get app
inews
Aa Text
Read Next : Permenpora 14/2024 Dinilai Bermasalah, KONI Kabupaten Semarang Desak Revisi

Gunung Emas di Lereng Ungaran, Tabungan Kecil Anak TK untuk Warisan Masa Depan

Minggu, 12 Oktober 2025 | 11:25 WIB
header img
Gunung Emas di Lereng Ungaran, Tabungan Kecil Anak TK untuk Warisan Masa Depan. Foto: Taufik Budi

 

SEMARANG, iNewsJoglosemar.id — Ada rasa kagum yang menyeruak ketika kaki pertama kali menjejak di TK Aisyiyah Bustanul Athfal (ABA) Bengkle, sebuah sekolah yang berdiri di lereng Gunung Ungaran, Kabupaten Semarang. Sekolah yang terletak paling ujung, menjelang puncak gunung, bukan sekadar tempat belajar — melainkan ruang harapan, tempat mimpi anak-anak desa digantungkan di antara pepohonan dan kabut pagi.

Pagi itu udara masih dingin. Saya menempuh perjalanan dengan sepeda motor dari Ungaran selepas mengantar istri berangkat kerja. Di sepanjang jalan, kabut tipis menyelimuti sawah, dan aroma tanah basah berpadu dengan semilir angin gunung. Jalan menanjak membawa pandangan saya pada hamparan hijau yang luas: pohon kopi, kebun sayur, dan rumah-rumah yang bertengger di punggung bukit.

Perjalanan dengan motor memberi saya ruang untuk melihat lebih lambat, lebih intim. Menuju lokasi sekolah di Desa Gebugan, Kecamatan Bergas, dengan ketinggian sekira 2.050 meter di atas permukaan laut. Di beberapa tikungan, kabut menggulung rendah, menutupi punggung-punggung bukit sehingga pemandangan terasa seperti lukisan bergerak. Dinginnya udara pegunungan terasa menampar wajah setiap kali saya membuka kaca helm.

Udara semakin menusuk Jalan semakin ketika melintasi gerbang “Selamat Datang Kelurahan Wujil” dan kian dingin begitu masuk Desa Pagersari, -desa yang berada persis di bawah Desa Gebugan. Jalan semakin menyempit, aspal terkadang menghilang digantikan permukaan kasar; kendaraan yang berpapasan harus saling memberi jalan dengan menepi ke pekarangan warga, demi kelancaran lalu lintas.

Setelah 30 menit, papan “Selamat Datang Desa Gebugan” tampak menyambut yang membuat jantung saya sedikit berdegup. Permukiman di kaki gunung itu tersebar pada ketinggian yang berbeda. Tidak heran bila udara di sini berbeda: lebih tajam, lebih jernih, dan memberi rasa seolah langkah ini bukan sekadar liputan melainkan ziarah kecil ke sebuah ruang harapan.

TK ABA Bengkle berdiri dengan dominan cat warna putih di tepi jalan desa. Gedung permanen; baru dua tahun lalu bangunan beton bertulang itu menggantikan kelas-kelas semipermanen yang sudah rapuh sejak 2007. Halaman sekolah teduh, dihiasi pohon-pohon kecil yang menaungi beberapa ayunan dan area bermain. Saat saya menaruh motor, terdengar suara tawa anak-anak di kelas.

Tak berselang lama dua mobil hitam berpelat Jakarta meluncur hingga parkir di luar pagar halaman sekolah. Dari dalamnya turun rombongan pegawai berpakaian rapi bertuliskan Pegadaian dengan logo warna hijau. Mereka langsung disambut seorang perempuan berkerudung dengan setelan batik.

Senyum merekah sembari mempersilakan duduk di bangku-bangku dan meja kecil –khas anak TK- yang ditata untuk sebuah pertemuan. Suguhan berupa beberapa piring berisi gorengan mendoan dan bakwan tampak menggoda di atas meja.

Sebagian anak yang keluar kelas langsung ikut menyalami. Mata polos mereka berbinar ketika buku tabungan emas mulai ditata di atas meja. Saya berdiri agak di tepi, menyaksikan momen yang rasanya sakral dalam kesederhanaannya.

“Kami datang untuk memperkenalkan Tabungan Emas. Bukan sekadar produk—ini usaha untuk menanamkan budaya menabung bagi generasi awal,” ujar Ana Rahma Kurniawati, Pemimpin Cabang Pegadaian Ungaran, membuka acara dengan suara lembut, Senin (29/9/2025).

Menurutnya, Pegadaian memang sedang merambah dunia pendidikan termasuk TK. Langkah ini dilakukan karena pendidikan merupakan pintu untuk mengentaskan masyarakat, termasuk agar mereka mengenal investasi sejak dini.

“Kita tahu sendiri, sekarang banyak sekali tawaran investasi di luar sana, bahkan tak jarang yang bodong. Karena itu, Pegadaian hadir ke sekolah-sekolah untuk mengenalkan budaya menabung yang sehat. Semakin dini anak-anak diajari, semakin kuat kebiasaan menabung terbentuk,” ujarnya.

Ana menekankan, program Tabungan Emas Pegadaian sangat cocok untuk anak usia dini, termasuk siswa TK. “Dengan tabungan emas, anak-anak punya semangat. Mereka sadar bisa menabung sedikit demi sedikit. Nominalnya kecil, mulai dari Rp10 ribu, sehingga lebih ramah dibanding tabungan uang biasa yang cenderung butuh nominal besar. Anak-anak bahkan bisa menabung harian, dan saldo emas itu akan bermanfaat bagi mereka hingga jenjang pendidikan yang lebih tinggi,” terangnya.

Belum Punya KTP

Mengenai teknis tabungan untuk anak TK, Ana menjelaskan bahwa setoran akan dikoordinasi melalui sekolah. “Karena ini bentuk kerja sama korporat, nanti ada PIC (person in charge), yaitu kepala sekolah dan bendahara, yang mengatur. Anak-anak bisa menabung setiap hari lewat sekolah, lalu sekolah yang menyetorkan ke Pegadaian,” katanya.

Meski siswa TK belum memiliki KTP, hal itu tidak menjadi kendala. Rekening bisa dibukakan atas nama orang tua, lalu dikuasakan untuk anak. Sehingga, anak-anak tetap bisa punya Tabungan Emas atas nama keluarganya.

Tujuan utama dari program ini, menurut Ana, adalah menumbuhkan budaya gemar menabung sejak dini sekaligus mendukung misi Pegadaian, yaitu MengEmaskan Indonesia. “Kami ingin membentuk generasi yang terbiasa menabung, bukan hanya di SD atau SMP, tapi dimulai dari TK. Jadi, ketika mereka besar nanti, pola pikir itu sudah tertanam,” katanya.

Emas dipilih sebagai instrumen utama karena memiliki banyak manfaat yang relevan bagi masyarakat. Pertama, emas dikenal sebagai aset dengan karakter zero inflasi. Nilainya cenderung stabil, bahkan naik, sehingga aman disimpan untuk jangka panjang. Kedua, emas merupakan aset riil yang bisa diwariskan lintas generasi, memberi jaminan keberlanjutan bagi keluarga.

Manfaat ketiga, emas mudah diuangkan kapan saja, baik dengan cara digadaikan di Pegadaian maupun dijual kembali. “Di saat mendesak, emas bisa langsung dikonversi menjadi uang tanpa perlu syarat rumit,” jelas Ana.

Keempat, emas juga memiliki keunggulan karena tidak terhubung dengan sistem perbankan. Hal ini menjadikannya instrumen yang inklusif, bisa dimiliki siapa saja, termasuk anak-anak yang belum memiliki identitas resmi.

Kelima, emas dipandang sebagai warisan abadi. Nilainya cenderung naik seiring waktu, sehingga bukan sekadar tabungan, tetapi juga bekal masa depan. “Inilah mengapa kami ingin mengedukasi masyarakat, khususnya generasi muda, agar sejak kecil sudah akrab dengan tabungan emas. Harapannya, budaya menabung ini akan membentuk masyarakat yang lebih bijak dalam mengelola keuangan, sekaligus mengangkat kesejahteraan di masa depan,” tutur Ana mantap.

Pegadaian mencatat, jumlah nasabah aktif per Juni 2025 adalah 1.647.300 nasabah. Jumlah ini mengalami peningkatan sekitar 16,05% dari periode yang sama tahun sebelumnya. Sementara jumlah total nasabah mencapai lebih dari 28 juta orang.

Ana mengungkap respons masyarakat terhadap Tabungan Emas sangat luar biasa. Jumlah nasabah Tabungan Emas saat ini bahkan lebih banyak dibandingkan nasabah pembiayaan. Per 29 September 2025, tercatat 19.953 nasabah aktif Tabungan Emas, sementara nasabah aktif pembiayaan ada 18.312 orang.

Menurutnya, fenomena ini terjadi karena dua hal. Pertama, banyak nasabah yang sudah menebus pembiayaan namun tetap mempertahankan tabungan emas mereka. Kedua, terdapat pula nasabah yang memang hanya fokus menabung emas tanpa memanfaatkan fasilitas gadai atau pembiayaan di Pegadaian.

“Artinya, Tabungan Emas kini menjadi pilihan utama masyarakat, baik sebagai sarana investasi maupun sebagai tabungan jangka panjang. Kebanyakan juga yang pembiayaan juga sudah kita edukasi untuk punya Tabungan Emas,” bebernya.

Ia juga mendorong nasabah Pegadaian untuk menggunakan sistem digitalisasi. Setiap nasabah diedukasi agar mengunduh aplikasi Pegadaian Digital Service (PDS). Dari aplikasi itu, mereka bisa membuka Tabungan Emas secara gratis, memantau saldo, menabung, bahkan mengakses produk lain.

Tanpa Bunga

Dwi Handayani, Kepala TK ABA Bengkle, menyambut baik program Tabungan Emas yang dikenalkan Pegadaian. Ia menilai program ini selaras dengan kebutuhan sekolah, terutama karena sistemnya jelas dan aman.

“Kita sangat tertarik, karena di sini jelas tidak ada riba, tidak ada bunga. Aman juga, karena Pegadaian ini BUMN. Jadi kita merasa lebih tenang,” ujarnya.

Jumlah siswa di TK ABA Bengkle saat ini ada 54 anak, terdiri dari TK A dan B. Setiap anak difasilitasi memiliki rekening Tabungan Emas sendiri. “Nanti per wali murid akan dibukakan satu rekening. Tapi memang harus ada sosialisasi dulu supaya jelas dan wali murid juga bisa memutuskan dengan tepat,” terang Dwi.

Menurut Dwi, banyak wali murid yang sebagian merupakan pekerja pabrik garmen, masih memiliki pemahaman terbatas tentang Pegadaian. Banyak yang masih mengaitkan Pegadaian hanya dengan layanan gadai, bukan menabung.

“Selama ini, pemahaman warga ya sebatas kalau Pegadaian itu tempat menggadaikan. Mereka belum tahu kalau ada program menabung emas. Makanya kami masih menjadwalkan sosialisasi langsung dari pihak Pegadaian ke wali murid,” tambahnya.

Dwi menegaskan, program ini merupakan pengalaman pertama sekolah dalam menabung emas untuk anak-anak. Sebelumnya, TK ABA Bengkle memang memiliki kebijakan tabungan siswa, dua kali seminggu. Namun, sistem tersebut terkendala karena uang dititipkan pada bendahara sekolah.

“Bendahara sebelumnya masih mau pegang uang, tapi bendahara baru enggan karena risikonya besar. Kalau uang sedikit-sedikit dikumpulkan dalam waktu lama, jumlahnya bisa membengkak. Jadi lebih aman kalau langsung lewat tabungan emas Pegadaian,” paparnya.

Menurut Dwi, pola tabungan anak-anak di sekolah biasanya sukarela, rata-rata sekira Rp10.000 sekali menabung. Nominal ini sesuai dengan skema tabungan emas yang juga terjangkau bagi uang saku anak-anak.

“Kami sempat mencoba ke BPR dekat sini, tapi minimal tabungan Rp20.000 per anak. Itu memberatkan karena ini tabungan sukarela, bukan tabungan wajib. Nah, Tabungan Emas dinilai pas, karena lebih fleksibel dan ramah di kantong,” katanya.

Menurut Survei Nasional Literasi dan Inklusi Keuangan (SNLIK) 2024, indeks literasi keuangan nasional mencapai 65,43%, sementara indeks inklusi keuangan mencapai 75,02%. Ini mengindikasikan bahwa sebagian besar masyarakat sudah memiliki akses ke produk keuangan, namun belum semua memahami dan mengelola keuangan secara optimal. 

Sehingga program seperti ini Tabungan Emas ke sekolah-sekolah, dinilai mampu mengangkat angka indeks tersebut. Anak-anak yang sejak dini mengenal tabungan akan tumbuh dengan pola pikir finansial yang lebih sehat.

Saya duduk sejenak di bangku sekolah. Melihat keceriaan anak-anak mendapatkan edukasi tentang pentingnya menabung. Terlebih saat mereka menyampaikan cita-cita dan akan menggunakan tabungannya di masa depan, sembari memegang buku rekening Tabungan Emas.

Husein (6), siswa TK B yang dikenal sebagai anak juragan sapi di kampungnya, dengan polos mengatakan, “Aku senang punya tabungan, nanti mau belikan rumah tingkat untuk ibu.” Sementara Fahril (6), teman sekelasnya yang bercita-cita menjadi seniman reog, punya rencana lain. “Tabunganku nanti buat beli topeng,” ucapnya penuh semangat.

Kedua cerita itu menjadi gambaran sederhana bagaimana program Tabungan Emas bisa menumbuhkan imajinasi anak-anak tentang masa depan. Dari keinginan membelikan rumah untuk orang tua, sampai membeli perlengkapan seni budaya, semuanya lahir dari rasa bangga memiliki tabungan sendiri. Inilah nilai utama yang bisa ditanamkan sejak dini: literasi keuangan yang ringan, menyenangkan, dan bermanfaat.

Tak ketinggalan, enam orang tua siswa yang hadir juga turut menyimak penjelasan petugas Pegadaian. Ada satu kekhawatiran umum muncul: selama ini pemahaman soal Pegadaian identik dengan gadai. Mereka takut salah paham.

“Kalau ini untuk menabung, malah bagus. Selama ini bekal untuk keperluan sehari-hari sering dipakai, jadi tabungan cepat habis. Kalau emas, terasa lebih aman,” kata Sariyanti.

Kawasan Gunung Ungaran selama ini dikenal dengan potensi pertanian yang subur dan panorama alam yang memesona. Kini, di sela-sela kemolekan alam itu, muncul usaha menanam kebiasaan finansial—sebuah “pertanian” baru yang menanam benih literasi keuangan melalui Tabungan Emas.

Ibarat “gunung emas”, masyarakat di lereng Ungaran kini bisa menanam investasi sejak dini, bukan lagi hanya dalam bentuk hasil bumi, tetapi juga dalam bentuk aset berharga yang nilainya terus meningkat. Tabungan ini menjadi sarana yang sederhana, terjangkau, namun memiliki dampak besar bagi warisan masa depan.

Pohon Uang

Dr. Yanuar Rachmansyah, pakar ekonomi dari Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi (STIE) Bank BPD Jateng, menilai gebrakan Pegadaian yang menyasar anak-anak sekolah dengan program Tabungan Emas merupakan sebuah “terobosan baru”. Sejak dini anak-anak, termasuk yang tinggal di lereng Gunung Ungaran, sudah dikenalkan dengan budaya menabung aset yang nilainya terjaga, yakni emas.

“Ini seperti menanam pohon uang sejak kecil. Nanti bisa dipetik ketika mereka kuliah atau memulai usaha. Jadi langkah ini bukan sekadar bisnis, tapi bagian dari misi BUMN untuk membangun generasi yang cerdas finansial,” ujarnya.

Yanuar menambahkan, konsep menabung emas sebenarnya bukan hal asing. Tradisi ini sudah lama diperkenalkan orang tua dan nenek moyang kita sejak zaman dahulu. Hanya saja, kini Pegadaian mengemasnya dengan cara yang lebih modern dan terstruktur.

Program Tabungan Emas juga dianggap sebagai “jembatan keuangan” (financial bridge) bagi masyarakat di wilayah yang jauh dari bank atau terbatas akses internet. Produk ini mudah dipahami, praktis, dan yang terpenting dipercaya masyarakat.

“Emas adalah mata uang universal yang diakui nilainya di mana saja. Jadi, nabung emas bukan hanya menabung, tapi juga membuka akses keuangan formal bagi semua kalangan,” jelas Yanuar.

Menurut Yanuar, Tabungan Emas di sekolah punya potensi menciptakan kesejahteraan jangka panjang. Bayangkan jika setiap keluarga desa menabung sedikit demi sedikit lewat anak-anak mereka yang sekolah. Dalam 5–10 tahun, saldo itu bisa menjadi modal pendidikan, usaha orang tua, atau dana darurat keluarga.

“Nilai waktu uang berlaku di sini. Karena emas tahan inflasi dan nilainya cenderung naik dalam jangka panjang, tabungan ini bisa menjadi jaminan sosial mandiri bagi keluarga,” tegasnya.

Meski demikian, Yanuar mengingatkan bahwa ada risiko memperkenalkan produk keuangan kepada anak-anak. Misalnya, literasi yang masih rendah membuat anak mengira menabung emas sama dengan menabung di celengan, atau orang tua kurang mengawasi sehingga tabungan ditarik untuk keperluan konsumtif.

Untuk itu, ia merekomendasikan beberapa langkah yakni edukasi yang menyenangkan: materi harus disampaikan lewat permainan, video, atau cerita. Keterlibatan orang tua: transaksi untuk anak wajib sepengetahuan dan seizin orang tua, serta Digitalisasi: memanfaatkan aplikasi PDS agar lebih aman, transparan, dan mudah dilacak.

“Dengan cara itu, literasi keuangan bisa dibangun sejak usia dini tanpa kehilangan aspek edukatif dan keamanan,” tandas Yanuar.

Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Kabupaten Semarang pada tahun 2024 mencapai angka 75,67. Capaian ini meningkat 0,54 poin dibandingkan tahun 2023 yang berada di angka 75,13. Kenaikan itu mencerminkan adanya perbaikan di berbagai aspek pembangunan, mulai dari kesehatan, pendidikan, hingga standar hidup layak.

Rinciannya, angka harapan hidup masyarakat Kabupaten Semarang tercatat 76,15 tahun, menunjukkan peningkatan kualitas layanan kesehatan. Di bidang pendidikan, rata-rata lama sekolah mencapai 8,16 tahun, sementara harapan lama sekolah juga mengalami kenaikan dibanding tahun sebelumnya. Dari sisi ekonomi, pengeluaran per kapita disesuaikan berada di angka Rp13.377.000 per tahun, yang menunjukkan adanya peningkatan daya beli dan taraf hidup masyarakat.

Dalam kurun 2021–2024, IPM Kabupaten Semarang memperlihatkan tren pertumbuhan konsisten, dengan rata-rata peningkatan 0,53% per tahun. Peningkatan IPM ini sejalan dengan kebutuhan masyarakat untuk memiliki pemahaman yang lebih baik dalam mengelola aset dan pendapatan. Literasi keuangan—termasuk kesadaran menabung, berinvestasi, dan mengelola risiko—berperan penting agar standar hidup yang lebih baik tidak hanya bersifat sementara, melainkan berkelanjutan.

Sepanjang jalan menuruni perkampungan Bengkle yang sejuk, mesin motor saya seakan berlari lebih cepat dari biasanya. Bukan karena terburu-buru, tapi karena hati saya begitu bergejolak ingin segera pulang. Terbayang saat membuka pintu rumah, mendapati istri saya tengah menyiapkan bahan ajar untuk murid-murid SD di Ungaran. Dengan penuh semangat saya ingin duduk di sampingnya, lalu bercerita tentang wajah-wajah polos anak TK yang semringah saat memegang buku Tabungan Emas pertama mereka.

Saya tahu, cerita itu akan membuat matanya berbinar. Sebab ia juga sering mengeluhkan betapa pentingnya anak-anak SD dikenalkan pada kebiasaan menabung sejak dini, agar tidak hanya pandai berhitung di kelas, tetapi juga terampil mengelola uang saku. Program ini seperti jawaban atas doa dan harapan para guru agar anak-anak mulai lebih mandiri dan bisa diajak memahami arti investasi kecil yang akan berbuah besar di masa depan.

 

 

Editor : Enih Nurhaeni

Follow Whatsapp Channel iNews untuk update berita terbaru setiap hari! Follow
Lihat Berita Lainnya
iNews.id
iNews Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik lebih lanjut