali ke desa. Mereka kemudian kami berdayakan lagi,” tuturnya.

Dukungan Konservasi

Transformasi nyata terlihat dari kondisi sosial ekonomi masyarakat. “Ngesrepbalong dulunya termasuk wilayah merah dengan tingkat kemiskinan tinggi. Sekarang masyarakat lebih aktif, ekonomi bergerak, dan wisata berkembang. Itu bukti nyata bahwa kolaborasi membawa manfaat,” kata Erwin.

PLN Indonesia Power juga mendukung kawasan wisata dengan infrastruktur ramah lingkungan. “Lampu penerangan di sini dibuat dari pipa bekas pembangkit yang didaur ulang, sementara listriknya disuplai dari PLTMH (Pembangkit Listrik Tenaga Micro Hidro) berbasis sungai setempat dengan kapasitas 4.000 Watt,” jelasnya.

Selain keindahan alam, tantangan lain yang muncul adalah persoalan sampah seiring meningkatnya jumlah wisatawan. Kesadaran pengunjung untuk membuang sampah dengan tertib masih perlu ditingkatkan, karena jika dibiarkan, sampah bisa berserakan, terbawa aliran sungai, dan akhirnya memicu banjir serta merusak lingkungan.

“Kesadaran pengunjung untuk membuang sampah dengan lebih tertib itu harus terus kita lakukan. Karena kalau sampah jatuh ke sungai, itu akan mengakibatkan banjir dan merusak lingkungan. Itu jelas tidak kita inginkan,” tegasnya.

Upaya penanganan masalah ini dilakukan melalui sinergi lintas pihak. “Kami bekerja sama dengan Dinas Kehutanan, Pemkab Kendal, dan Forum DAS (daerah aliran singai) untuk mengelola sampah dan menjaga kelestarian hutan. Hulu harus tetap hijau, karena kalau rusak akan berdampak pada banjir di Semarang sekaligus mengganggu produksi listrik di Tambaklorok,” lanjutnya.

Erwin mencontohkan bagaimana perubahan perilaku masyarakat ikut berkontribusi pada kelestarian lingkungan. “Ada Kang Polo, dulunya pemburu satwa, sekarang jadi fotografer satwa endemik. Dengan edukasi, populasi julang emas yang dulu hanya tiga ekor, kini berkembang jadi sekitar sepuluh pasang,” ungkapnya.

Bagi Erwin, ekowisata bukan sekadar soal destinasi, melainkan juga keberlanjutan. “Kami terus dampingi, mulai dari pembibitan kopi, pelatihan barista, pengeringan kopi, sampai penanaman pohon di sekitar kawasan. Dengan begitu, manfaatnya bisa dirasakan langsung oleh masyarakat,” tegasnya.

Gunung Ungaran yang berdiri megah di perbatasan Kabupaten Semarang dan Kendal bukan hanya menawarkan keindahan lanskap pegunungan, tetapi juga menjadi benteng terakhir bagi sejumlah satwa langka. Di kawasan ini, Elang Jawa (Nisaetus bartelsi) dan Julang Emas (Rhyticeros undulatus) masih bisa dijumpai, menjadikan Ungaran ditetapkan sebagai salah satu Important Bird Area (IBA).

Ketua Gugus Green Techno Park Universitas Negeri Semarang (Unnes), Prof. Dr. Margareta Rahayuningsih, S.Si., M.Si., menjadi saksi sekaligus penggerak awal riset konservasi di gunung ini. “Sekitar tahun 2010-2011, kami melakukan survei sederhana di Gunung Ungaran. Ternyata gunung ini menyimpan berbagai spesies burung langka seperti rangkong dan elang,” kenangnya.

Penelitian itu kemudian fokus pada studi ekologi Julang Emas. Pada 2011, tim menemukan lebih dari 17 sarang, meski hanya 8 hingga 9 sarang yang aktif digunakan. Selain Julang Emas, keberadaan Elang Bido dan Elang Hitam juga terdata.

“Kami tidak hanya meneliti jenis burung tersebut, tetapi juga mencari tahu pohon apa yang digunakan untuk bersarang dan jenis pakan yang mereka konsumsi,” jelasnya.

Melibatkan Masyarakat 

Perjalanan riset lalu berkembang lebih luas, mencakup mamalia, serangga, hingga herpetofauna (amfibi dan reptil). Tim bahkan berusaha melacak kembali keberadaan satwa yang sudah lama tak tercatat, seperti katak Philautus jacobsoni, yang sempat diyakini hilang dari kawasan ini.

Namun, data ilmiah tidak cukup bila hanya berhenti di kalangan akademisi. Menurut Prof. Margareta, masyarakat sekitar harus diajak ikut terlibat. “Kami melihat adanya pemburu satwa liar di sekitar kawasan hutan. Oleh karena itu, pada tahun 2019 kami memulai inisiatif menyosialisasikan hasil penelitian kepada masyarakat sekitar,” ungkapnya.

Dampaknya mulai terlihat. Hasil monitoring terbaru menunjukkan perkembangan positif. “Reptil dan amfibi di Gunung Ungaran mungkin ada sekitar 20 jenis. Untuk serangga, kami menemukan sejumlah jenis seperti kupu-kupu dan sapu yang cukup banyak di sana,” katanya.

Lebih jauh, tim bahkan mencatat temuan baru dalam dunia mamalia. “Kami baru menemukan satu jenis mamalia baru. Meski kecil seperti tikus, namun memiliki kemampuan terbang. Temuan seperti ini penting untuk menambah database keanekaragaman hayati di Gunung Ungaran,” tambah Prof. Margareta.

Selain fauna, kawasan ini juga kaya dengan keragaman flora. Menurutnya, Gunung Ungaran menyimpan sekitar 200 hingga 300 spesies tanaman, termasuk lebih dari seratus jenis anggrek. “Anggrek di Gunung Ungaran tercatat sekitar 113 spesies. Belum lagi tanaman lain, mulai dari rumput hingga pohon besar, jumlahnya hampir mencapai 200 hingga 300 spesies,” tuturnya.

Kesadaran masyarakat pun perlahan tumbuh. Warga yang dulunya berburu satwa kini beralih menjadi pelindung. “Kami tidak memaksa mereka untuk berhenti berburu, tetapi dengan memberikan pemahaman bahwa satwa-satwa ini memiliki manfaat bagi ekosistem, lama-kelamaan mereka mulai melindungi dan tidak lagi memburu satwa liar,” jelasnya.

Transformasi ini melahirkan bentuk citizen science, di mana warga ikut berperan dalam pemantauan satwa. “Sekarang mereka aktif berbagi informasi dan foto tentang spesies burung atau mamalia yang mereka temui,” ungkap Prof. Margareta.

Program konservasi juga membuka peluang ekonomi baru. Beberapa warga kini dilatih menjadi pemandu wisata alam atau fotografer satwa liar. Wisata edukasi ini memperkuat keterlibatan masyarakat sekaligus meningkatkan kesejahteraan.

Kolaborasi menjadi kunci. Penelitian dan konservasi di Gunung Ungaran melibatkan akademisi, masyarakat, pemerintah, hingga sektor industri. “Kami bekerja sama dengan berbagai pihak, seperti Dinas LHK, BKSDA, serta PLN Indonesia Power untuk mendukung kebijakan dan praktik yang ramah lingkungan. Kami juga berharap sektor industri bisa ikut berperan dalam upaya konservasi,” ujarnya.

Dari birdwatching burung Julang Emas, trekking, hingga belajar kopi, semua bisa dilakukan di sini. Namun, bagi saya, Curug Lawe Sicepit tetaplah bintang utama yang paling menawan. Saya masih teringat pertama kali menjejakkan kaki di tepian curug.

Angin membawa butir-butir air menempel di wajah. Seolah-olah alam sedang memberi pelukan dingin yang penuh kasih. Suasananya begitu tenang, meski suara air begitu keras. Sesekali saya duduk di batu besar, memandang jatuhnya air yang tak pernah berhenti.

Di hati, ada doa kecil, semoga Feeya suatu hari bisa ikut menyaksikan semua ini. Bayangan wajahnya yang penuh tawa semakin kuat. Mungkin, ia akan mengumpulkan batu-batu kecil, atau membuat bendungan ala anak-anak.

Alam Limbangan seakan memang diciptakan untuk mengajak anak-anak kembali mengenal kesederhanaan. Tidak ada permainan digital, tidak ada layar gawai. Yang ada hanyalah suara alam, air, burung, dan tawa kebersamaan.

Dalam perjalanan pulang, di tengah pegunungan yang susah sinyal, tiba-tiba sebuah pesan WhatsApp masuk. Ternyata dari Feeya. "Ayah, liburan sekolah besok aku pengen main ke Semarang, pengen wisata air!" tulis putri kecilku yang sejak bayi tinggal di Kuningan Jawa Barat bersama neneknya.

Saya tersenyum. Alam Limbangan memang memanggil. Semoga suatu hari nanti, Feeya bisa merasakan sendiri keindahan Curug Lawe Sicepit, dan belajar tentang pentingnya menjaga alam yang telah memberikan kehidupan bagi kita semua.

 

 

 

 

Editor : Enih Nurhaeni

Bagikan Artikel Ini
Konten di bawah ini disajikan oleh Advertiser. Jurnalis iNews Network tidak terlibat dalam materi konten ini.
News Update
Kanal
Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik Lebih Lanjut
MNC Portal
Live TV
MNC Network