Menjadi semakin menarik karena Anies diusung oleh koalisi partai yang selama ini memang di luar arena: Partai Demokrat dan PKS. Di sini narasi itu makin bulat karena Anies awalnya santer dikabarkan akan berpasangan dengan AHY, ketua partai oposisi yang berkali-kali diserang melalui skenario kudeta internal dan kongres luar biasa yang kemudian memenangkan Moeldoko, Kepala Staf Presiden (KSP), tapi selalu gagal.
"Maka Anies dan AHY adalah harapan bagi perubahan itu sendiri. Dengan demikian, tergusurnya AHY dan Partai Demokrat adalah kabar buruk bagi pesan perubahan itu terlebih lagi karena kemudian Anies justru bersama dengan Cak Imin dan PKB yang merupakan bagian dari kekuasaan," jelasnya.
"Di sini Anies jadi tidak mampu sepenuhnya kita lihat sebagai pembawa pesan perubahan itu. Demokrasi kita kehilangan kesempatan untuk menampilkan skenario: status quo melawan oposisi, keberlanjutan vs perubahan," lanjut dia.
Wijayanto juga menilai pilihan Nasdem pada Muhaimin merupakan kesalahan. Mengapa bermasalah?
"Pertama, dalam berbagai survei AHY lebih leading dari Cak Imin secara elektoral. Kedua, Anies selalu mengatakan bahwa calon wakil presidennya harus bebas dari komorbid masalah hukum tapi kita tahu banyak berita beredar tentang masalah hukum yang menyangkut Cak Imin. Ketiga, keputusan diambil secara tiba-tiba padahal Anies sendiri menginginkan AHY sebagaimana terlihat pada surat tulisan tangan Anies yang viral itu," ungkapnya.
Editor : Enih Nurhaeni