SEMARANG, iNewsJoglosemar.id - Trima Rahayu, perempuan penyandang disabilitas aktif melakukan pengawasan mandiri terhadap tahapan-tahapan Pemilu 2024. Dia juga peduli terhadap pendidikan politik anak didiknya di Yayasan Penderita Anak Cacat (YPAC) Kota Semarang Jawa Tengah.
Meskipun para siswanya telah mencapai usia pemilih, namun Trima Rahayu menyadari bahwa mereka masih perlu pemahaman yang lebih baik tentang menggunakan hak pilih. Edukasi politik mesti sering dilakukan secara benar agar peserta didik paham.
Perempuan berusia 53 tahun itu menjelaskan jumlah surat suara serta tiga pasangan calon presiden dan calon wakil presiden yang akan berlaga pada Pemilu 2024. Sehari sebelum pencoblosan, dia memastikan delapan siswa kelas Pravokasi yang diampunya telah terdaftar dan mendapat undangan sebagai pemilih.
“Mereka ini punya dua usia, yaitu usia fisik dan usia mental. Meski usianya sudah lebih dari 17 tahun, tapi mentalnya kadang bisa baru 10 atau 12 tahun,” ujar Trima Rahayu yang biasa dipanggil Bu Yayuk oleh anak didiknya, Senin (12/2/2024).
“Anak-anak ini kalau tidak sering kita sampaikan (pendidikan politik), maka yang diingat itu adalah orang-orang yang dekat dengan mereka. Makanya tadi ada anak yang ingin nyoblos capres yakni nama gurunya, padahal itu enggak ada di surat suara,” lanjutnya.
Dia bersama rekan-rekannya yang tergabung dalam Komunitas Motor Penyandang Cacat (COMPAC), menunjukkan semangat besar untuk berpartisipasi dalam Pemilu 2024. Dengan menggunakan sepeda motor roda tiga, mereka menjelajahi berbagai komunitas untuk menyuarakan penolakan terhadap golput serta memberikan pemahaman tentang cara mengawasi proses Pemilu.
"Kami ingin menunjukkan bahwa meskipun kami memiliki keterbatasan fisik, kami tetap memiliki suara yang harus didengar. Kami ingin menginspirasi penyandang disabilitas lainnya untuk tidak takut atau malu untuk berpartisipasi dalam proses demokrasi negara ini," tegasnya.
Tulang Punggung
Hingga tiba hari yang ditunggu seluruh masyarakat Indonesia untuk memilih pemimpin bangsa, Rabu (14/2/2024). Hujan mengguyur cukup deras sejak pagi. Meski demikian, Yayuk telah mempersiapkan diri untuk mencoblos ke Tempat Pemungutan Suara (TPS) 12 Kelurahan Ngesrep, Kecamatan Banyumanik, Kota Semarang. Undangan dan KTP telah siap di tas, sebagai persyaratan menggunakan hak pilih.
Sebagai tulang punggung keluarga setelah kehilangan ayahnya beberapa bulan lalu, Yayuk harus mempersiapkan keperluan ibunya yang sering sakit-sakitan. Minuman air hangat dan makanan telah terhidang di meja samping tempat tidur ibunya. Setelah berpamitan, dia segera berangkat untuk menjalankan kewajiban sebagai warga negara yang aktif dalam proses demokrasi.
Dengan menggunakan sepeda motor roda tiga sebagai alat transportasi kesayangannya, Yayuk menuju TPS. Kaus hitam bertuliskan “Wanita Tangguh” di punggung membalut badannya. Meski jarak rumah ke TPS sekira 500 meter, namun dengan keterbatasannya, dia akan kesulitan jika hanya mengandalkan tongkat kruk untuk berjalan.
“TPS di sini lokasinya relatif datar karena berada di gang jalan. Cukup mudah untuk kita masuk maupun keluar, karena aksesnya dipisah. Termasuk yang pakai kursi roda atau tongkat kruk seperti saya ini, bisa melintas dengan mudah,” jelasnya.
Sembari mengantre dipanggil untuk mencoblos, Yayuk mengamati kondisi TPS dengan segala kelengkapannya. Satu persatu warga menggunakan hak pilih dan mengakhirinya dengan mencelupkan jari ke tinta.
“Pada Pemilu 2019 saya pernah berteriak lantang. Waktu itu ketika saya mau mencoblos, di list sebagai warga normal biasa tidak tertulis sebagai disabilitas. Selain itu, akses jalan keluar masuk jadi satu itu akan merepotkan terutama bagi disabilitas yang pakai kursi roda atau tongkat,” beber dia.
“Selain itu, tempat duduk untuk menunggu lokasinya berdekatan dengan bilik suara. Jadi kalau ada orang yang mencoblos akan terlihat. Akibat saya komplain itu, pencoblosan dihentikan sekira 30 menit, untuk mengubah layout. Karena kalau tidak diubah ya saya laporkan ke Bawaslu,” terangnya berapi-api.
Yayuk berkomunikasi dengan petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) tentang jumlah pemilih yang telah menggunakan hak suaranya dari 284 warga masuk Daftar Pemilih Tetap (DPT). Dua petugas Linmas juga terlihat cekatan membantu ketika melihat warga lansia yang kesulitan berjalan menuju bilik suara.
“Kalau hari ini tadi, semua aman. Hanya kain terpal penutup atas yang airnya sempat tumpah. Kan hujan deras pagi tadi, untung tidak mengguyur warga yang menunggu,” imbuhnya seraya tertawa.
Bukan Sekadar Uang
Setelah mencoblos, Trima Rahayu tidak pulang langsung, melainkan tetap bertahan untuk mengawasi proses penghitungan suara. Bersama petugas Pengawas TPS dan pengawas dari partai politik, mereka mencermati lembar demi lembar surat suara yang dihitung.
“Kalau saya ini kan pengawas mandiri atau independen, yang disebut juga pengawas partisipatif. Beberapa waktu lalu saya bersama disabilitas lainnya sempat diajak pertemuan dengan Bawaslu Jateng untuk ikut mengawasi Pemilu,” tuturnya.
“Ya meski tidak mendapatkan bayaran sebagai sebagai pengawas independen, tapi bagi kami tanggung jawab sosial sebagai warga negara jauh lebih berharga daripada sekadar uang. Semoga pemimpin dan demokrasi ke depan juga lebih berpihak kepada disabilitas,” harap Yayuk.
Ketua KPPS TPS 12 Kelurahan Ngesrep, Sularno, menyampaikan terdapat 235 pemilih yang hadir dari 284 warga tercatat di DPT. Pemungutan suara tak hanya dilakukan di bilik suara, tetapi jika terdapat lansia sakit maka pencoblosan bisa dilakukan di rumah masing-masing.
“Tadi ada satu lansia yang kita datangi untuk mencoblos. Satu petugas KPPS bersama petugas Linmas dan Pengawas datang ke rumah warga agar tetap bisa menggunakan hak pilihnya. Karena satu suara warga juga sangat berarti bagi demokrasi kita,” katanya.
“Untuk pengawas ini memang ada beberapa. Yang jelas dari Bawaslu itu Pengawas TPS, kemudian saksi dari parpol maupun caleg, termasuk pengawas dari warga atau yang independen,” ungkap Sularno.
Kelompok Rentan
Komisioner Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Jawa Tengah, Sosiawan, menegaskan pihaknya sangat memperhatikan partisipasi seluruh elemen masyarakat dalam proses Pemilu 2024. Pihaknya telah mengambil langkah-langkah konkret untuk melibatkan penyandang disabilitas dalam berbagai aspek pesta demokrasi.
“Yang dilakukan saudara-saudara kita dari penyandang disabilitas ini sudah kami programkan untuk beberapa hal. Kami terus mendorong mereka terlibat dalam ke-Pemilu-an mulai dari penyortiran dan pelipatan surat suara. Itu sudah kami dorong KPU untuk menyertakan kaum disabilitas,” lugasnya.
“Tidak hanya itu, Bawaslu Jawa Tengah juga aktif dalam melakukan sosialisasi dan merangkul kaum disabilitas untuk terlibat dalam pengawasan Pemilu, termasuk melalui patroli relawan siber," tambahnya.
Sosiawan juga mengapresiasi kelompok-kelompok penyandang disabilitas yang secara mandiri terlibat dalam pengawasan Pemilu. Menurutnya, partisipasi mereka merupakan wujud nyata dari kepedulian untuk mewujudkan Pemilu yang damai, bersih, dan jujur.
“Ini sesuatu yang sangat luar biasa dan mudah-mudahan menjadi awal yang baik bagi kami untuk proses-proses Pemilu dan pemilihan selanjutnya untuk lebih banyak lagi, untuk lebih serius kami melibatkan teman-teman penyandang disabilitas untuk kegiatan kegiatan pengawasan. Sekali lagi kami sangat berterima kasih dan sangat mengapresiasi,” ujarnya.
Menurut data yang dimiliki Bawaslu Jawa Tengah, jumlah penyandang disabilitas yang masuk DPT cukup besar yakni sekira 20-25%. Sekadar diketahui, KPU menetapkan DPT Pemilu 2024 Jateng 28.289.413 warga.
"Kami juga mendorong kelompok rentan lainnya, seperti lansia dan mereka yang sedang dalam proses hukum, untuk tidak kehilangan hak pilihnya," tambahnya.
Editor : Enih Nurhaeni