SEMARANG, iNewsJoglosemar.id — Ada rasa kagum yang menyeruak ketika kaki pertama kali menjejak di TK Aisyiyah Bustanul Athfal (ABA) Bengkle, sebuah sekolah yang berdiri di lereng Gunung Ungaran, Kabupaten Semarang. Sekolah yang terletak paling ujung, menjelang puncak gunung, bukan sekadar tempat belajar — melainkan ruang harapan, tempat mimpi anak-anak desa digantungkan di antara pepohonan dan kabut pagi.
Pagi itu udara masih dingin. Saya menempuh perjalanan dengan sepeda motor dari Ungaran selepas mengantar istri berangkat kerja. Di sepanjang jalan, kabut tipis menyelimuti sawah, dan aroma tanah basah berpadu dengan semilir angin gunung. Jalan menanjak membawa pandangan saya pada hamparan hijau yang luas: pohon kopi, kebun sayur, dan rumah-rumah yang bertengger di punggung bukit.
Perjalanan dengan motor memberi saya ruang untuk melihat lebih lambat, lebih intim. Menuju lokasi sekolah di Desa Gebugan, Kecamatan Bergas, dengan ketinggian sekira 2.050 meter di atas permukaan laut. Di beberapa tikungan, kabut menggulung rendah, menutupi punggung-punggung bukit sehingga pemandangan terasa seperti lukisan bergerak. Dinginnya udara pegunungan terasa menampar wajah setiap kali saya membuka kaca helm.
Udara semakin menusuk Jalan semakin ketika melintasi gerbang “Selamat Datang Kelurahan Wujil” dan kian dingin begitu masuk Desa Pagersari, -desa yang berada persis di bawah Desa Gebugan. Jalan semakin menyempit, aspal terkadang menghilang digantikan permukaan kasar; kendaraan yang berpapasan harus saling memberi jalan dengan menepi ke pekarangan warga, demi kelancaran lalu lintas.
Setelah 30 menit, papan “Selamat Datang Desa Gebugan” tampak menyambut yang membuat jantung saya sedikit berdegup. Permukiman di kaki gunung itu tersebar pada ketinggian yang berbeda. Tidak heran bila udara di sini berbeda: lebih tajam, lebih jernih, dan memberi rasa seolah langkah ini bukan sekadar liputan melainkan ziarah kecil ke sebuah ruang harapan.
TK ABA Bengkle berdiri dengan dominan cat warna putih di tepi jalan desa. Gedung permanen; baru dua tahun lalu bangunan beton bertulang itu menggantikan kelas-kelas semipermanen yang sudah rapuh sejak 2007. Halaman sekolah teduh, dihiasi pohon-pohon kecil yang menaungi beberapa ayunan dan area bermain. Saat saya menaruh motor, terdengar suara tawa anak-anak di kelas.
Tak berselang lama dua mobil hitam berpelat Jakarta meluncur hingga parkir di luar pagar halaman sekolah. Dari dalamnya turun rombongan pegawai berpakaian rapi bertuliskan Pegadaian dengan logo warna hijau. Mereka langsung disambut seorang perempuan berkerudung dengan setelan batik.
Senyum merekah sembari mempersilakan duduk di bangku-bangku dan meja kecil –khas anak TK- yang ditata untuk sebuah pertemuan. Suguhan berupa beberapa piring berisi gorengan mendoan dan bakwan tampak menggoda di atas meja.
Sebagian anak yang keluar kelas langsung ikut menyalami. Mata polos mereka berbinar ketika buku tabungan emas mulai ditata di atas meja. Saya berdiri agak di tepi, menyaksikan momen yang rasanya sakral dalam kesederhanaannya.
“Kami datang untuk memperkenalkan Tabungan Emas. Bukan sekadar produk—ini usaha untuk menanamkan budaya menabung bagi generasi awal,” ujar Ana Rahma Kurniawati, Pemimpin Cabang Pegadaian Ungaran, membuka acara dengan suara lembut, Senin (29/9/2025).
Menurutnya, Pegadaian memang sedang merambah dunia pendidikan termasuk TK. Langkah ini dilakukan karena pendidikan merupakan pintu untuk mengentaskan masyarakat, termasuk agar mereka mengenal investasi sejak dini.
“Kita tahu sendiri, sekarang banyak sekali tawaran investasi di luar sana, bahkan tak jarang yang bodong. Karena itu, Pegadaian hadir ke sekolah-sekolah untuk mengenalkan budaya menabung yang sehat. Semakin dini anak-anak diajari, semakin kuat kebiasaan menabung terbentuk,” ujarnya.
Ana menekankan, program Tabungan Emas Pegadaian sangat cocok untuk anak usia dini, termasuk siswa TK. “Dengan tabungan emas, anak-anak punya semangat. Mereka sadar bisa menabung sedikit demi sedikit. Nominalnya kecil, mulai dari Rp10 ribu, sehingga lebih ramah dibanding tabungan uang biasa yang cenderung butuh nominal besar. Anak-anak bahkan bisa menabung harian, dan saldo emas itu akan bermanfaat bagi mereka hingga jenjang pendidikan yang lebih tinggi,” terangnya.
Editor : Enih Nurhaeni
Artikel Terkait