Rumah Subsidi Go Green, Kurangi Kayu dan Maksimalkan Ventilasi

SEMARANG, iNEWSJOGLOSEMAR.ID - Pengembang yang tergabung dalam Real Estate Indonesia (REI) Semarang mempersiapkan pembangunan rumah subsidi berbasis konsep ramah lingkungan. Langkah ini diambil untuk mendukung program 3 juta rumah yang dicanangkan Presiden Prabowo Subianto serta mengikuti tren hunian yang mengutamakan keberlanjutan lingkungan.
Wakil Ketua REI Jawa Tengah, Juremi, mengungkapkan bahwa beberapa pengembang di Semarang telah mengadopsi inovasi ramah lingkungan. Tidak hanya dari segi desain dan material, REI Semarang juga memperhatikan aspek kenyamanan lingkungan perumahan.
Untuk itu, REI Semarang menyiapkan perumahan Griya Nusa Asri dengan lahan seluas 5 hektare di Desa Batursari, Kecamatan Mranggen, Kabupaten Demak. Lahan ini akan dikembangkan menjadi perumahan subsidi berbasis ramah lingkungan.
“Di Batursari, kami akan membangun sekitar 500 unit rumah subsidi dengan konsep Go Green. Ini sebagai contoh penerapan inovasi yang kami lakukan,” ungkap Juremi, Sabtu (15/2/2025).
Lahan di Batursari dipilih karena lokasinya yang strategis dan potensial untuk berkembang. Selain itu, kawasan tersebut juga memiliki akses yang mudah dijangkau dari pusat kota Semarang dan sekitarnya.
“Kami ingin memastikan bahwa masyarakat mendapatkan hunian yang nyaman dan terjangkau, namun tetap ramah lingkungan,” kata Juremi.
Pengembang berupaya mengurangi penggunaan kayu dalam konstruksi rumah subsidi. Langkah ini diambil untuk menjaga kelestarian hutan dan mendukung upaya penurunan emisi karbon.
“Kami mengurangi penggunaan kayu dan menggantinya dengan aluminium untuk kusen dan pintu. Ini juga lebih tahan lama dan perawatannya lebih mudah,” kata Juremi,
Pengurangan penggunaan kayu dinilai penting karena berpengaruh pada ketersediaan oksigen di bumi. “Jika penggunaan kayu terus menerus tanpa kontrol, hutan akan semakin berkurang dan berdampak pada ketersediaan oksigen yang merupakan paru-paru dunia,” jelas Juremi.
Selain inovasi material, REI Semarang juga mengutamakan desain rumah yang banyak memiliki ventilasi dan pencahayaan alami. “Desain rumah kami banyak memasukkan cahaya alami sehingga mengurangi penggunaan lampu di siang hari. Ventilasi juga dirancang optimal untuk sirkulasi udara yang sehat dan nyaman,” jelas Juremi.
REI Semarang juga berencana menggunakan material FABA sebagai pengganti bata merah dalam pembangunan rumah subsidi berbasis ramah lingkungan. Bata FABA adalah bata yang terbuat dari Fly Ash dan Bottom Ash (FABA), yaitu abu sisa pembakaran batu bara di Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU).
Material ini dinilai lebih ramah lingkungan karena memanfaatkan limbah industri yang sebelumnya tidak terpakai. Selain itu, bata FABA juga memiliki keunggulan berupa kekuatan yang setara dengan bata merah namun dengan bobot yang lebih ringan, sehingga memudahkan proses konstruksi.
“Kami ingin berkontribusi dalam mengurangi limbah industri sekaligus memberikan hunian yang nyaman dan ramah lingkungan bagi masyarakat. Dengan inovasi ini, diharapkan pembangunan rumah subsidi tidak hanya terjangkau, tetapi juga berkelanjutan dan selaras dengan konsep Go Green,” lanjutnya.
Selektif Pilih Rumah
Juremi menyebutkan bahwa pihak pengembang semakin berkembang dalam hal ilmu dan inovasi untuk memenuhi kebutuhan pasar. “Warga sekarang semakin pintar dan selektif dalam memilih tempat tinggal. Mereka menginginkan rumah yang tidak hanya terjangkau, tapi juga nyaman dan ramah lingkungan,” ungkapnya.
Dia menambahkan bahwa rumah subsidi ditujukan untuk masyarakat berpenghasilan rendah (MBR), dengan harga jual yang ditentukan pemerintah. “Di Jawa Tengah, harga jual rumah subsidi tidak boleh lebih dari Rp166 juta. Ukuran tanah minimal 60 meter persegi dan bangunan minimal 27 meter persegi, sehingga tetap layak huni dengan dua kamar tidur, dapur, dan kamar mandi,” jelasnya.
Program ini didukung dengan subsidi dari pemerintah berupa subsidi selisih bunga sebesar 5% per tahun dan subsidi uang muka sebesar Rp4 juta, sehingga masyarakat MBR dapat mengakses hunian yang terjangkau.
“Kuota subsidi disediakan oleh pemerintah dan disalurkan melalui bank, terutama BTN yang menjadi spesialis pembiayaan rumah subsidi,” ungkapnya.
Namun, Juremi mengakui bahwa kendala utama dalam program ini adalah regulasi dan persyaratan kredit yang ketat, terutama terkait BI Checking. “Banyak masyarakat yang gagal lolos BI Checking karena memiliki riwayat kredit macet, seperti leasing kendaraan,” ujarnya.
Salah satu warga Demak, Shanti Kusuma, mengaku sangat selektif dalam memilih rumah sebelum memutuskan untuk membeli. “Saya selalu cek ventilasi dan pencahayaan rumah. Saya ingin rumah yang sehat dan nyaman untuk keluarga,” ungkap Shanti.
Shanti menilai bahwa desain rumah yang memiliki banyak ventilasi dan pencahayaan alami sangat penting untuk kesehatan dan kenyamanan penghuni. “Kalau siang hari rumah bisa terang tanpa lampu, itu lebih hemat energi dan ramah lingkungan,” tambahnya.
Ia juga mengapresiasi langkah pengembang yang mulai mengurangi penggunaan kayu dalam pembangunan rumah. “Dengan mengurangi kayu, hutan bisa tetap lestari dan ketersediaan oksigen tetap terjaga. Ini penting untuk masa depan anak cucu kita,” kata Shanti.
3 Juta Rumah
PT Bank Tabungan Negara (BTN) menunjukkan komitmen kuat dalam mendukung program 3 Juta Rumah yang dicanangkan oleh Presiden Prabowo Subianto. Program ini bertujuan memberikan akses hunian yang layak bagi seluruh masyarakat Indonesia.
Regional Retail Lending and SME Business Head BTN Jawa Tengah, Renhard Sirait, mengungkapkan bahwa BTN siap menyukseskan program tersebut dengan target 14.000 unit rumah hingga akhir tahun ini untuk BTN konvensional.
“Target kami adalah 14.000 rumah konvensional hingga Desember 2025. Jumlah ini bisa bertambah jika kuota terserap lebih cepat,” ujar Renhard.
BTN telah berkomunikasi dengan pengembang utama dan asosiasi pengembang untuk mencapai target tersebut. Kerja sama yang erat diharapkan dapat mempercepat realisasi rumah subsidi yang layak dan terjangkau.
“Kami terus berdiskusi dengan para developer agar target ini bisa tercapai sesuai harapan pemerintah,” tambahnya.
Selain mendukung program 3 Juta Rumah, BTN juga berkomitmen untuk menerapkan prinsip Environmental, Social, and Governance (ESG) dalam seluruh aktivitas bisnisnya. Hal ini diwujudkan melalui program Rumah Rendah Emisi yang ditargetkan mencapai 150.000 unit pada tahun 2029.
Menurut Renhard, program ini selaras dengan visi BTN untuk menjadi ESG Champion di industri perbankan Indonesia. “Kami tidak bisa memungkiri bahwa ke depan, perekonomian akan berbasis green economy. Oleh karena itu, kami membangun perumahan yang ramah lingkungan dan rendah emisi,” jelas Renhard.
BTN mendukung ekonomi sirkular dalam pembangunan perumahan dengan melibatkan produsen material ramah lingkungan dan pengembang perumahan. Salah satu material inovatif yang digunakan adalah bata FABA, yang terbuat dari abu sisa pembakaran batu bara di PLTU.
Penggunaan bata FABA tidak hanya membantu mengurangi limbah industri, tetapi juga menciptakan konstruksi yang kuat dan ringan. Material ini merupakan bagian dari komitmen BTN untuk mengurangi emisi karbon dan mendukung pembangunan berkelanjutan.
Selain itu, BTN juga berupaya memberikan edukasi kepada para developer agar mereka menggunakan material yang ramah lingkungan dan efisien dalam penggunaan energi. “Kami terus mengedukasi developer untuk beralih ke bahan baku yang ramah lingkungan seperti aspal dari plastik dan material daur ulang lainnya,” ungkap Renhard.
Terobosan Pembiayaan
Pakar ekonomi Universitas Diponegoro (Undip), Esther Sri Astuti, S.A., Ph.D., mengingatkan bahwa program 3 Juta Rumah akan menghadapi sejumlah tantangan, terutama dalam aspek pembiayaan. Esther menjelaskan bahwa salah satu hambatan utama dalam program Sejuta Rumah pada era pemerintahan Jokowi-JK adalah daya beli masyarakat yang rendah.
“Mayoritas masyarakat yang membutuhkan rumah subsidi tidak bankable karena bekerja di sektor informal atau memiliki penghasilan yang tidak memadai,” ungkapnya.
Menurutnya, jika pemerintah ingin program 3 Juta Rumah sukses, isu pembiayaan ini harus dicarikan terobosan yang inovatif. Selain itu, Esther juga menyoroti masalah kelangkaan lahan yang semakin meningkat, serta dukungan dari pemerintah daerah yang masih rendah.
“Pemerintah perlu melakukan pendekatan komprehensif untuk mengatasi masalah lahan dan dukungan dari Pemda. Tanpa itu, target 3 Juta Rumah akan sulit tercapai,” tambahnya.
Esther menekankan bahwa terobosan pembiayaan diperlukan agar masyarakat dengan penghasilan rendah, terutama yang bekerja di sektor informal, tetap bisa memiliki akses ke perumahan yang layak.
“Pemerintah bisa mempertimbangkan skema pembiayaan yang lebih fleksibel dan sesuai dengan kondisi masyarakat kita,” ujarnya.
Selain itu, Esther menyarankan pemerintah untuk melibatkan berbagai pihak, termasuk lembaga keuangan dan pengembang perumahan, agar tercipta sinergi yang kuat dalam merealisasikan program 3 Juta Rumah. Menurutnya, pelibatan sektor swasta dalam program ini akan sangat membantu dalam mempercepat pembangunan perumahan subsidi.
“Namun, harus ada regulasi yang jelas dan transparan agar semua pihak merasa diuntungkan,” tandasnya.
Selain itu, Esther Sri Astuti juga menyoroti pentingnya penerapan konsep go green dalam pembangunan rumah subsidi. Ia menilai, program perumahan yang masif seperti 3 Juta Rumah harus dilakukan tanpa merusak lingkungan.
“Pembangunan rumah subsidi sebaiknya tidak mengorbankan kelestarian lingkungan. Harus ada konsep go green yang diterapkan, seperti penggunaan material ramah lingkungan dan desain rumah hemat energi,” tegas Esther.
Menurutnya, penerapan konsep go green tidak hanya akan mengurangi dampak negatif terhadap lingkungan, tetapi juga memberikan manfaat jangka panjang bagi penghuni rumah, seperti penghematan energi dan biaya operasional.
Esther mengungkapkan bahwa pengembang perumahan saat ini harus mulai beradaptasi dengan tren green housing yang semakin diminati oleh masyarakat, terutama generasi muda yang peduli lingkungan. Ia juga mendorong pemerintah untuk memberikan insentif kepada pengembang yang menerapkan konsep go green dalam proyek perumahan subsidi.
“Insentif pajak atau kemudahan perizinan bisa menjadi stimulus yang efektif bagi pengembang,” ujarnya.
Lebih lanjut, Esther mengapresiasi langkah beberapa pengembang yang sudah mulai menggunakan material daur ulang dan teknologi hemat energi dalam proyek perumahan mereka. “Ini adalah langkah positif yang harus diikuti oleh pengembang lainnya,” kata Esther.
Ia berharap pemerintah dapat menyusun regulasi yang mendorong penerapan konsep go green secara masif dalam program 3 Juta Rumah, sehingga program tersebut tidak hanya memenuhi kebutuhan hunian, tetapi juga berkontribusi pada kelestarian lingkungan.
Editor : Enih Nurhaeni