get app
inews
Aa Text
Read Next : Komplotan Wartawan Gadungan Incar Publik Figur di Hotel, Satu Pelaku Perempuan

Ganjel Rel, Roti Warisan Belanda yang Paling Ditunggu Menjelang Ramadan

Jum'at, 25 April 2025 | 22:28 WIB
header img
Ganjel Rel, Roti Warisan Belanda yang Paling Ditunggu Menjelang Ramadan (Taufik Budi)

SEMARANG, iNEWSJOGLOSEMAR.ID - Kue ganjel rel khas Semarang ini bukan sekadar jajanan tradisional, melainkan roti lawas peninggalan zaman Belanda. Nama aslinya adalah roti gambang karena bentuknya yang mirip alat musik gambang, namun masyarakat Semarang lebih akrab menyebutnya ganjel rel.

Rasanya manis dengan sentuhan khas gula aren, menjadikannya cocok sebagai teman minum teh ala nonik Belanda tempo dulu, sekaligus pas untuk menu sarapan karena kekenyalannya yang padat mengenyangkan. Tak heran roti ini selalu jadi incaran warga Semarang, bahkan tiap tahun ribuan potongnya diperebutkan dalam Tradisi Dugderan

Dalam acara Dugderan yang digelar sehari sebelum Ramadan, sekitar 8.000 potong ganjel rel dibagikan gratis oleh Takmir Masjid Agung Kauman, sebuah simbol bahwa pelaksanaan puasa nanti berjalan lancar tanpa "ganjalan" di hati. Pembagiannya diawali secara seremonial oleh R.M. Tumenggung Aryo Purboningrat yang perannya dipegang langsung oleh Wali Kota Semarang.

Di balik lestarinya ganjel rel ini ada sosok Aunil Fadlilah, perempuan 58 tahun yang kini jadi generasi ketiga pelestari penganan unik ini, mewarisi resep dari keluarganya yang dahulu menjadi bagian dari komunitas Masjid Kauman.

“Sekarang saya tinggal di kawasan Jalan Gajah Mada Semarang, sementara rumah produksi berada di Graha Mukti Tlogosari,” kata Aunil di Rumah BUMN Semarang, Jumat (14/3/2025). 

Perjalanan Aunil tak selalu mulus, sebab tahun 2009 kue ganjel rel nyaris punah karena generasi muda menganggap teksturnya terlalu keras dan kuno, hingga produksinya turun drastis hanya 1.500 potong. Ia tak patah semangat, sebab tekadnya menghidupkan kembali warisan leluhur begitu kuat sehingga mulai merancang inovasi agar roti ganjel rel ini lebih diterima lidah modern. 

Tahun 2019 jadi titik balik saat Aunil mencoba menambahkan telur dalam adonan ganjel rel. Sebuah langkah yang membuat tekstur rotinya jadi lebih empuk tanpa menghilangkan rasa aslinya. Namun, sebelum memasarkan versi barunya, ia lebih dulu meminta restu dan penilaian dari tokoh-tokoh Kauman, agar inovasinya tetap dinilai otentik dan sah secara tradisi. 

Hasilnya luar biasa, kini Aunil mampu memproduksi antara 8.000 hingga 10.000 potong ganjel rel dalam satu kali pesanan besar, terutama saat momen Dugderan yang selalu dinanti. Bahkan, ia pernah mendapat kehormatan membuat replika Masjid Agung Kauman dari 1.200 potong ganjel rel, yang dipamerkan di event budaya setempat sebagai simbol pelestarian tradisi. 

“Untuk membuat replika Masjid Agung Kauman ada sekitar 1.200 kue ganjel rel yang dibutuhkan. Kue ganjel relnya saya buat, dan untuk replika Masjid dibuat oleh para remaja masjid,” jelasnya.

Kebakaran Melanda

Namun, cobaan berat sempat datang tak hanya sekali. Pada 2015 rumah produksinya terbakar hebat. Delapan tahun berselang, tepatnya 29 September 2024, musibah serupa kembali terjadi menghanguskan 80 persen peralatan produksinya.

“Dua kali musibah itu sempat menggoyahkan usaha, tapi saya bangkit lebih kuat berkat bantuan dana dari BRI dan pelatihan bisnis yang ia ikuti lewat Rumah BUMN Semarang,” katanya mantap. 

Ketika rumah produksinya di Graha Mukti Tlogosari terbakar pada 2024, kerugian total ditaksir mencapai Rp200 juta, termasuk ratusan loyang khusus ganjel rel yang rusak parah akibat api. Tapi sebulan pascakebakaran, ia justru mendapat pesanan besar dari sebuha perusahaan otomotif, yakni 700 boks ganjel rel senilai puluhan juta rupiah, yang jadi titik kebangkitannya setelah musibah. 

"Setiap kesusahan pasti ada kemudahan, saya percaya Allah tak tidur," ungkap Aunil penuh syukur, saat mengenang bagaimana pesanan besar itu datang di saat ia nyaris putus asa. 

Dengan oven seadanya yang tersisa, ia dan tim bekerja keras memenuhi pesanan itu tepat waktu. Berbekal semangat baru, Aunil tak hanya memperbaiki rumah produksinya, tapi juga mengembangkan varian baru yang lebih kekinian.

Di antaranya adalah rel crispy dan pie ganjel rel yang sukses menarik perhatian anak muda. Pie ganjel rel ini memadukan kulit pie renyah dengan fla susu dan legitnya gula jawa khas ganjel rel, menciptakan pengalaman rasa yang unik namun tetap berpijak pada akar tradisi. 

“Keunggulan lain dari varian baru ini adalah daya tahannya yang lebih lama, bisa bertahan hingga dua pekan. Sehingga ini sangat cocok untuk oleh-oleh dan dikirim ke berbagai daerah,” ungkapnya.

Aunil juga aktif memasarkan ganjel relnya lewat galeri industri kreatif di Kota Lama, toko-toko oleh-oleh di Semarang, hingga ke platform digital seperti Google Bisnisku. Selain itu, ia membuka peluang bagi UMKM lain dengan menjual paket adonan ganjel rel siap olah seharga Rp17.000-18.000, agar siapa pun bisa ikut memproduksi kue ini di rumah. 

“Dengan paket adonan tersebut, pembeli hanya perlu menambahkan telur, minyak, dan air untuk bisa menghasilkan ganjel rel yang empuk dan nikmat, tanpa perlu proses rumit seperti zaman dahulu,” ujarnya.

Alhasil, kini banyak produsen ganjel rel di Semarang yang menggunakan bahan baku dari Aunil. Ia mengaku tidak merasa tersaingi, tetapi justru senang bisa berbagi rezeki dengan sesama pelaku UMKM. 

"Rezeki sudah ada yang mengatur, saya justru senang bisa berbagi," ujar Aunil dengan nada bijak.

Ia dibantu oleh empat karyawan tetap yang mengerjakan produksi harian, ditambah tiga UMKM mitra yang memproduksi varian inovasi seperti pie ganjel rel dan ganjel rel crispy. Keberadaan mitra ini membantunya memperluas pasar tanpa harus menambah beban produksi sendiri.

“Ini sekaligus memberdayakan pelaku UMKM lokal,” tandasnya. 

Mengenang Suami

Meski suaminya, Marjuki, wafat, Aunil tetap tegar melanjutkan usahanya demi menjaga eksistensi ganjel rel yang sudah menjadi bagian dari identitas Semarang. Baginya, ganjel rel bukan sekadar kue, melainkan simbol perjuangan, ketekunan, dan kebanggaan atas tradisi leluhur yang harus diwariskan lintas generasi. 

“Untuk mengenang suami, maka saya mengunakan brand Masjuki, yang itu berasal dari nama suami. Orang sini kan biasanya manggil Mas Juki kepada suami saya,” katanya kalem.

Perjalanan usaha ganjel rel miliknya tak bisa dilepaskan dari peran besar BRI. Ketika sang suami wafat pada 2015, Aunil sadar dirinya harus segera mencari modal agar bisa mempertahankan usaha warisan keluarganya yang nyaris berhenti. 

Ia pun memberanikan diri mengajukan pinjaman modal ke BRI, yang akhirnya disetujui dan menjadi awal dari perjalanannya memanfaatkan Kredit Usaha Rakyat (KUR). Hingga kini, Aunil sudah tiga kali memanfaatkan fasilitas KUR BRI, bahkan ia sempat mengambil pinjaman dengan nominal lebih besar untuk memenuhi kebutuhan modal usahanya yang terus berkembang. 

“Saya butuh modal banyak, saya ambil lebih gede, sebelum habis saya takeover,” ujarnya, mengenang masa-masa sulit usai kepergian suami dan musibah kebakaran yang menghanguskan tempat usahanya di Pasar Johar.

“Dapat pinjaman KUR BRI sudah 3 kali saya, awalnya saat suami meninggal pada 2015. Terus kebakaran (Pasar Johar). Sampai habis semua,” ucap dia.

Tak hanya soal modal, Aunil juga mendapatkan ilmu baru setelah bergabung dengan Rumah BUMN Semarang, wadah pembinaan UMKM yang dikelola BRI. Di Rumah BUMN inilah Aunil belajar banyak hal, mulai dari teknik public speaking, manajemen keuangan, hingga strategi pemasaran yang membantunya membawa ganjel rel masuk ke pasar digital. 

Sang anak kini mulai terlibat aktif, khususnya dalam urusan pemasaran digital lewat media sosial, agar ganjel rel bisa menembus pasar anak muda yang lebih luas. “Harapannya anak saya ini bisa menjadi generasi keempat pelestari ganjel rel, meneruskan jejak keluarga sambil membawa inovasi baru yang relevan dengan perkembangan zaman,” tuturnya. 

Kini, setiap kali ia melihat ribuan potong ganjel rel ludes dalam hitungan jam saat Dugderan, Aunil merasa lega karena perjuangannya selama belasan tahun membuahkan hasil. Ia bertekad terus berinovasi tanpa mengkhianati resep asli peninggalan Belanda, agar ganjel rel tetap lestari namun tak ketinggalan zaman. 

Koordinator Rumah BUMN Semarang, Endang Sulistyawati, menegaskan bahwa pihaknya saat ini membina lebih dari 7.000 UMKM di berbagai daerah Jawa Tengah. Rumah BUMN berkomitmen menjalankan program yang tak sekadar pelatihan biasa, melainkan mencakup peningkatan kualitas produk, adaptasi digitalisasi layanan, hingga penguatan jejaring pasar lewat kegiatan business matching yang rutin digelar. 

“Pelatihan-pelatihan yang diberikan meliputi berbagai aspek seperti pengelolaan keuangan, teknik pemasaran digital, dan public speaking, yang semuanya dirancang agar UMKM binaan mampu bertahan sekaligus berkembang di tengah persaingan yang kian ketat,” bebernya. 

 

 

Editor : Enih Nurhaeni

Follow Whatsapp Channel iNews untuk update berita terbaru setiap hari! Follow
Lihat Berita Lainnya
iNews.id
iNews Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik lebih lanjut