Menguak Buzzer Politik: Siapa Mereka, Sebaran, dan Penggunanya

SEMARANG, iNewsJoglosemar.id – Isu buzzer politik kembali mencuat setelah Universitas Diponegoro (Undip) bersama Universitas Amsterdam memaparkan hasil riset internasional dalam sebuah workshop di Semarang, Jumat (22/8/2025. Workshop ini mengkaji fenomena disinformasi, pasukan siber, dan operasi pengaruh digital yang kian marak di Asia Tenggara.
Forum ini juga menghadirkan akademisi dari berbagai negara, termasuk Belanda, Jepang, Australia, Amerika Serikat, Finlandia, serta sejumlah negara Asia Tenggara.
Wakil Rektor Bidang Riset, Inovasi, Kerja Sama, dan Komunikasi Publik Undip, Wijayanto, S.IP., M.Si., Ph.D., menyebutkan bahwa isu disinformasi menjadi salah satu masalah paling serius dunia saat ini.
“Ini adalah hari pertama dari satu workshop tentang isu yang sangat penting. Intinya hari ini tentang disinformasi, kabar bohong di media sosial, hoaks yang secara spesifik tentang buzzer, cyber troops, dan operasi pengaruh di Asia Tenggara. Ini masalah yang menurut UNESCO dan beberapa riset menjadi tantangan paling penting yang dihadapi umat manusia, bahkan lebih serius dari perubahan iklim,” ungkap Wijayanto.
Menurutnya, disinformasi membuat masyarakat tidak lagi percaya pada isu penting lain, termasuk krisis iklim. Karena itu, forum ini menjadi momentum penting bagi Undip untuk tampil sebagai salah satu pemimpin riset global di bidang demokrasi digital.
Dekan FISIP Undip, Dr. Drs. Teguh Yuwono, M.Pol.Admin., menambahkan bahwa dunia digital telah mengubah cara politik bekerja. Jika dulu pepatah “mulutmu harimaumu” berlaku, kini media sosial menjadikan “jari-jarimu adalah harimaumu”.
“Apa pun yang kita tulis, meski tanpa data atau fakta yang benar, bisa membunuh karakter orang lain, termasuk lawan politik. Pertarungan buzzer ini biasanya terorganisir, punya target tertentu, dan bisa terjadi di berbagai level, dari Pilpres, Pilkada, sampai grup WhatsApp,” tegas Teguh.
Ia menyebut fenomena buzzer sebagai “pedang bermata dua”: bisa dipakai untuk pendidikan publik, tapi juga untuk pembunuhan karakter dan polarisasi politik.
Editor : Enih Nurhaeni