TAPANULI SELATAN, iNewsJoglosemar.id - Di lembah berhawa lembap Batang Toru, Sumatera Utara, suara mesin tambang berpadu dengan desau angin yang menuruni perbukitan. Dari kejauhan, truk-truk raksasa melintas seperti semut baja, membawa bebatuan hasil galian dari perut bumi.
Namun di balik hiruk-pikuk aktivitas itu, tersimpan persoalan yang diam-diam menghantui industri pertambangan: oli bekas. Selama bertahun-tahun, pelumas sisa dari alat berat tambang hanya dipandang sebagai limbah berbahaya.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2021, oli bekas termasuk Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) karena mengandung logam berat seperti timbal, kadmium, dan nikel yang sulit terurai. Setiap liter oli bekas yang dibuang sembarangan dapat mencemari hingga 1 juta liter air tanah, menurut data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK, 2023).
Bagi perusahaan tambang seperti PT Agincourt Resources (PTAR), volume limbah ini bisa mencapai puluhan ton per tahun—angka yang tak bisa diabaikan. Di saat banyak perusahaan memilih jalur konvensional, mengirim limbah ke pengolah eksternal berizin seperti PT Prasadha Pamunah Limbah Industr (PPLI), PTAR justru memilih jalan berbeda, mengubah limbah itu menjadi energi.
Sebuah gagasan yang lahir bukan dari laboratorium universitas besar, melainkan dari percakapan sederhana di lapangan. “Awalnya kami hanya ingin mencari cara agar oli bekas ini tidak sekadar dibuang,” tutur Rudolf Sitorus, Superintendent Drill Blast PTAR, Kamis (6/11/2025).
Dari niat kecil itu, lahir inovasi besar yang kini mengubah cara industri memandang limbah. ”Jadi, kami di Martabe ini memang sudah ada gen inovasi lah dari dulu. Kami biasa sebut itu Martabe Improvement Program,” lanjutnya.
Gagasan tersebut berkembang menjadi proyek bertajuk Waste Oil Purification Treatment Through Vacuum Chamber as Emulsion Base for Blasting Phase. Intinya, memurnikan oli bekas agar bisa digunakan kembali sebagai pengganti solar dalam bahan peledak tambang.
Teknologinya disebut Hypobaric Fraction Separator — sistem pemanasan dan penyaringan bertekanan rendah yang mampu menghilangkan kandungan logam berat, air, dan kotoran mikroskopis dalam oli bekas. Suhu optimalnya dijaga di kisaran 85°C, agar struktur molekul pelumas tidak rusak.
“Prosesnya dua tahap, filtrasi dan penguapan,” kata Rudolf menjelaskan.
Oli yang telah melalui pemurnian ini diuji laboratorium setiap batch. Jika kandungan logam masih tinggi atau kelembapan belum ideal, proses diulang hingga memenuhi spesifikasi.
Uji stabilitas termal menunjukkan hasil menggembirakan. Nilai kalor oli bekas yang telah dimurnikan mencapai 42.000 kJ/kg, mendekati nilai kalor solar industri (43.500 kJ/kg) menurut data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). Artinya, energi yang dihasilkan cukup untuk menggantikan bahan bakar fosil dalam proporsi besar.
Hasilnya, kini 80% komponen bahan bakar solar dalam komposisi bahan peledak di tambang Martabe telah digantikan oleh oli hasil daur ulang. Manfaat ekonominya langsung terasa.
Berdasarkan laporan internal PTAR yang disampaikan ke KLHK melalui sistem SIMPEL (Sistem Informasi Pelaporan Elektronik Lingkungan Hidup), volume pemanfaatan limbah pelumas mencapai 37 ton per tahun pada 2022. Setiap pemanfaatan dilaporkan secara daring, dan diverifikasi dalam bentuk laporan cetak setiap tiga bulan.
Dari program tersebut, PTAR mencatat penghematan biaya hingga Rp548.960.820 pada tahun yang sama. Angka itu berasal dari kombinasi tiga pos: pembelian solar yang berkurang, pengurangan biaya transportasi limbah, dan efisiensi pengelolaan B3.
Dampak lingkungannya pun signifikan. Berdasarkan hasil analisis Life Cycle Assessment (LCA) tahun 2024, inovasi ini menekan Global Warming Potential (GWP) sebesar 441,975 ton CO₂ ekuivalen, serta mengurangi potensi acidification dan eutrophication yang biasanya muncul dari pembakaran bahan bakar fosil.
“Bayangkan, oli yang dulu jadi beban kini justru jadi sumber daya,” ujar Rudolf. “Kita hemat energi, hemat biaya, dan yang paling penting, menjaga bumi.”
Editor : Enih Nurhaeni
Artikel Terkait
