Rajutan Bu As, Benang Harapan bagi Pemberdayaan Perempuan

SEMARANG, iNEWSJOGLOSEMAR.ID – Setiap helai benang yang dirajut tertanam kisah tentang ketekunan, kecintaan terhadap tradisi, dan semangat perempuan yang tak pernah redup. Dari rumahnya di Jalan Jangli Tlawah, Candisari, Semarang, rajutan Sri Astuti (63) telah menjelajah ke berbagai penjuru negeri bahkan mancanegara.
Ketekunan merajut itu bukan hanya untuk dirinya. Bu As—begitu ia akrab disapa— punya misi yang lebih besar: pemberdayaan. Ia melihat banyak ibu rumah tangga di sekitarnya yang punya waktu luang namun belum produktif secara ekonomi. Di sinilah benang harapan mulai ia tenun bersama mereka.
"Saya awalnya ngajari sekitar sepuluh ibu-ibu di sekitar rumah. Tapi ya namanya proses, enggak semua bertahan. Sekarang tinggal empat orang yang masih tekun dan ikut bantu produksi. Dua lagi laki-laki, bagian finishing dan jahit," jelasnya ketika ditemui di kediamannya, Kamis (13/2/2025).
Ia mengatakan, ketertarikannya untuk melibatkan perempuan sekitar berangkat dari keprihatinan. Banyak ibu-ibu yang tidak memiliki penghasilan sendiri, padahal kebutuhan rumah tangga semakin tinggi. Menurutnya, keterampilan merajut bisa menjadi alternatif yang layak untuk menambah pemasukan keluarga.
"Saya pikir, kalau saya bisa hidup dari rajutan, kenapa ibu-ibu lain enggak? Padahal kalau tekun, ini hasilnya lumayan. Bisa dikerjakan di rumah, sambil ngurus anak juga bisa," tambahnya.
Bu As juga dikenal sebagai instruktur yang kerap diundang dinas-dinas pemerintahan untuk memberikan pelatihan. Tidak hanya di Semarang, tetapi hingga Kudus, Kendal, bahkan ke tingkat kementerian.
"Dulu saya juga pernah diundang ke luar kota, ngajar di pelatihan-pelatihan dari dinas. Jadi ya sambil promosi Asbag juga, sekalian membagikan ilmu," ujarnya sambil tersenyum.
Teknik merajut yang diajarkan Bu As bukan teknik biasa. Ia menggunakan dasar jaring atau net sebagai media, sebuah teknik yang dia pelajari dari wali murid sekolah anaknya yang pernah belajar di Jepang.
"Rajutan pakai jaring itu rapi, stabil, ringan, dan enggak gampang berubah bentuk. Dan yang penting, hasilnya punya daya jual tinggi," jelasnya.
Pelatihan Gratis
Pemberdayaan bagi Bu As bukan hanya teori. Ia memberi pelatihan secara gratis. Bahkan remaja dan anak muda pun diajak untuk mencoba, walau tak semuanya bertahan.
"Saya pernah ngajar mahasiswa, anak muda. Tapi banyak yang nyerah, bilangnya ribet. Padahal bule Jepang dan Inggris aja bisa, mereka sabar," katanya bangga.
Salah satu ibu yang bertahan dan kini menjadi bagian penting dari usaha Bu As adalah Nurul Komariyah. Perempuan 54 tahun itu mengenal Bu As dari dunia pemasaran multi-level. Mereka sempat terpisah, lalu bertemu lagi ketika Nurul pindah ke daerah Jangli.
"Saya itu kenalnya dari jualan alat rumah tangga dulu, terus MLM lain, sempat lost contact. Ketemu lagi pas tahu Bu As buka usaha Asbag tahun 2012. Ternyata dari dulu beliau memang suka rajut," cerita Nurul.
Nurul awalnya menolak tawaran belajar merajut karena masih bekerja di sebuah asurans kesehatani. Namun ketika pekerjaan mulai sepi dan kondisi keuangan menurun, ia mulai berpikir ulang.
"Pas lagi susah, saya diajak belajar. Gratis lho. Saya pikir, kenapa enggak? Toh saya pernah lihat Ibu saya dulu juga merajut, meski saya dulu cuek aja," katanya sambil tertawa.
Ia mengingat momen-momen awal saat belajar, yang tidak mudah. Butuh kesabaran dan latihan. Tapi begitu berhasil membuat produk pertamanya, semangatnya tumbuh.
"Saya inget pesanan pertama itu dari teman di asuransi, minta dibuatkan tempat map. Saya langsung ke Bu As, dikerjakan bareng. Harganya Rp400 ribu, saya jual Rp450 ribu, tapi dikasih Rp500 ribu. Alhamdulillah, ada untung," kenangnya.
Setelah itu, Nurul makin aktif. Ia mulai menawarkan produk-produk Asbag ke teman-temannya dan komunitas asuransi. Bahkan mendapat kepercayaan dari Bu As untuk memasarkan produk secara lebih luas.
"Bu As kasih saya wewenang jadi reseller. Saya juga bantu produksi. Jadi lengkap, saya penjual dan pengrajin juga," ujarnya bangga.
Didorong Mandiri
Meski begitu, perjalanan tak selalu mulus. Nurul mengaku sempat bosan, apalagi kalau harus membongkar hasil rajutan karena ada kesalahan. Tapi ia memahami pentingnya kualitas.
"Bu As itu perfeksionis. Kalau ada yang salah, harus dibongkar. Enggak boleh asal jadi. Tapi dari situ saya belajar, supaya makin pinter dan teliti," ucapnya.
Menurut Nurul, Bu As bisa membuat lima tas sehari, sementara dirinya baru bisa tiga. Tapi itu tidak membuatnya minder. "Beliau memang mahir. Saya jadikan motivasi aja buat terus belajar. Apalagi beliau juga selalu mendorong kita untuk mandiri," katanya.
Nurul juga pernah mencoba punya brand sendiri, bahkan pernah ikut ke Rumah BUMN Semarang. Namun karena keterbatasan modal dan kurang dukungan keluarga, akhirnya ia memutuskan untuk sementara masih bersama Bu As.
"Saya bilang ke Bu As, saya nempel aja ya. Produknya titip di rumah Bu As, saya bantu jualan juga. Jadi saling menguntungkan. Tapi untuk kegiatan di Rumah BUMN saya juga sering ikut terutama dalam pelatihan-pelatihan agar bisa meningkatkan kemampuan kita," jelasnya.
Ia bersyukur bisa menjadi bagian dari komunitas yang diciptakan Bu As. Di luar merajut, mereka juga terhubung dengan kelompok UMKM lain seperti pengrajin anyaman, kopi, dan ecoprint.
"Kita dulu pernah saling belajar antarpelaku UMKM. Saya pernah bikin tas anyaman plastik buat mantan wali kota Semarang, Bu Ita. Badan tasnya saya buat, tali-taliannya dikerjakan teman lain. Di situ kita perlu sekali untuk kolaborasi dengan UMKM lain," ungkap Nurul.
Sejak 2016, Nurul fokus pada rajutan. Ia merasa sudah menemukan tempat yang pas. Meski awalnya hanya untuk bertahan hidup, kini ia mencintai dunia rajut sepenuh hati.
"Butuh waktu untuk mencintai pekerjaan ini. Tapi sekarang saya cinta. Dari rajut, saya bisa bertahan dan berkembang," tandasnya.
Langkah Bu As yang memberdayakan perempuan-perempuan lansia di sekitarnya mendapatkan dukungan Rumah BUMN Semarang. Selain menciptakan lapangan pekerjaan, merajut juga bisa menjadi ladang penghasilan untuk mencukupi kebutuhan keluarga.
"Kami membina lebih dari 7.000 UMKM dan sekira 3.000 di antaranya berasal dari Kota Semarang. Di sini kami memfasilitasi anggota untuk ikut berbagai pelatihan untuk meningkatkan kapasitas mereka, selain itu juga mendorong akses digital dalam transaksinya,” ujar Koordinator Rumah BUMN Semarang, Endang Sulistiawati.
Perempuan yang biasa disapa Tia tersebut juga menjelaskan, Rumah BUMN rutin mengadakan pelatihan pemasaran digital, pengelolaan keuangan, hingga strategi ekspor. “Kami ingin UMKM bisa go modern, go online, go digital, dan go export,” tutupnya.
Editor : Enih Nurhaeni