Rentan Kriminalisasi, Advokat Desak Perlindungan Hukum dalam RUU KUHAP

SEMARANG, iNewsJoglosemar.id – Tuntutan agar advokat mendapatkan perlindungan hukum lebih kuat kembali mengemuka dalam diskusi publik bertajuk “Pandangan Aparat Penegak Hukum terhadap Perlindungan Advokat, Pendamping, dan Perempuan Berhadapan dengan Hukum” yang digelar Kaukus Advokat Progresif Indonesia (KAPI) bersama Fakultas Hukum dan Bahasa Universitas Stikubank.
Advokat sekaligus Managing Partner NET Attorney Lawfirm, Nasrul Saftiar Dongoran, SH., MH., CCL., CTA, menegaskan banyak rekan seprofesinya menghadapi kriminalisasi saat menjalankan tugas. “Banyak advokat yang menjalankan profesi menghadapi laporan pidana, kriminalisasi seperti penetapan tersangka hingga didakwa dan diputus hakim di pengadilan. Fakta empiris ini membuktikan perlindungan advokat dalam UU Advokat belum memadai,” tegasnya.
Menurut Nasrul, urgensi revisi RUU KUHAP sangat jelas. “Penting dalam RUU KUHAP untuk mengatur secara tegas advokat tidak dapat dituntut pidana dan tidak dapat diperiksa secara hukum tanpa adanya rekomendasi dan/atau putusan dewan kehormatan PERADI,” lanjutnya. Ia menekankan perlunya diskusi lintas aktor hukum secara berkelanjutan, agar keadilan bisa terus menyesuaikan perkembangan zaman.
Sejalan dengan itu, advokat dan pendamping perempuan dari LRC KJHAM, Nihayatul Mukarrahmah, SH., MH, mengungkapkan masih banyak hambatan di lapangan. “MA dan Kejaksaan Agung telah menerbitkan beberapa aturan teknis untuk melindungi PBH seperti PERMA 3 tahun 2017 dan Pedoman Kejaksaan Agung No 1 tahun 2021. Namun dalam implementasinya kami masih menemui tantangan karena beberapa hakim dan jaksa tidak melaksanakan aturan-aturan tersebut,” jelasnya.
Nihayatul menyoroti substansi RUU KUHAP. “Dalam Pasal 136 telah mengatur beberapa hak korban, namun belum ada pengaturan siapa yang bertanggung jawab memenuhi hak-hak korban. Kami juga mendorong agar pemerintah tidak buru-buru mengesahkan RUU KUHAP, tapi lebih mempertimbangkan substansinya,” tambahnya.
Dari kalangan akademisi, Dr. Safik Faozi, SH., MHum, Dekan Fakultas Hukum dan Bahasa Universitas Stikubank, menekankan pentingnya forum semacam ini. “Diskusi publik ini sangat penting dan strategis kaitannya dengan menempatkan advokat terutama pendamping perempuan secara yuridis formal kurang terwadahi dalam berbagai undang-undang. Oleh karena itu, revisi RUU KUHAP perlu mengakomodasi peran advokat dan pendamping perempuan untuk menguatkan akses keadilan bagi masyarakat,” ujarnya.
Sementara itu, perwakilan Polda Jawa Tengah, Kompol Dr. Akhwan Nadzirin, S.H., M.H, menjelaskan perkembangan norma hukum dalam RUU KUHAP. Ia menyebut aturan baru memperluas peran sekaligus perlindungan advokat. Bahkan, kepolisian siap menghormati MoU antara organisasi advokat dan aparat penegak hukum, sebagaimana yang dilakukan INI (Ikatan Notaris Indonesia).
Dukungan serupa disampaikan perwakilan Kejaksaan Tinggi Jawa Tengah, Ashari Kurniawan, SH., MH.Li. Ia menekankan pentingnya kesepahaman formal antara kejaksaan dan organisasi advokat. Menurutnya, RUU KUHAP harus segera dirampungkan agar selaras dengan KUHP baru yang berlaku mulai Januari 2026.
Dari lembaga peradilan, Ketua PN Semarang, Dr. H. Ahmad Syafiq, S.Ag., SH., MH, memaparkan inisiatif pengadilan dalam melindungi perempuan berhadapan dengan hukum. “PN Semarang sedang membentuk majelis khusus yang berisi hakim perempuan untuk menyidangkan PBH, demi memastikan keamanan dan kenyamanan mereka. Mahkamah Agung juga telah menerbitkan berbagai peraturan, seperti PERMA 3 tahun 2017 dan PERMA 1 tahun 2024,” jelasnya.
Diskusi dipandu oleh Karman Sastro, SH., MH dan dibuka oleh Eti Oktaviani, SH dari KAPI serta Dr. Safik Faozi. Forum lintas aktor ini akhirnya menyepakati pentingnya ruang diskursus yang inklusif untuk memperkuat perlindungan advokat, pendamping, dan perempuan berhadapan hukum. Kesepakatan ini menjadi catatan penting dalam upaya memperkuat hukum progresif di Indonesia.
Editor : Enih Nurhaeni