Membaca Arah Energi Hijau dari Eksperimen Jadi Kebiasaan Baru
Target Melonjak
Area Manager Communication, Relations, and Corporate Social Responsibility (CSR) PT Pertamina Patra Niaga Jawa Bagian Tengah, Taufiq Kurniawan, mengungkapkan bahwa antusiasme masyarakat terhadap Pertamax Green tumbuh pesat dalam waktu singkat.
“Konsumsi Pertamax Green di Jateng dan DIY tercatat meningkat signifikan, mencapai 336 persen dari target tahun 2025 sebesar 512 kiloliter. Saat ini outletnya tersebar di 15 SPBU se-Jateng dan DIY, Dan jumlah ini akan terus bertambah nanti hingga tahun 2026, karena permintaannya meningkat,” imbuhnya.
Menurutnya, pertumbuhan itu bukan semata hasil promosi, melainkan juga pengalaman langsung para pengguna yang merasakan manfaatnya. “Selain sosialisasi, customer experience itu penting. Banyak yang menyampaikan pengalaman berkendara dengan Pertamax Green terasa lebih irit,” imbuhnya.
Yang menarik, lanjut Taufiq, sebagian besar konsumen awal justru berasal dari kalangan pengemudi ojek online. Mereka adalah kelompok masyarakat yang sangat menghitung efisiensi biaya bahan bakar.
“Para pengemudi ojek ini setiap hari memutar roda ekonomi. Karena merasakan perbedaan konsumsi bahan bakar yang lebih hemat, akhirnya mereka beralih ke Pertamax Green. Efek domino-nya, konsumen lain ikut mengikuti,” ujarnya.
Di kota seperti Semarang, jumlah pengemudi ojek online aktif diperkirakan sekitar 40 ribu pengemudi, berdasarkan data dari Dinas Perhubungan Jawa Tengah. Mereka menjadi salah satu segmen awal yang berpotensi besar untuk adopsi BBM seperti Pertamax Green karena sensitivitasnya terhadap biaya operasional harian.
Secara teknis, Pertamax Green merupakan bahan bakar hasil pencampuran antara Pertamax dengan bioetanol (E5) yang bersumber dari tebu lokal. Kandungan etanol tersebut tidak hanya menurunkan emisi gas buang, tetapi juga membantu pembakaran lebih sempurna di mesin kendaraan.
“Masyarakat tidak perlu khawatir. Para ahli sudah menyatakan etanol aman untuk mesin. Justru pembakarannya lebih maksimal dan ramah lingkungan,” kata Taufiq.
Dari sisi ekonomi, penerapan bioetanol juga memberi dampak langsung bagi petani lokal. Sebagian bahan baku tebu kini tidak hanya digunakan untuk industri gula, tetapi juga diserap untuk kebutuhan energi.
“Kami ingin memperkuat ketahanan pangan dan energi sekaligus, dengan memberdayakan petani tebu agar hasilnya bisa di-offtake oleh sektor bahan bakar,” jelas Taufiq.
Berdasarkan laporan Direktorat Bioenergi Kementerian Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM/2024), kapasitas terpasang produksi bioetanol nasional mencapai 303.325 kiloliter, namun realisasi produksi hanya sekitar 160.946 kL ditambah impor 11.829 kL. Sementara, penelitian di ITB menyebut potensi produksi bioetanol berbasis gula tebu mencapai 150 juta liter per tahun sebagai target awal.
Beberapa pabrik bioetanol aktif yang sering disebut adalah: PG Madukismo (DIY), PG Rejo Agung (Madiun), dan PG Gempolkrep (Mojokerto) — yang memproduksi tetes tebu dan molase untuk bioetanol nasional.
Di wilayah Jawa Tengah–DIY tercatat terdapat sekitar 1.097 SPBU yang beroperasi (data dari asosiasi SPBU regional). Sehingga kehadiran 15 outlet yang menjual Pertamax Green sudah merupakan langkah awal yang cukup signifikan di daerah itu.
Sementara Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) mencatat bahwa pada 29 Oktober 2025 pukul 19.00 WIB, konsentrasi PM2.5 di Semarang sebesar 24,6 µg/m³ masuk kategori “Sedang”. Dengan kualitas udara tersebut, kondisi ini memperkuat urgensi adopsi bahan bakar rendah emisi. Pemerintah menargetkan penurunan emisi karbon sebesar 358 juta ton CO₂ pada 2030 di sektor energi, sebagaimana tertuang dalam Enhanced NDC (Dokumen Komitmen Paris Agreement).
Menurut rencana bisnis biofuel PT Pertamina Patra Niaga, hingga akhir 2025 perusahaan menargetkan sekitar 100 SPBU di seluruh Indonesia menjual Pertamax Green 95. Selain itu, pada tahun 2026, ditargetkan penggunaan campuran etanol yang lebih tinggi, misalnya E10 (10%) di beberapa kota besar sebagai fase lanjutan transisi.
Editor : Enih Nurhaeni