Solusi Kebiasaan Merokok: Seminar FEB Undip dan IDF Soroti Harm Reduction

Taufik Budi
Solusi Kebiasaan Merokok: Seminar FEB Undip dan IDF Soroti Harm Reduction (Taufik Budi)

SEMARANG, iNewsJoglosemar.id – Program Studi Ekonomi S1 Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Diponegoro (FEB UNDIP) bekerja sama dengan Indonesia Development Foundation (IDF) menggelar seminar bertajuk “The Impact of Policies and Regulations regarding Tobacco Harm Reduction Products on Smoking Trends, Public Health, and Economic Outcomes” pada Kamis (5/9/2024).

Acara yang berlangsung di Hall Gedung C, lantai 4 FEB UNDIP ini dihadiri oleh akademisi, peneliti, serta praktisi kesehatan untuk membahas dampak kebijakan terkait produk pengurangan bahaya tembakau (THRP) terhadap perilaku merokok di Indonesia.

Salah satu narasumber utama, Lazuardi, MM, MBA, selaku Director Program and Operations IDF, memaparkan temuan awal penelitian mengenai persepsi dan pengambilan keputusan konsumen terkait produk THRP, seperti rokok tradisional (Combustible Cigarettes/CC), rokok elektrik (Electronic Cigarettes/EC), dan kecenderungan untuk berhenti merokok.

Penelitian yang dilakukan melalui Discrete Choice Experiment (DCE) ini bertujuan untuk memahami faktor-faktor yang memengaruhi pilihan perokok di Indonesia, termasuk harga, kandungan nikotin, rasa/aroma, serta kebijakan yang berlaku.

"Dari 627 responden yang kami survei, mayoritas adalah pria berusia 25-39 tahun, dengan 79,3% di antaranya merokok setiap hari. Menariknya, lebih dari setengah responden mempertimbangkan untuk berhenti merokok dalam enam bulan ke depan," jelas Lazuardi.

Penelitian ini juga mengungkapkan bahwa kenaikan harga rokok, baik CC maupun EC, memiliki dampak signifikan terhadap keputusan merokok.

Peralihan CC ke EC

Lazuardi menambahkan, hasil penelitian menunjukkan elastisitas silang yang kuat antara CC dan EC, di mana kenaikan harga CC mendorong perokok untuk beralih ke merek malin, maupun ke EC. Namun, kenaikan harga EC juga meningkatkan kemungkinan perokok untuk mencari produk lain dengan harga lebih terjangkau.

"Ini memberikan gambaran bahwa kebijakan harga yang kompetitif pada EC dapat menjadi strategi efektif untuk mengurangi prevalensi merokok di Indonesia," tambahnya.

Lebih lanjut, Lazuardi menjelaskan bahwa penelitian ini bermula dari observasi atas kebijakan pengendalian tembakau yang belum sepenuhnya berhasil dalam menekan jumlah perokok aktif.

"Walaupun grafik perokok pemula sudah mulai menurun, perokok dewasa justru tetap tinggi, terutama selama pandemi COVID-19," ungkapnya.

Ia menyoroti beberapa praktik negara lain seperti Selandia Baru, Turki, dan Jepang yang menerapkan strategi harm reduction atau pengurangan bahaya bagi perokok aktif yang sulit berhenti merokok.

"Di luar negeri, yang dikejar oleh perokok adalah nikotin, yang menyebabkan kecanduan. Namun, sisi berbahaya dari rokok adalah proses pembakarannya yang menghasilkan racun di antaranya adalah Tar," tambah Lazuardi.

Ia menegaskan bahwa nikotin sendiri tidak menyebabkan kanker, tetapi lebih pada sifat adiktif atau kecanduan. Sementara dalam studi klinik disebutkan Tar menjadi penyumbang dalam terjadinya kanker.

"Penelitian di luar negeri menunjukkan bahwa mengalihkan perokok aktif dari produk tembakau yang dibakar ke produk alternatif yang mengandung nikotin dalam kadar rendah, seperti vape atau rokok yang dipanaskan tanpa pembakaran, dapat membantu mereka mengurangi ketergantungan nikotin."

Harm Reduction

Dengan pendekatan harm reduction seperti penggunaan nicotine patch, perokok masih bisa mendapatkan asupan nikotin, yang merupakan zat adiktif utama, namun dalam jumlah yang jauh lebih kecil dibandingkan rokok konvensional. Selain rokok elektrik dan rokok yang dipanaskan, produk lain yang sering digunakan dalam strategi harm reduction di beberapa negara adalah nicotine patch, yakni plester nikotin yang dapat digunakan sebagai alternatif pengganti rokok.

Nicotine patch bekerja dengan melepaskan nikotin secara perlahan ke dalam aliran darah tanpa melalui proses pembakaran, sehingga mengurangi paparan racun yang dihasilkan dari asap rokok. Selain itu, nicotine patch tidak menghasilkan tar—zat berbahaya yang menyebabkan kanker—karena tidak melibatkan proses pembakaran.

"Ketika asupan nikotin yang diterima perokok bisa dikurangi, risiko kesehatan yang ditimbulkan juga akan menurun signifikan," ungkap dia.

Pendekatan harm reduction ini telah diterapkan di berbagai negara seperti Jepang, di mana kebijakan ini berhasil menurunkan tingkat konsumsi rokok dan mengurangi beban biaya kesehatan. Dengan pengurangan nikotin secara bertahap, diharapkan kebiasaan merokok bisa berkurang, seiring dengan berkurangnya dampak kesehatan yang membebani masyarakat dan negara.

Namun, Lazuardi menegaskan bahwa saat ini harm reduction seperti nicotine patch belum tersedia secara luas di Indonesia. Regulasinya juga belum terbentuk, sehingga masih menunggu pemerintah untuk membuat aturan pelakasanannya.

"Di beberapa negara, nicotine patch telah menjadi salah satu solusi efektif untuk membantu perokok berhenti atau mengurangi kebiasaan merokok, terutama bagi mereka yang kesulitan menghentikan konsumsi nikotin secara langsung," ungkapnya.

"Namun, di Indonesia, produk ini belum ada, dan regulasi yang mendukung penggunaannya juga masih minim. Ini menjadi tantangan tersendiri bagi pengendalian tembakau di tanah air."

Menurut Lazuardi, regulasi yang mendukung penggunaan produk-produk pengurangan bahaya seperti nicotine patch perlu segera disusun agar perokok memiliki pilihan yang lebih aman untuk mengurangi konsumsi tembakau.

"Ke depan, kami berharap regulasi di Indonesia juga memperhatikan produk-produk semacam ini sebagai bagian dari strategi pengurangan risiko, yang dapat membantu perokok untuk beralih dari produk yang lebih berbahaya," jelasnya.

Tantangan Harga

Mengacu pada hasil studi, Lazuardi menggarisbawahi pentingnya kebijakan harga yang dapat mendorong peralihan dari CC ke EC sebagai bagian dari strategi pengurangan bahaya tembakau.

"Peningkatan cukai CC sambil menjaga harga EC tetap kompetitif dapat mempercepat transisi ini, yang pada akhirnya membantu perokok dewasa mengurangi risiko kesehatan mereka," jelasnya.

Namun, ia juga memperingatkan bahwa kenaikan harga pada kedua produk bisa berpotensi meningkatkan peredaran produk tembakau ilegal. Oleh karena itu, diperlukan regulasi yang tepat untuk menjaga keseimbangan harga, sekaligus mendorong perokok beralih ke produk yang lebih rendah risiko atau berhenti merokok sama sekali.

Lazuardi juga menyatakan bahwa penelitian ini akan dilanjutkan dengan analisis biaya-manfaat (cost-benefit analysis) yang mengkaji dampak ekonomi dan kesehatan dari peralihan perokok CC ke EC.

"Kami berharap penelitian lanjutan ini dapat menjadi masukan bagi pemerintah dalam merumuskan kebijakan yang tepat, seperti penurunan cukai pada EC untuk mendorong peralihan dari rokok konvensional," tuturnya.

Dr. Jaka Aminata, SE, MA, Ketua Program Studi Ilmu Ekonomi FEB UNDIP, dalam sambutannya menekankan pentingnya seminar ini sebagai langkah awal untuk memetakan dampak regulasi terhadap kesehatan masyarakat dan ekonomi.

"Dengan tingkat kematian dan disabilitas akibat tembakau yang cukup tinggi di Indonesia, seminar ini diharapkan dapat memberikan wawasan baru bagi pemerintah dan masyarakat dalam memahami kebijakan pengurangan bahaya tembakau," ujar Jaka.

Ia juga menambahkan bahwa diperlukan intervensi yang lebih komprehensif, edukasi publik, serta kebijakan bebas rokok untuk menekan angka prevalensi merokok di Indonesia. Selain itu, pembatasan terhadap variasi rasa/aroma pada CC dan EC bagi konsumen remaja menjadi penting untuk mencegah inisiasi merokok di kalangan anak muda.

 

Editor : M Taufik Budi Nurcahyanto

Bagikan Artikel Ini
Konten di bawah ini disajikan oleh Advertiser. Jurnalis iNews Network tidak terlibat dalam materi konten ini.
News Update
Kanal
Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik Lebih Lanjut
MNC Portal
Live TV
MNC Network