DEMAK, iNewsJoglosemar.id - Matahari baru saja naik setinggi pohon kelapa ketika deru sepeda motor saya pelan menembus jalan tanah di antara tambak-tambak luas sepanjang jalan pesisir Kecamatan Wedung Kabuapaten Demak Jawa Tengah. Hingga melintasi gerbang megah bertuliskan “Selamat Datang Desa Babalan, Sentra Produksi Garam”.
Dari kejauhan, hamparan tambak garam berkilau memantulkan cahaya mentari seperti hamparan kaca bening. Di sinilah, di pesisir utara Jawa Tengah ini, “emas putih” diciptakan oleh tangan-tangan gigih para petani garam.
Udara asin menusuk hidung, angin laut berhembus membawa aroma khas yang hanya bisa ditemukan di daerah pesisir. Saya melihat beberapa petani sedang menggaruk kristal garam di atas hamparan plastik hitam, membentuk gundukan gunung-gunung kecil berwarna putih.
Salah satu dari mereka adalah Sohibul Farid (32), petani garam muda yang sudah tiga tahun terakhir menekuni pekerjaan ini.
“Susah-susah gampang, Mas,” katanya sambil tersenyum. “Cuaca itu paling menentukan. Kalau mendung dan hujan, ya harus buang air asin yang sudah disiapkan. Tapi kalau panasnya pas, garam bisa jadi lebih cepat.”
Farid bercerita, pekerjaan ini ia warisi dari ayahnya. “Saya ikut bapak sejak kecil. Sekarang belajar sendiri, biar nanti bisa nerusin,” ujarnya sambil menunjuk tambaknya yang luasnya hampir 8.000 meter persegi. Ia mengaku belum ikut pelatihan formal. “Masih otodidak, ikut bapak dulu. Lama-lama bisa juga,” tambahnya.
Farid sadar, profesinya memang penuh tantangan, tapi tetap menjanjikan. “Kalau lagi bagus, hasilnya lumayan. Banyak pengepul datang cari garam ke desa-desa. Makanya, meski cuaca kadang bikin pusing, tetap disyukuri,” ujarnya.
Tak jauh dari lahan Farid, saya bertemu Musyahid (35), warga Kedungmutih, tetangga Desa Babalan. Wajahnya teduh, kulitnya legam terbakar matahari. “Asyik sekali jadi petani garam, Mas. Kalau kerja di pabrik kan banyak atasan. Di sini bebas, hasil kerja sendiri,” katanya sambil menepuk-nepuk karung berisi garam baru panen.
Musyahid menggarap sekitar lima hektare lahan bersama satu rekannya. Dalam sehari, ia bisa memanen 40–50 karung garam, tergantung cuaca. “Kalau panas terus, hasil bisa bagus. Tapi kalau mendung atau hujan, ya molor. Prosesnya dari sedot air laut, disalurkan ke petak-petak, terus dijemur sampai kering. Butuh waktu sekitar seminggu buat satu siklus,” jelasnya.
Ia memilih memakai kincir angin ketimbang mesin pompa. “Lebih hemat, Mas. Kalau pakai mesin harus beli bensin, bisa habis dua puluh ribu sehari. Tapi kalau pakai kincir, tinggal tenaga angin,” katanya sambil tertawa.
Menurut Musyahid, sejak tahun 2020 perhatian pemerintah terhadap petani garam mulai meningkat. “Sekarang ada pelatihan, bantuan plastik, bahkan mesin sedot dari desa. Cuma ya, tetap tergantung cuaca,” ujarnya. Ia menambahkan, kualitas garam di kawasan itu termasuk bagus karena kadar keasinan airnya tinggi. “Makanya hasilnya putih bersih dan cepat jadi.”
Syahid tidak hanya mengandalkan pengamatan kasat mata. Setiap pagi dan sore, ia memeriksa kadar garam atau salinitas di setiap petak tambaknya untuk memastikan proses penguapan dan pembentukan kristal garam berjalan sesuai rencana.
Ia menggunakan salinometer, sebuah alat berbentuk tabung kecil dengan skala angka yang khusus dirancang untuk mengukur tingkat keasinan air garam. Alat ini dibelinya secara online, setelah ia mencari referensi tentang cara mengukur salinitas yang lebih presisi dibandingkan dengan metode tradisional.
Dengan salinometer itu, Syahid mengukur salinitas air laut dalam satuan gram garam per kilogram air (g/kg). Berdasarkan pengalamannya, air yang baru masuk ke tambak biasanya memiliki salinitas sekitar 15–20 g/kg, tergantung lokasi dan waktu pengambilan.
Pada tahap awal atau penuaan pertama, ia membiarkan air tersebut menguap perlahan di bawah sinar matahari hingga salinitas naik menjadi sekitar 25–30 g/kg. Setelah itu, air dipindahkan ke petak penuaan kedua agar semakin pekat hingga mencapai kisaran 35–40 g/kg, mendekati kadar salinitas air laut rata-rata global yang sekitar 35 g/kg.
Ketika salinitas sudah mencapai angka itu, air dialirkan ke petak kristalisasi — tempat di mana kristal garam mulai terbentuk secara alami. Proses ini biasanya berlangsung 1–2 hari, tergantung intensitas panas matahari, kelembapan udara, serta kecepatan angin. Jika cuaca cerah dan kering, kristalisasi bisa terjadi lebih cepat dan menghasilkan garam berwarna putih cerah dengan tekstur kering. Namun, bila hujan turun atau kelembapan tinggi, kristalisasi bisa gagal dan petani terpaksa mengulang proses dari awal.
Mengenal Karakter Tambak
Syahid mengatakan bahwa ketelitian dalam memantau salinitas menjadi kunci suksesnya. Ia mencontohkan, bila kadar garam terlalu rendah — misalnya di bawah 15 g/kg — maka kristal tidak akan terbentuk sempurna, sementara bila terlalu tinggi atau terjadi penguapan terlalu cepat, garam bisa menjadi rapuh dan bercampur kotoran.
“Kuncinya sabar dan peka sama air. Alat cuma bantu baca angka, tapi kita tetap harus kenal karakter tambak sendiri,” ujarnya.
Salinitas air laut rata-rata global berada di kisaran 35 g/kg. Nilai ini menunjukkan jumlah total garam terlarut dalam setiap kilogram air laut. Di daerah pantai atau muara sungai, nilai salinitas cenderung lebih rendah karena campuran air tawar dari sungai dapat menurunkan kadar garam hingga di bawah 20 g/kg.
Menurut Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), pengukuran kadar garam secara presisi menjadi salah satu indikator utama dalam program Peningkatan Mutu Garam Rakyat (PMGR). Program ini bertujuan agar garam produksi rakyat memiliki kadar NaCl minimal 97% sehingga memenuhi standar industri pangan dan farmasi.
Sementara itu, Faizun (47), petani garam senior di Babalan, sudah lebih dari 20 tahun menekuni pekerjaan ini. Ia mulai sejak awal 1990-an, saat harga garam masih dihitung recehan. “Susah, tapi nikmat. Kalau panen, garuk-garuk, lihat garam putih menumpuk, rasanya puas,” ujarnya.
Ia bisa memanen dua hingga tiga hari sekali, tergantung luas lahan. “Kalau lahannya besar, tiap hari bisa panen. Tapi kalau kecil, ya sabar. Dua hari baru panen lagi,” ujarnya.
Harga garam, menurut Faizun, kini relatif stabil di kisaran Rp65.000–Rp80.000 per karung, tergantung kualitas. “Dulu pernah sampai Rp150.000, tapi sekarang jarang. Tapi tetap lumayan buat biaya sekolah anak,” katanya. Ia mengaku kini banyak anak muda mulai turun ke tambak.
“Anak-anak muda sekarang banyak ikut bantu, apalagi kalau musim panen. Lumayan buat tambahan penghasilan,” ujarnya.
Dari para petani itu, saya menuju kantor Desa Babalan, menemui Ahmad Rofiq, Sekretaris Desa yang sudah lama memantau geliat ekonomi garam di wilayahnya. Ia juga memiliki lahan tambak garam seluas lebih dari 5 hektare yang digarap bersama petani lokal.
“Desa Babalan ini termasuk penghasil garam terbesar di Jawa Tengah,” ujarnya membuka pembicaraan. Berdasarkan data desa, luas tambak garam mencapai 630 hektare, dengan 889 petani aktif yang bekerja di lahan-lahan pesisir.
“Tahun 2024 kami dapat bantuan dari pemerintah berupa plastik geomembran dan mesin sedot. Harapannya, hasil garam bisa lebih cepat dan kualitasnya lebih baik,” jelas Rofiq.
Ia menambahkan, pelatihan juga rutin dilakukan untuk meningkatkan keterampilan petani. “Kami kerja sama dengan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), terutama Direktorat Jenderal Pengelolaan Kelautan dan Ruang Laut. Mereka memberi pelatihan cara memproduksi garam lebih higienis dan cepat panen,” tuturnya.
Rata-rata produksi garam di tambak warga berkisar 70 ton per hektare. Namun, tahun ini produksi sedikit menurun. “Ini kemarau basah, jadi kualitas garam agak turun. Tapi kalau tahun lalu, kemarau panjang, hasilnya bagus banget,” tambahnya.
Rofiq menyebut pasar garam Babalan cukup luas, hingga ke Jakarta dan Lampung. “Kualitasnya disukai, karena kadar NaCl tinggi, warnanya putih bersih. Jadi dari sisi mutu, garam Babalan bisa bersaing,” katanya.
Produksi garam nasional Indonesia mengalami fluktuasi dalam tiga tahun terakhir. Pada 2023, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) mencatat capaian produksi mencapai 2,5 juta ton, jauh melampaui target awal sebesar 1,7 juta ton.
Capaian ini sempat menjadi kabar baik bagi sektor pergaraman rakyat karena menunjukkan potensi besar yang dimiliki pesisir-pesisir penghasil garam seperti Demak, Pati, Rembang, dan Madura. Namun, pada tahun berikutnya, 2024, realisasi produksi justru mengalami penurunan signifikan menjadi 2,04 juta ton, meskipun masih sedikit di atas target tahunan yang dipatok sebesar 2 juta ton.
Penurunan produksi ini disinyalir disebabkan oleh cuaca yang kurang bersahabat, di mana musim hujan datang lebih awal dan durasi kemarau lebih pendek. Selain itu, masih banyak tambak rakyat yang menggunakan sistem tradisional tanpa perlindungan terhadap hujan mendadak, sehingga proses kristalisasi garam terganggu.
Menghadapi tantangan tersebut, pemerintah menetapkan target produksi garam nasional pada 2025 sebesar 2,25 juta ton, atau meningkat sekitar 10 persen dibandingkan realisasi 2024. Target ini menjadi bagian dari upaya berkelanjutan menuju swasembada garam nasional pada 2027, sebagaimana tertuang dalam kebijakan percepatan pergaraman nasional yang diatur melalui Peraturan Presiden Nomor 17 Tahun 2025.
KKP juga mencatat, sekitar 60% produksi garam nasional masih berasal dari Pulau Jawa, dan Kabupaten Demak termasuk kontributor penting di Jawa Tengah bersama Rembang dan Pati. Dukungan diberikan melalui pelatihan, penyediaan sarana prasarana, hingga integrasi rantai pasok dengan industri.
Peluang Besar
Sore menjelang, saya menemui Nur Rormad (33), seorang pengepul garam muda di Babalan. Di bawah atap gudang bambu besar, karung-karung garam tersusun rapi menunggu diangkut ke luar daerah.
“Saya buka usaha ini setelah lulus kuliah pada 2017,” katanya. “Awalnya kecil, cuma bantu orang tua. Sekarang ada 25 sampai 40 pekerja, tergantung musim.”
Setiap hari, ia bisa menampung 15–20 ton garam dari petani sekitar. “Kalau stok kurang, saya ambil dari daerah tetangga Jepara, Pati, Pasuruan, hingga Madura. Pasarnya luas, dari Lampung sampai Sumatera Barat,” jelasnya.
Harga jual garam olahan lokal saat ini berkisar Rp1.900–Rp2.000 per kilogram untuk kualitas KW1. Namun, karena cuaca tak menentu, kualitas garam tahun ini lebih bervariasi. “Banyak yang KW3. Kadang hujan turun di tengah proses kristalisasi, ya hasilnya rusak,” katanya.
Menurut Nur, potensi pasar garam masih sangat besar. “Indonesia masih impor garam industri. Padahal kalau dikelola serius, garam rakyat kita bisa mencukupi kebutuhan dalam negeri,” ujarnya dengan semangat.
Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) mendirikan Kawasan Sentra Industri Garam Nasional (K-SIGN) di Desa Matasio, Kabupaten Rote Ndao, Nusa Tenggara Timur. Langkah itu sebagai bentuk nyata mengangkat program swasembada garam nasional yang ditargetkan tercapai pada tahun 2027.
“Proyek K-SIGN diharapkan membawa banyak manfaat, tidak hanya untuk memperkuat kemandirian Indonesia dalam memenuhi kebutuhan garam tanpa harus bergantung pada impor, tetapi juga membuka lapangan kerja baru bagi masyarakat lokal serta menggerakkan roda perekonomian di Kabupaten Rote Ndao dan sekitarnya,” ujar Menteri Kelautan dan Perikanan, Sakti Wahyu Trenggono
Menteri Trenggono menegaskan, pembangunan K-SIGN dirancang dengan konsep modernisasi, dilengkapi tambak garam modern, sistem otomatisasi pemantauan kadar garam, serta fasilitas washing plant dan refinery. Dengan target produksi 2,6 juta ton per tahun, pemerintah mengalokasikan anggaran Rp 2 triliun serta membuka peluang investasi bagi BUMN dan swasta.
“Dengan sistem terintegrasi, nilai tambah dari industri pergaraman diharapkan tetap berada di dalam negeri, untuk memenuhi kebutuhan garam industri pangan, farmasi, maupun kimia,” jelasnya.
Langkah Kementerian Kelautan dan Perikanan ini sejalan dengan kebijakan nasional yang tertuang dalam Peraturan Presiden Nomor 17 Tahun 2025 tentang Percepatan Pergaraman Nasional. Melalui Perpres tersebut, Presiden Prabowo Subianto menargetkan Indonesia mampu mencapai swasembada garam pada akhir tahun 2027. Regulasi itu menekankan peningkatan produktivitas dan efisiensi, sehingga garam dalam negeri dapat memenuhi kebutuhan industri farmasi, pengeboran minyak, industri kimia, serta kosmetik tanpa ketergantungan impor.
Pemerintah juga menyiapkan peta jalan pengembangan industri garam yang mencakup modernisasi tambak rakyat, penguatan riset, serta keterlibatan generasi muda dalam pengelolaan dan hilirisasi garam nasional. Pembangunan K-SIGN di Rote Ndao merupakan proyek strategis yang dirancang sebagai model industri pergaraman terintegrasi pertama di Indonesia. Kawasan ini mencakup tambak modern, fasilitas pemurnian, serta sistem logistik yang memastikan rantai pasok garam tetap efisien dari hulu hingga hilir.
Menurut data Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), kebutuhan garam nasional setiap tahun mencapai sekitar 4,5 juta ton, sementara kapasitas produksi nasional baru di kisaran 2,7 juta ton. Dengan proyek K-SIGN dan perluasan lahan produksi berbasis teknologi, pemerintah menargetkan produksi garam bisa meningkat menjadi 5 juta ton per tahun pada 2027.
Jalan Menuju Swasembada Garam
Guru besar Oseanografi di Universitas Diponegoro (Undip), Prof. Dr. Denny Nugroho Sugianto, yang fokus pada kajian pesisir, menggambarkan tantangan dan peluang teknologi garam di Jawa Tengah. Ia memulai dari fakta bahwa saat ini Jawa Tengah menyuplai sekitar 30% produksi garam nasional — angka yang menunjukkan betapa pentingnya provinsi ini dalam skema ketahanan garam Indonesia.
Menurut Prof. Denny, meskipun teknologi garam modern telah diuji coba di beberapa titik di pantura Jawa Tengah — misalnya daerah Rembang dan Pati — implementasinya sering kurang optimal. Alasannya, edukasi ke masyarakat belum mengakar: transfer pengetahuan (knowledge transfer) dan pelatihan praktis di lapangan belum intensif dan konsisten. Akibatnya, banyak petani masih menggunakan metode tradisional, yang memiliki efisiensi dan mutu terbatas.
Ia menekankan bahwa teknologi sederhana seperti geomembran atau ADB (Acrylic Double Base) sesungguhnya bisa dijangkau dan diadopsi. Bila teknologi itu diterapkan secara luas, Prof. Denny meyakini produktivitas garam bisa meningkat sebesar 30–40 %, selain kadar NaCl garam bisa mencapai di atas 97 %, sesuai standar industri.
“Teknologi ini cukup sederhana dan sudah disosialisasikan. Namun harga geomembran belum optimal, sehingga sebagian petani tetap memilih metode tradisional,” ujarnya.
Namun, ia mengingatkan bahwa penggunaan geomembran bukan tanpa tantangan. Salah satu masalah adalah sedimentasi: tanah dasar tambak sering membawa lumpur atau partikel halus yang menyatu dengan membran, mengurangi efektivitas kristalisasi garam. Proses kristalisasi yang optimal mensyaratkan bahwa tanah dan membran tidak bercampur, agar kristal garam tumbuh murni dan tidak tercampur kotoran.
Untuk menjawab persoalan tersebut, Prof. Denny menyarankan bahwa pengelolaan tambak secara terpadu perlu dilakukan. Pemerintah daerah dan pemangku kebijakan harus merancang kawasan tambak terpadu: lahan untuk pengendapan, penuaan, dan kristalisasi ditempatkan secara zonasi di satu kawasan. Dengan demikian, petani tidak bertarung satu sama lain memperebutkan ruang kristalisasi.
Misalnya, jika satu kawasan tambak memiliki 1.000 hektare, bagian kecil dialokasikan khusus sebagai kolam pengendapan, sebagian sebagai penuaan, dan sebagian sebagai kristalisasi. Hasil panen kemudian dibagi sesuai rasio luas lahan yang digunakan, agar petani yang hanya punya tanah di dekat pengendapan tetap mendapat bagian dari kristalisasi.
Prof. Denny mengkritik model saat ini yang terlalu parsial dan individual—petani beroperasi sendiri-sendiri dan terkadang mementingkan petak kristalisasi sendiri, sementara tahap penuaan dan pengendapan dikesampingkan. Ia menyatakan bahwa intervensi pemerintah dalam tata ruang kawasan tambak menjadi sangat penting agar sistem ini berjalan efektif.
Tata ruang kawasan tambak garam bisa diatur di level kecamatan atau kabupaten: satu lokasi ditetapkan sebagai kawasan intensif garam industri, di mana pemilik lahan menerima kompensasi atau pendapatan berdasarkan pembagian lahan. Dengan pemetaaan yang sistematis, pemerintah bisa menetapkan lokasi yang paling strategis untuk kristalisasi, pengendapan, dan penuaan.
Di samping itu, Prof. Denny juga menyoroti pentingnya aspek hidrolika tambak: sumber air yang berkualitas, sistem kanal, dan pengaturan aliran air antarpetak. Ia menyebut bahwa beberapa petani tidak memiliki kanal pengontrol atau kolam pengendapan karena keterbatasan lahan. Akibatnya, mereka langsung memasukkan air ke petak kristalisasi, yang sering menghasilkan garam berkualitas rendah.
Prof. Denny mengakhiri bahwa potensi garam di Indonesia sangat besar — sebagai negara kepulauan, panjang pantai dan cadangan laut menyediakan lahan tambak yang luas. Jika kombinasi antara teknologi, kebijakan, dan semangat petani seperti Syahid digunakan dengan tepat, swasembada garam pada 2027 bukan sekadar impian, tetapi tujuan yang bisa dicapai.
Menjelang senja, saya tak langsung pulang. Berdiri di tepi tambak Desa Babalan, pesisir utara Demak. Cahaya matahari yang mulai condong ke barat memantul di permukaan tambak, membuat kristal-kristal garam berkilau keemasan seperti serpihan kaca di atas cermin air. Angin laut berembus, membawa aroma asin.
Di kejauhan, Farid dan para petani masih sibuk menimbun hasil panen hari itu, sementara suara kincir angin terus berputar di antara petak-petak tambak. Saya sadar, garam bukan sekadar hasil bumi, tapi simbol ketekunan manusia pesisir yang bertarung dengan cuaca, menantang waktu, dan menggantungkan hidup pada laut yang tak pernah pasti. Dari sinilah, dari butiran putih sederhana itu, mereka menambang “emas” yang sesungguhnya — emas putih dari pesisir utara.
Editor : Enih Nurhaeni
Artikel Terkait