MANTAN Presiden Abdurrahman Wahid atau Gus Dur punya segudang candaan yang membuat kita tertawa, namun kadang memiliki filosofis yang mendalam.
Dalam sebuah kesempatan berkunjung ke Clayton, Melbourne, Australia, tepatnya kediaman intelektual muda Fachry Ali, almaghfurlah KH Abdurrahman Wahid alias Gus Dur berbagi cerita.
Peristiwa ini terjadi pertengahan 1991 sebagaimana dikisahkan di status Facebook Bang Fahcry.
BACA JUGA:
Mengerikan! Kereta Gantung Tabrakan, 3 Orang Tewas dan Sebagian Bergelantungan di Kabel
Pada suatu malam, dikutip dari lama NU Online, Gus Dur berselonjor kaki di atas karpet. Diskusi kala itu sudah selesai. Dan keisengan selalu menggoda dalam waktu seperti itu.
Maka berceritalah Kiai Abdurrahman Wahid tentang seorang kiai sepuh di sebuah pesantren antah berantah. Entah berkat apa, kiai ini meminang santriwati yang tentu saja muridnya.
Pinangan tersebut disambut baik orangtua santriwati. Maka, malam pascanikah, sebagai suami, kiai sepuh tersebut harus melaksanakan ‘kewajiban’-nya —bakda Isya dan, mungkin, disambung wirid seperlunya.
BACA JUGA:
Kapolda Metro Jaya Sebut Massa Pengeroyok Ade Armando Bukan Mahasiswa
Ketika ‘kewajiban’ tersebut hendak dieksekusi, santriwati yang kini absah menjadi istrinya, menolak serta merta. Telah sepuh, tentu sang kiai cukup bijak dan bersabar. Walau kian larut, sang kiai dengan lembut memberikan ‘ceramah’ tentang kewajiban suami-istri menurut pandangan agama.
Tetapi, ‘ceramah’ tersebut tidak mempan.
Sedikit kehilangan kesabaran, kiai tersebut menggunakan ‘senjata pamungkas’. Kepada istrinya yang masih remaja itu, sang kiai mengatakan:
“Kalau dinda (ce’ile) mau melaksanakan kewajiban sebagai istri malam ini, pahalanya sama dengan membunuh 100 orang kafir.” (Malam itu, kiai ‘menyediakan’ 300 orang kafir saja).
BACA JUGA:
Bonyok Dikeroyok Massa, Ade Armando: Jangan Kalian Pikir Saya Takut dan Diam
Editor : M Taufik Budi Nurcahyanto
Artikel Terkait