Dari KUR BRI ke Radio Streaming: Kisah Disabilitas Menembus Batas Keterbatasan

SEMARANG, iNEWSJOGLOSEMAR.ID - Djoko Tri Saptono (55), yang akrab disapa Pak Jack, adalah sosok inspiratif yang berhasil membuktikan bahwa keterbatasan fisik bukanlah penghalang untuk sukses. Tinggal di Jalan Kesatrian II Blok K No. 1, Kota Semarang, ia terus berinovasi dalam berbagai bidang usaha dan komunitas. Ia mengubah tantangan menjadi peluang.
Salah satu titik balik dalam perjalanan usahanya adalah saat ia mendapatkan bantuan dari BRI. Dana tersebut menjadi modal awal yang mendorong perkembangan usahanya di bidang suvenir dan kerajinan tangan.
“Saat pertama kali mengajukan pinjaman, saya langsung mendapatkan bantuan modal Kredit Usaha Rakyat (KUR) sebesar Rp5 juta sekira tahun 2020. Seingat saya saat masih masa pandemi Covid-19,” ujar Pak Jack, ketika ditemui di rumahnya, Sabtu (8/3/2025).
Tak hanya bantuan modal, BRI juga memfasilitasi Pak Jack untuk bergabung dengan Rumah BUMN Semarang milik BRI. Di sana, ia mendapatkan berbagai pelatihan dan dukungan bisnis. “Saat itu saya juga langsung difasilitasi QRIS untuk transaksi digital,” tambahnya seraya tersenyum. Dengan adanya QRIS, usahanya semakin mudah diakses oleh pelanggan yang lebih luas, termasuk mereka yang terbiasa dengan pembayaran non-tunai.
Dukungan dari BRI tidak berhenti di situ. Pak Jack juga diberikan kesempatan untuk mengikuti berbagai pameran UMKM. Melalui pameran tersebut, produknya semakin dikenal dan ia mulai mendapatkan pelanggan tetap dari berbagai daerah.
“Saya diikutkan dalam pameran dan itu sangat membantu saya dalam mengenalkan produk kepada masyarakat luas,” jelasnya.
Akses Masih Terbatas
Namun, dalam menjalankan usahanya, Pak Jack kerap menghadapi kendala yang umum dialami oleh penyandang disabilitas. Salah satunya adalah aksesibilitas di berbagai tempat umum, baik milik pemerintah maupun swasta.
“Sering kali gedung instansi berada di lantai dua tanpa dilengkapi lift, atau tangga yang tidak memiliki pegangan. Ini menyulitkan kami para difabel,” ungkapnya.
Selain itu, area parkir yang tersedia di berbagai instansi masih sangat terbatas bagi penyandang disabilitas. “Lokasi parkir yang jauh dari pintu masuk atau stan pameran menjadi kendala besar bagi kami. Untuk berjalan menggunakan kruk saja sudah sulit, apalagi jika harus membawa barang dagangan,” tambahnya.
Pak Jack juga pernah mengalami kesulitan saat mengikuti kegiatan di Car Free Day (CFD). “Kami bersama Komunitas Difabel Semarang (Kondang) ingin menjual produk kerajinan di CFD, tapi sering kali lokasi terlalu padat. Dengan motor roda tiga, sulit menembus kerumunan, bahkan kami beberapa kali berdebat dengan petugas di lapangan,” ujarnya.
Di tengah berbagai tantangan, Pak Jack mengapresiasi peran Rumah BUMN yang menurutnya sangat ramah terhadap difabel. “Mereka sering membantu mencarikan order pembuatan suvenir. Selain itu, saat pameran, mereka juga membantu membawa barang-barang kami ke stan. Ini sangat berarti bagi kami,” ungkapnya.
Menurutnya, dukungan seperti ini sangat membantu para difabel agar lebih mandiri dan bisa terus berkembang dalam usaha. “Mestinya, di setiap acara atau pameran, stan untuk penyandang disabilitas diletakkan di bagian depan agar mudah dijangkau,” sarannya.
Radio Streaming
Dengan perkembangan teknologi saat ini, pembuatan suvenir menjadi jauh lebih mudah. Jika dulu proses sablon membutuhkan waktu lama dengan hasil yang kurang memuaskan, kini dengan adanya digital printing, semuanya menjadi lebih cepat dan praktis.
“Sekarang, sablon di gelas, mug, kaus, plakat, atau media lainnya sangat mudah. Untuk satu suvenir gelas saja, hanya perlu 1-2 menit. Saya tinggal desain lalu dibawa ke percetakan digital printing, setelah itu tinggal pasang di gelas dengan bantuan hair dryer. Hasilnya bagus dan cepat,” jelas Pak Jack.
Tidak hanya gelas dan mug, pembuatan jam meja atau jam dinding juga bisa dilakukan dengan lebih cepat. Bahkan, beberapa waktu lalu, ia baru saja mendapatkan pesanan dari Mabes Polri untuk pembuatan suvenir.
Selain berwirausaha, Pak Jack juga aktif dalam komunitas dan kegiatan sosial. Ia merupakan anggota Komunitas Difabel Semarang (Kondang) dan komunitas otomotif Vespa. Baginya, kendaraan klasik ini bukan sekadar alat transportasi, tetapi juga bagian dari gaya hidup dan cara untuk bersosialisasi lebih luas dengan banyak kalangan.
“Saya suka otomotif, makanya saya ikut komunitas Vespa. Saya pakai Vespa tahun 1996,” ujarnya dengan penuh antusiasme.
Pak Jack juga memanfaatkan peluang lain di bidang penyiaran. Ia menjalankan siaran radio berbasis internet yang dapat diakses oleh siapa saja, kapan saja. Dengan konsep ini, ia berbagi informasi seputar usaha, bakat musik, serta isu-isu yang berkaitan dengan penyandang disabilitas.
“Saya memiliki jargon yakni ‘Radio ini tanpa gelombang, tanpa pendengar’,” katanya sambil terkekeh. “Siaran radio ini sekaligus untuk melatih public speaking dan tentunya bisa menjangkau seluruh dunia melalui streaming,” katanya.
Selain sebagai media komunikasi, radio online yang dikelolanya juga menjadi sarana promosi bagi produk-produk UMKM, termasuk miliknya sendiri. Meskipun bukan dirinya yang membuat produk tersebut, ia tetap berperan dalam memastikan kualitasnya sebelum dikirim ke pelanggan.
“Pernah ada pendengar yang tertarik dengan produk saya. Saya bahkan pernah mengirim kacang telur ke salah satu pendengar radio,” ungkapnya.
Membangun Difamart
Dalam menjalankan bisnisnya, Pak Jack juga melibatkan teman-teman difabel lainnya. Dengan cara ini, ia tidak hanya menjalankan bisnis, tetapi juga membuka peluang bagi sesama penyandang disabilitas untuk mendapatkan penghasilan tambahan.
“Kalau pesanan sedikit, saya kerjakan sendiri. Tapi kalau banyak, saya ajak teman-teman difabel untuk membantu,” jelasnya.
Pak Jack kini tengah menyiapkan inovasi baru dengan memanfaatkan motor roda tiga yang diperoleh dari bantuan Kementerian Sosial. Motor tersebut akan digunakan sebagai sarana berjualan produk-produk kerajinan hasil karya para difabel, dalam konsep yang ia sebut sebagai "Difamart."
"Difamart ini nantinya akan menjadi ajang untuk mengangkut, memamerkan, sekaligus menjual hasil karya teman-teman difabel," ujar Pak Jack. Bersama rekan-rekannya, ia berencana untuk mendatangi berbagai lokasi strategis dan tempat keramaian agar produk-produk mereka semakin dikenal luas.
“Karya dari kita itu banyak, mulai dari kerajinan tangan hingga aneka makanan olahan. Soal rasa, dipastikan tidak kalah dengan produk lainnya,” tambahnya. Pak Jack berharap konsep ini bisa menjadi inspirasi bagi difabel lain agar semakin berani berwirausaha dan mampu mandiri secara ekonomi.
Keberhasilan Pak Jack dalam mengembangkan usahanya tidak lepas dari prinsip hidup yang selalu ia pegang teguh: bersyukur. “Kuncinya satu, hiduplah untuk bersyukur. Apapun hasilnya, kita harus sering mengucapkan syukur. Dengan begitu, kita bisa menghilangkan rasa iri, dengki, dan pikiran negatif lainnya,” katanya.
Ke depan, Pak Jack berharap dapat terus mengembangkan usahanya dan membantu lebih banyak penyandang disabilitas agar bisa mandiri secara ekonomi. “Saya ingin teman-teman difabel tahu bahwa kita juga bisa sukses, asalkan kita mau berusaha dan tidak mudah menyerah,” katanya.
Wadah Inklusif
Koordinator Rumah BUMN Semarang, Endang Sulistiawati, menyampaikan bahwa pihaknya tengah membina lebih dari 7.000 UMKM dari berbagai daerah di Jawa Tengah. Dari jumlah tersebut, sekitar 3.000 UMKM berasal dari Kota Semarang. Rumah BUMN secara rutin menggelar pelatihan bagi UMKM agar bisa naik kelas.
Selain itu, Rumah BUMN juga bersifat inklusif, karena dapat diikuti oleh pelaku UMKM difabel. Mereka tetap mendapatkan hak yang sama untuk ikut pelatihan, pameran, hingga layanan digital seperti QRIS dan BRImo.
“Di Rumah BUMN Semarang, kami mengadakan berbagai pelatihan, mulai dari pemasaran digital, pengelolaan keuangan, peningkatan kualitas produk, hingga strategi ekspor ke pasar global,” ujar Endang. Ia menambahkan bahwa Rumah BUMN Semarang merupakan salah satu dari 54 titik yang tersebar di seluruh Indonesia, dengan tujuan mendorong UMKM agar bisa go modern, go online, go digital, dan go export.
Editor : Enih Nurhaeni