JAKARTA, iNEWSJOGLOSEMAR.ID – Kasus pemagaran laut di Desa Kohod, Kecamatan Pakuhaji, Kabupaten Tangerang, memicu kritik tajam dari Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara). Hak milik (HM) dan hak guna bangunan (HGB) yang diterbitkan di wilayah perairan tersebut dinilai sebagai bentuk maladministrasi serius yang melibatkan aparatur desa dan kantor pertanahan setempat.
Menurut Sekretaris Jenderal Kiara, Susan Herawati, maladministrasi ini mengarah pada tindak pidana yang diduga melibatkan sejumlah pihak di balik proses penerbitan hak atas tanah di perairan laut tersebut.
1. Denda Dinilai Terlalu Rendah
Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) telah menetapkan denda sebesar Rp18 juta per kilometer untuk pelanggaran pemagaran laut ini. Perhitungan tersebut mengacu pada Peraturan Pemerintah (PP) No. 85 Tahun 2021 tentang PNBP di lingkungan KKP.
Namun, Susan menilai denda tersebut tidak mencerminkan keseriusan pemerintah dalam menangani kasus ini. “Denda ini lebih rendah daripada biaya pemasangan bambu untuk pagar laut tersebut. Hal ini tidak memberikan efek jera bagi pelaku perusakan lingkungan,” ujar Susan pada Selasa (28/1/2025).
Dengan panjang pagar laut mencapai ±31 kilometer, total denda yang dikenakan hanya sekitar Rp558 juta. Jumlah ini tidak sebanding dengan kerugian nelayan yang diperkirakan Ombudsman RI mencapai Rp7,7 miliar per bulan akibat aktivitas tersebut.
2. Pelaku Masih Misterius
Meskipun KKP telah menyegel pagar laut pada 9 Januari 2025, hingga kini belum ada pengungkapan terkait pelaku utama di balik pemasangan pagar tersebut. Susan menyebut bahwa masyarakat lokal sudah mengetahui aktor-aktor yang terlibat, termasuk aktor intelektualnya.
“Dalang di balik pemagaran ini bukanlah rahasia bagi masyarakat sekitar. Namun, hingga saat ini pemerintah belum mengungkap siapa yang paling diuntungkan dari tindakan ini,” jelas Susan.
3. KKP Dikritik Tidak Serius
Susan juga mengkritik KKP karena hanya menggunakan satu instrumen, yakni PP No. 85/2021, untuk menghitung kerugian negara dari kasus ini. Ia menilai pendekatan tersebut sangat lemah dan tidak mempertimbangkan dampak besar terhadap ekosistem laut serta mata pencaharian nelayan.
“Penetapan denda yang rendah ini seolah memberikan sinyal bahwa pelaku perusakan laut, pesisir, dan pulau kecil tidak akan mendapat hukuman tegas,” tambahnya.
Kasus ini mencerminkan lemahnya pengawasan dan penegakan hukum terhadap pelanggaran lingkungan, terutama yang berdampak langsung pada masyarakat pesisir dan nelayan tradisional.
Editor : Enih Nurhaeni