JAKARTA, iNEWSJOGLOSEMAR.ID – Detik-detik guncangan gempa bumi Lombok pada 5 Agustus 2018 masih membekas dalam ingatan Jayadi. Sosok pria asal Singaraja, Bali masih mengingat jelas momen ketika bumi seolah mengangkat rumahnya.
“Itu gempanya bukan goyang kiri kanan, kita seolah-olah diangkat naik turun. Semakin lama, gempanya semakin besar,” kisahnya.
Saat itu, ia tengah berada di rumah bersama istri dan dua anak mereka. Kepanikan melanda. Sang istri pingsan, sementara anak-anaknya harus diamankan ke tempat pengungsian oleh tetangga.
Di tengah kekacauan, Jayadi mencoba tetap tenang. “Saya tidak mau menangis karena saya tidak mau terlihat lemah di hadapan anak-anak dan istri saya,” katanya. Sang anak yang berusia 4 tahun berusaha menghibur diri dengan bernyanyi di tengah situasi menegangkan itu.
Duka Mendalam, Luka Tak Hilang
Meski sudah enam tahun berlalu, bayangan gempa masih sering datang. “Kadang, mendengar suara keras bisa membuat saya mengingat hari naas tersebut,” tutur Jayadi. Istrinya bahkan bisa mengalami sesak napas hanya karena mendengar suara dentuman keras.
Namun Jayadi tak menyerah pada trauma. Ia memilih alih perhatian melalui kesibukan pekerjaan dan kegiatan sosial. Trauma mungkin tak bisa hilang sepenuhnya, tapi ia belajar untuk berjalan berdampingan dengannya.
Gempa dengan magnitudo 7 Skala Ritcher itu memberikan dampak sangat besar. Data Badan Penanggulangan Bencana mencatat sebanyak 212.593 rumah rusak, menelan 567 korban jiwa, dan 445.343 warga terdampak. Journal of Holistic Nursing and Health Science (2018) mencatat sebanyak 64,7 persen korban mengalami Gangguan Stres Pascatrauma (Post Traumatic Stress Disorder/ PTSD).
Lahir dalam Keterbatasan, Tumbuh dengan Kekuatan
Jayadi dibesarkan dalam keluarga sederhana. Ayahnya seorang sopir yang kemudian menjadi petani. Meski sempat mendapat kesempatan masuk universitas lewat jalur PMDK, ia mengurungkan niat karena tak ingin membebani keluarga dengan biaya kuliah.
Ia memilih langsung bekerja. Setelah tiga kali mencoba, ia diterima di McDonald’s Indonesia. Tahun 2016, ia dipercaya menjadi Regional General Manager di Mataram, Lombok—sebuah pencapaian besar bagi lulusan SMA.
Namun tanggung jawab besar itu diuji saat gempa besar melanda.
Bangkit dari Puing, Menjadi Harapan
Tragedi gempa justru menjadi titik balik bagi Jayadi. “Bencana Lombok menyadarkan saya bahwa hidup itu harus berguna untuk keluarga dan masyarakat,” katanya.
Ia terinspirasi oleh banyaknya bantuan dari masyarakat yang datang dalam bentuk air, makanan, hingga selimut. Rasa gotong royong itu membakar tekadnya untuk ikut berkontribusi bagi komunitas.
Jayadi lalu bergabung dalam Sekaa, organisasi berbasis adat yang aktif dalam kegiatan sosial dan budaya. Di sanalah ia belajar menekan ego demi kepentingan bersama.
Dari Tari ke Empati
Sejak kecil, Jayadi menyukai seni tari. Keterbatasan membuatnya tak bisa menekuni dunia seni secara formal. Kini ia mendorong anak-anaknya untuk mendalami seni Bali, terutama tari, sebagai warisan dan pelampiasan ekspresi.
“Saya ingin anak-anak saya tumbuh dengan apresiasi terhadap budaya. Seni bisa jadi penyembuh, sama seperti gotong royong,” ucapnya.
Potret Manusia di Balik Bencana
Kisah Jayadi itu kini tampil dalam episode ketiga sekaligus penutup docuseries Sosok Baik Indonesia yang tayang di kanal YouTube @niatbaikhasilbaik_id. Ia dipilih karena menggambarkan transisi dari penderitaan menuju kekuatan.
Sang sutradara, Wisnu Surya Pratama, mengungkapkan alasannya mengangkat kisah Jayadi. Ia ingin memberi wajah manusiawi pada data statistik bencana. “Ketika kita menonton atau membaca berita mengenai bencana, yang kita tahu adalah jumlah orang mengungsi, terdampak, atau ada korban jiwa. Padahal mereka adalah manusia dengan cerita dan trauma yang nyata,” jelas Wisnu.
Wisnu Surya Pratama, sang sutradara, menyusun narasi dengan pendekatan emosional namun tetap kuat secara data.
“64,7 persen korban gempa Lombok mengalami PTSD, menurut Jurnal Holistic Nursing and Health Science. Tapi Jayadi mampu melawan itu dengan cara yang sangat manusiawi: menjadi berguna,” ujar Wisnu.
Episode ini menutup trilogi Sosok Baik Indonesia, dokumenter yang merayakan ketangguhan warga biasa menghadapi situasi luar biasa.
Editor : Enih Nurhaeni
Artikel Terkait