Mengenang Surat Sultan HB IX ke Panglima Besar Sudirman yang Menampar Muka Belanda

SEMARANG, iNewsJoglosemar.id – Langit cerah menaungi Lapangan Parade Makodam IV/Diponegoro, Selasa (7/10/2025). Dalam peringatan HUT ke-75 Kodam IV/Diponegoro dan HUT ke-80 Tentara Nasional Indonesia (TNI), lapangan hijau menjadi saksi hidup perjalanan sejarah. Ribuan pasang mata menyaksikan drama kolosal “Jejak Perjuangan dan Cinta Kemerdekaan” sebuah pertunjukan monumental yang kembali menyalakan api perjuangan bangsa.
Tepuk tangan membahana saat adegan puncak drama menampilkan Sultan Hamengku Buwono IX mengirimkan surat kepada Panglima Besar Sudirman. Surat itu bukan sekadar tinta di atas kertas, tetapi api komando yang menyalakan semangat gerilya seluruh prajurit di Jawa Tengah dan Yogyakarta.
Isi surat yang dibacakan oleh narator dengan lantang menggetarkan penonton:
“...Berhubungan dengan laporan-laporan yang kami terima, bahwa sektor perekonomian rakyat melemah dan situasi militer belum memberi perlawanan berarti, maka dengan ini saya selaku Menteri Koordinator Keamanan mengusulkan kepada Panglima Besar agar dilakukan serangan besar-besaran terhadap Yogyakarta di siang hari, agar dapat dilihat oleh utusan PBB dan dunia tahu bahwa pemerintahan dan tentara nasional masih ada. Sekian dan merdeka!”
Surat Sultan HB IX itu menjadi lembar bersejarah yang mengubah jalannya diplomasi dan persepsi dunia terhadap eksistensi Republik Indonesia. Melalui serangan yang dikenal sebagai Serangan Umum 1 Maret 1949, pasukan gabungan Divisi II Diponegoro di bawah pimpinan Kolonel Bambang Sugeng berhasil merebut Yogyakarta selama enam jam — tepat di siang bolong.
Serangan itu bukan semata kemenangan militer, melainkan tamparan telak bagi Belanda yang mengklaim telah menghancurkan kekuatan Republik. Dunia internasional, termasuk Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan Komisi Tiga Negara (KTN), menyaksikan langsung bahwa pemerintahan Indonesia masih berdiri tegak.
Adegan itu diperankan dengan apik di tengah lapangan. Panglima Besar Sudirman, dengan tubuh lemah namun mata berapi, memerintahkan pengantaran surat itu lewat kurir ke markas Divisi II Diponegoro.
“Nolly, kirim surat ini kembali kepada Mas Sultan di Yogyakarta. Segeralah berkoordinasi dengan pasukan perlawanan setempat,” ucap aktor pemeran Sudirman dengan suara serak menahan semangat.
Pada pagi 1 Maret 1949, dentuman senjata meledak. Para aktor memeragakan pertempuran jarak dekat di bawah sorotan lampu merah dan asap tebal. Pekik “Allahu Akbar!” terdengar bersahut-sahutan dari para prajurit, disertai narasi heroik:
“Serangan Umum inilah yang menampar muka Belanda di dunia internasional, membuktikan bahwa Pemerintahan dan Tentara Nasional Indonesia masih ada!”
Beberapa detik hening. Lalu dentuman meriam, letupan senjata, dan teriakan “Merdeka!” menggema bersamaan dengan kilatan cahaya dan kepulan asap — menandai dimulainya serangan besar-besaran yang mengguncang Yogyakarta.
Kodam IV Diponegoro, Warisan dari Bara Serangan Umum
Dalam narasi berikutnya, diceritakan bahwa semangat perlawanan yang lahir dari Serangan Umum 1 Maret 1949 inilah yang kemudian menjadi fondasi berdirinya Divisi II Diponegoro — yang pada 1950 ditetapkan sebagai Kodam IV/Diponegoro melalui Surat Keputusan KASAD No. 83/KASAD/PNTP/1950.
Sejarah itu kini dipentaskan kembali sebagai pengingat bahwa kekuatan bangsa tidak hanya terletak pada senjata, tetapi juga pada keberanian moral dan kecerdikan politik seorang raja seperti Sultan HB IX, yang memilih strategi “menampar” Belanda di hadapan dunia dengan diplomasi perang yang brilian.
Peringatan HUT kali ini, tak hanya dimeriahkan drama kolosal perjuangan Pangeran Diponegoro, tetapi juga demonstrasi Beladiri, tenaga dalam dan pencak silat militer, dan ditutup dengan demonstrasi pembebasan tawanan. Seluruh kegiatan berlangsung meriah dam berhasil memukau undangan yang hadir.
Dalam amanatnya seusai upacara, Pangdam IV/Diponegoro Mayjen TNI Achiruddin, S.E., M.Han. menegaskan bahwa semangat Sultan HB IX dan Panglima Besar Sudirman adalah napas perjuangan yang tidak boleh padam.
“Tema HUT kali ini, Setia Berbakti untuk Negeri, mengandung makna kebulatan tekad untuk terus setia, berdedikasi, dan berkomitmen kuat membantu mengatasi kesulitan rakyat,” ujar Pangdam.
Ia menyebut perjalanan panjang pengabdian Kodam IV/Diponegoro tidak lepas dari nilai-nilai luhur yang diwariskan oleh Pangeran Diponegoro dan para pejuang kemerdekaan: keberanian, pantang menyerah, dan pengorbanan tanpa pamrih.
“Terima kasih saya sampaikan kepada pemerintah daerah dan masyarakat di seluruh Jawa Tengah dan DIY atas kerja sama yang harmonis. Dan secara khusus kepada seluruh prajurit serta PNS Kodam IV/Diponegoro atas kerja keras dan dedikasi yang luar biasa,” tutur Mayjen Achiruddin.
Editor : Enih Nurhaeni