Membincang HAM: Pertaruhan Etika Demokrasi, Bukan Sekadar Kebebasan Berpendapat

Taufik Budi
Membincang HAM: Pertaruhan Etika Demokrasi, Bukan Sekadar Kebebasan Berpendapat. Foto: Taufik Budi

 

SEMARANG, iNewsJoglosemar.id – Peringatan Hari HAM Sedunia di Semarang menjadi ruang refleksi mendalam tentang masa depan demokrasi Indonesia. Fakultas Hukum Universitas Semarang (USM) bersama Direktorat Intelkam Polda Jawa Tengah menggelar dialog publik yang mempertemukan perspektif akademisi dan aparat keamanan. Sorotan utama: bagaimana kebebasan berpendapat dijalankan tanpa menabrak etika dan hukum.

Dr. Muhammad Junaidi, S.Hi., M.H., dari Departemen Kajian Hukum Tata Negara dan Ilmu Perundang-undangan 
Fakultas Hukum USM, menegaskan bahwa Hari HAM bukan sekadar agenda tahunan, tetapi panggilan untuk memperbaiki relasi negara–masyarakat.

“Besok 10 Desember merupakan Hari HAM Sedunia dan tentunya ini menjadi momentum untuk meningkatkan partisipasi masyarakat terhadap konsen HAM. Dan bagaimana tanggung jawab pemerintah menjaga HAM itu benar-benar diterapkan dengan baik,” tegasnya, Selasa (9/12/2025).

Hak untuk menyampaikan pendapat, lanjut Junaidi, adalah bagian penting dari HAM. Namun praktiknya harus mengikuti koridor hukum.

“Pascareformasi luar biasa sekali jaminan HAM itu. Bahkan ada undang-undang lex specialis tentang penyampaian pendapat. Tapi undang-undang itu harus mengikuti situasi dan kondisi yang ada.”

Dr. Junaidi mengkritisi fenomena penyampaian pendapat yang kerap berubah menjadi aksi anarkis.“Banyak masalah kaitan hak menyampaikan pendapat itu muncul tindakan anarkis, tidak sesuai ketentuan, bahkan bukan kepentingan masyarakat.”

Karena itu, diskusi ini digelar untuk mencari irisan terbaik antara kebebasan dan ketertiban. “Kita refleksikan bagaimana menjamin hak berdemokrasi diberikan oleh negara, tetapi harus dijamin sesuai aturan dan selaras dengan konsep negara hukum.”

Tahun ini menjadi kali kedua kegiatan serupa dilaksanakan. Tema diskusi menekankan keseimbangan antara demokrasi, kebijakan publik, dan hukum. “Tahun lalu kita undang Ombudsman, Komisi Yudisial, dan lembaga lain di Jateng,” jelasnya.

Regulasi, menurut Junaidi, perlu terus menyesuaikan dinamika sosial. “Undang-undang kebebasan pendapat perlu dilakukan penyesuaian. Kita tidak mau semuanya diserahkan pada diskresi pejabat. Negara ini membentuk sistem, sehingga aturan harus adaptif.”

Ia menegaskan perlunya partisipasi publik yang substantif, bukan reaktif. “Masyarakat sering hanya kritik sekali saat kebijakan dibuat, padahal kebijakan itu dilandasi kebijakan sebelumnya. Jadi masyarakat harus memberikan masukan konstruktif.”

Tidak semua kritik harus lewat jalan demonstrasi. “Alternatifnya bukan hanya demonstrasi, tetapi uji materi atau cara lain yang menjamin stabilitas negara dan hak warga negara.”

Editor : Enih Nurhaeni

Halaman Selanjutnya
Halaman : 1 2 3

Bagikan Artikel Ini
Konten di bawah ini disajikan oleh Advertiser. Jurnalis iNews Network tidak terlibat dalam materi konten ini.
News Update
Kanal
Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik Lebih Lanjut
MNC Portal
Live TV
MNC Network