SUMENEP, iNEWSJOGLOSEMAR.ID — Seorang oknum pengasuh pondok pesantren di Pulau Kangean, Kabupaten Sumenep, Jawa Timur, ditangkap polisi setelah diduga melakukan rudapaksa terhadap 10 santriwati secara berulang sejak tahun 2021. Pelaku diketahui bernama Sahnan (51), warga Dusun Sumber, Desa Kalisangka, Kecamatan Arjasa.
Penangkapan pelaku dilakukan pada Selasa dini hari (10/6/2025) oleh Tim Resmob dan Unit Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) Polres Sumenep. Ia diamankan di Desa Kesambi Rampak, Kecamatan Kapongan, Kabupaten Situbondo sekitar pukul 03.30 WIB, setelah menjadi buronan dalam kasus ini.
“Tersangka telah diamankan dan ditahan di Polres Sumenep guna menjalani proses hukum lebih lanjut,” ujar AKP Widiarti, Kasi Humas Polres Sumenep, dalam keterangan resmi pada Rabu (11/6/2025).
Berlangsung Sejak 2021, Korban Takut Melawan
Menurut penyelidikan, perbuatan Sahnan telah berlangsung selama beberapa tahun. Laporan polisi atas kasus ini tertuang dalam Nomor LP/B/28/VI/2025/SPKT/POLSEK KANGEAN/POLRES SUMENEP/POLDA JATIM, tertanggal 3 Juni 2025.
“Peristiwa ini terjadi pada tahun 2021. Awalnya, korban berinisial F diminta oleh pelaku untuk mengantarkan air dingin ke dalam kamarnya. Namun saat berada di kamar, korban justru menjadi korban rudapaksa,” tutur Widiarti.
Korban, yang saat itu adalah santriwati, tidak berani melawan atau melapor karena pelaku adalah tokoh yang memiliki otoritas di lingkungan pondok.
“Pelaku mengancam korban untuk tidak menceritakan peristiwa itu kepada siapa pun,” tambahnya.
Jumlah Korban Capai 10 Orang, Dilakukan dengan Berbagai Modus
Hasil penyelidikan mengungkapkan bahwa jumlah korban mencapai 10 santriwati. Modus yang dilakukan pelaku bervariasi, tetapi mayoritas melibatkan manipulasi kekuasaan dan ancaman.
Kepolisian masih mendalami kemungkinan adanya korban lain serta keterlibatan pihak lain dalam menutupi perbuatan pelaku selama bertahun-tahun.
Atas perbuatannya, Moh Sahnan dijerat dengan pasal-pasal berat yang tercantum dalam Undang-Undang Perlindungan Anak.
“Tersangka dikenakan Pasal 81 ayat (1), (2), dan (3), serta Pasal 82 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 tentang Penetapan Perppu Nomor 1 Tahun 2016 menjadi Undang-Undang,” jelas Widiarti.
Ketentuan tersebut merupakan perubahan atas Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014, yang mengatur sanksi pidana terhadap pelaku kejahatan seksual terhadap anak, termasuk pemberatan hukuman bila dilakukan oleh orang yang memiliki posisi kepercayaan atau kuasa terhadap korban.
Editor : Enih Nurhaeni
Artikel Terkait