Menakar Efisiensi Energi Tambak Garam, LPG Melon dan Target Swasembada Nasional
DEMAK, iNewsJoglosemar.id – Di tengah ambisi Indonesia menuju swasembada garam 2027, denyut ekonomi pesisir terus berdetak di bawah terik matahari. Di Kabupaten Demak, langkah kecil seperti beralih dari bensin ke elpiji melon mulai membuka babak baru efisiensi energi bagi petani garam rakyat.
Deru mesin pompa berpadu dengan gemericik air laut yang dialirkan ke petak-petak pengeringan di Desa Berahan, Babalan, hingga Kedungmutih, Kecamatan Wedung. Mereka memilih energi gas elpiji subsidi berwarna hijau—elpiji melon—yang lebih irit, mudah didapat, dan ramah lingkungan.
Zainal Abidin, seorang petani garam berusia 65 tahun, tampak sibuk memeriksa selang gas yang tersambung ke mesin pompanya. “Sudah sekitar dua tahun saya pakai elpiji melon untuk memompa air laut. Awalnya coba-coba, tapi ternyata lebih irit,” ujarnya sambil menyeka keringat di dahi, Rabu (8/10/2025).
Menurut Zainal, harga gas elpiji melon jauh lebih ringan dibandingkan bensin. Dalam satu kali pemompaan, ia hanya perlu satu tabung gas ukuran 3 kilogram. “Kalau pakai bensin, bisa habis dua liter setiap kali nyedot air laut. Sekarang, cukup satu tabung, bisa dipakai dua kali. Hemat separuhnya,” kata warga Desa Berahan itu.
Ia menambahkan, penggunaan elpiji melon lebih mudah setelah mesin pompa dimodifikasi tak lagi menggunakan bensin. Di desanya, pengecer gas masih mudah ditemui, meski terkadang stok terbatas.
“Kalau lagi ramai, kami beli di pengecer dekat rumah. Kadang stok habis, tapi biasanya tidak lama,” tutur Zainal dengan logat Jawa kental.
Bagi Zainal, penghematan biaya energi berarti tambahan modal untuk memperluas produksi. Ia menggarap lahan seluas 400 x 50 meter persegi yang dibagi menjadi 10 petak. “Dengan biaya yang lebih ringan, hasil garam bisa lebih banyak. Paling tidak kami bisa memperbaiki tanggul atau beli plastik baru,” ujarnya sambil menunjukkan hamparan petaknya yang mengering di bawah matahari.
Tak jauh dari lokasi Zainal, seorang petani sepuh bernama Isman duduk di pematang tambak. “Saya sudah puluhan tahun di sini, dari zaman pompa manual pakai kincir sampai sekarang pakai gas,” katanya pelan, dengan suara khas orang pesisir.
Isman memiliki enam anak, dan mengaku terbantu dengan adanya gas elpiji melon. Ia menggunakan tabung gas itu untuk menggerakkan mesin pompa air laut menuju petak-petak tambaknya. “Kalau pakai bensin, berat di ongkos. Sekarang, pakai gas lebih ringan. Tinggal ganti tabung kalau habis,” ujarnya.
Setiap kali selesai memompa, Isman tak membawa pulang tabung gasnya. Ia biarkan di lokasi tambak. “Aman saja, enggak pernah ada yang hilang. Orang sini saling percaya,” katanya sambil tersenyum.

Meski begitu, ia mengakui ada sedikit kerepotan jika harus membawa tabung ke rumah. “Kalau dibawa pulang pergi, ya capek. Tapi karena aman, ya ditinggal di sini saja,” tambahnya.
Harga gas elpiji melon, bagi Isman, masih tergolong terjangkau. “Kalau dibanding bensin, jauh bedanya. Lebih irit dan hasilnya juga tetap bagus. Air bisa cepat naik ke petak,” ucapnya.
Isman dikenal di lingkungannya sebagai sosok sederhana yang juga aktif di musala Faidlurrahman. “Saya jadi muazin tiap hari. Jadi pagi ke musala, siang ke tambak. Sudah jadi rutinitas,” katanya dengan nada syukur.
Sementara itu, Farid, petani muda berusia 33 tahun, mengaku kini fokus menjadi petani garam meneruskan usaha ayahnya. “Sekarang semua serba-mahal. Kalau pakai bensin, berat di biaya. Jadi kami ikut cara orang-orang tua pakai gas,” ujarnya.
Ia mengakui, awalnya sempat ragu apakah mesin bisa bekerja baik dengan gas. “Saya sempat takut mesinnya cepat rusak. Tapi setelah dicoba, ternyata malah stabil,” katanya.
Farid menambahkan, dengan gas elpiji, ia bisa memompa air laut lebih cepat karena tekanan mesin tetap terjaga. “Pompa bisa jalan lebih lama. Suaranya juga halus,” ujarnya.
Baginya, efisiensi energi di tambak garam sangat penting. “Kalau semua petani bisa hemat energi, biaya produksi bisa ditekan. Ini juga bantu kami bertahan di tengah harga garam yang fluktuatif,” katanya.
Kebutuhan Garam Nasional Tinggi
Kebutuhan garam nasional yang terus meningkat belum sepenuhnya dapat dipenuhi oleh produksi petani garam di pesisir utara Jawa, termasuk di Desa Babalan, yang menjadi desa penghasil garam terbesar di Demak. Kondisi cuaca yang tidak menentu dan terbatasnya kapasitas produksi membuat pengepul harus mendatangkan garam dari luar daerah.
“Kalau dari wilayah kita sendiri itu tidak mencukupi. Kita kekurangan stok. Jadi kalau kiriman banyak, kita ambil dari daerah lain,” ujar Nur Rohmad, pengepul garam di Babalan.
Menurutnya, pasokan garam dari Demak sering kali tidak cukup untuk memenuhi permintaan pasar, terutama dari luar Jawa. Untuk menutup kekurangan, ia kerap mengambil stok tambahan dari Jepara, Pati, Pasuruan, Surabaya, Situbondo, hingga Madura.
“Kalau stok lokal kurang, kita ambil dari wilayah lain. Outputnya sering kita kirim ke Lampung, Palembang, Medan, Jambi, Padang, sampai Pekanbaru,” jelasnya.
Rohmad mengungkapkan, setiap hari pihaknya bisa menerima antara 15 hingga 20 ton garam dari petani. Namun pengiriman baru dilakukan setelah terkumpul satu mobil atau kontainer berkapasitas 25 ton.
“Kita ngumpul dulu, baru kita kirim keluar. Kadang 15 ton, kadang 20 ton, tergantung hasil panen,” katanya.
Dari sisi harga, garam kualitas terbaik (KW1) saat ini dijual sekitar Rp1.900 hingga Rp2.000 per kilogram. Meski harga stabil, kualitas garam tahun ini menurun karena kemarau basah. “Cuaca tidak menentu, kadang hujan, kadang panas. Jadi hasilnya acak-acakan. Rata-rata kualitas KW3,” ujar Rohmad.


Ia menyebut, musim puncak produksi garam biasanya terjadi pada Agustus hingga September. Pada periode itu, kegiatan bongkar muat meningkat tajam karena stok melimpah dan permintaan pasar tinggi. “Kalau masa panen itu, ramai-ramainya kita muat. Stok banyak, konsumen terpenuhi,” katanya.
Rohmad menuturkan, usaha pengumpulan dan distribusi garam yang ia rintis sejak 2017 setelah lulus kuliah kini menjadi sumber lapangan kerja bagi warga sekitar. “Kalau penuh, tenaga kerja bisa 40 orang. Tapi kalau stok minim, ya sekitar 25 orang yang berangkat setiap hari,” jelasnya.
Ia mengakui, permintaan dari luar Jawa justru menjadi penopang utama bisnisnya. “Kita dari lokal Jawa Tengah itu jarang. Paling mentok di Tanjung Priok, lewat kapal. Selebihnya kirim ke luar Jawa,” kata Rohmad.
Menurutnya, kondisi ini menjadi bukti bahwa pasar garam di Indonesia masih sangat luas dan potensial. “Pasarnya sangat luas sekali. Dari produksi lokal saja belum cukup. Jadi peluangnya masih besar,” ujarnya.
Dengan permintaan tinggi dan kualitas garam Babalan yang dikenal baik, Rohmad berharap dukungan pemerintah terus mengalir untuk menjaga keberlanjutan usaha para petani dan pengepul. “Kalau cuaca mendukung dan stok stabil, insyaallah garam Babalan bisa bantu penuhi kebutuhan nasional,” tandasnya.
Stok LPG 3 Kg
Menurut Ahmad Rofiq, Sekdes Babalan, luas lahan garam di desa ini mencapai 630 hektare, dengan 889 petani yang aktif menggarapnya. “Itu sesuai data kami,” ujar Rofiq. “Tahun 2024, kami memberikan bantuan berupa plastik geomembran dan mesin pompa bagi nelayan. Data petani tercatat persis, 889 orang.”
Selain bantuan alat, pemerintah desa juga memberikan pelatihan kepada petani agar garam diproduksi lebih cepat, lebih berkualitas, dan lebih layak jual. Pelatihan ini termasuk cara mempercepat panen dan menjaga kualitas garam melalui pengolahan dengan geomembran.
“Kami ingin agar kualitas garam lebih bagus, sehingga harganya lebih tinggi,” jelas Rofiq.
Ia menambahkan, rata-rata produksi garam di tambak warga berkisar 70 ton per hektare. Namun, tahun ini produksi menurun 20-50 persen karena bergantung pada cuaca. “Ini kemarau basah, jadi kualitas garam agak turun. Tapi kalau tahun 2023 lalu, kemarau panjang, hasilnya bagus banget,” tambahnya.
Perubahan metode produksi juga signifikan. Dulu petani mengandalkan kincir angin dan tanah kolam biasa, sehingga panen memakan waktu lama. Kini, dengan geomembran dan mesin pompa, waktu panen bisa dipangkas menjadi 2–4 hari.
“Mesin lebih cepat, lebih efisien. Beberapa petani masih pakai kincir untuk menghemat BBM, tapi mayoritas sudah beralih ke mesin. Perubahan pola energi di tambak-tambak kecil ini, meski tampak sederhana, sesungguhnya menyentuh agenda besar swasembada garam nasional,” jelas Ahmad.

Meski demikian, energi tetap menjadi kendala. Banyak petani menggunakan LPG melon 3 kilogram untuk menjalankan mesin pompa, padahal LPG ini bukan untuk mereka. Stok LPG di Babalan terbatas dan tidak ada pangkalan resmi.
Petani harus membeli dari tetangga desa dengan harga Rp25.000 per tabung, jauh di atas harga eceran tertinggi Jawa Tengah Rp18.500. Karena stok langka, sebagian petani kembali menggunakan bensin.
Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) memprediksi sebagian besar wilayah Indonesia, termasuk Pulau Jawa, mengalami musim kemarau basah hingga Oktober 2025. Hal ini disebabkan oleh melemahnya Monsun Australia yang berasosiasi dengan musim kemarau, sehingga suhu muka laut di selatan Indonesia tetap hangat dan berkontribusi terhadap terjadinya anomali curah hujan.
Fenomena ini mengakibatkan kemarau basah di Pulau Jawa, yang biasanya kering justru disertai dengan curah hujan yang lebih tinggi dari biasanya. Dalam kemarau basah, intensitas hujan tergolong tinggi meski frekuensinya menurun dibanding musim hujan.
Sebagai perbandingan, pada bulan September 2023, sebagian besar wilayah di Jawa Tengah, termasuk Demak, mengalami kondisi kemarau dengan curah hujan yang sangat rendah. Curah hujan rendah kurang dari 50 mm. Bahkan, BMKG mengeluarkan peringatan dini terkait kekeringan meteorologis di beberapa wilayah, termasuk Demak, pada periode 11–19 September 2023.
Sementara pada bulan September 2025, kondisi cuaca di Demak mengalami peningkatan curah hujan dibandingkan tahun sebelumnya. Curah hujan di wilayah Jawa Tengah, termasuk Demak, pada bulan September 2025 berkisar antara 21 hingga 300 mm, dengan kategori curah hujan rendah hingga menengah.
Kebijakan Energi
Area Manager Communication, Relations & CSR Pertamina Patra Niaga Jawa Bagian Tengah, Taufiq Kurniawan, menegaskan bahwa petani garam saat ini belum termasuk dalam kategori penerima subsidi LPG 3 kilogram. Ia menyebutkan bahwa penyaluran LPG subsidi telah diatur secara ketat oleh pemerintah, melalui Direktorat Jenderal Minyak dan Gas Bumi (Dirjen Migas) Kementerian ESDM.
“Kami sampaikan bahwa untuk petani garam itu sebetulnya tidak masuk dalam kategori petani sasaran yang berhak mendapatkan subsidi LPG 3 kilogram,” ujar Taufiq.
Menurutnya, kelompok yang berhak menerima LPG subsidi adalah petani dan nelayan sasaran yang menjalankan kegiatan di sektor perairan. Sementara itu, kegiatan produksi garam dilakukan di wilayah daratan sehingga secara regulasi tidak termasuk ke dalam kelompok penerima subsidi.
“Yang berhak mendapatkan subsidi 3 kilogram itu hanya petani dan nelayan sasaran yang dia berfungsi untuk melakukan kegiatan di perairan,” jelasnya. “Sedangkan di daratan itu tidak diatur oleh Dirjen Migas untuk mendapatkan subsidi LPG 3 kilogram.”
Taufiq menambahkan, status petani garam sebagai pengguna LPG subsidi masih berada di wilayah abu-abu secara hukum karena belum ada regulasi khusus yang mengakomodasinya. Oleh sebab itu, pihaknya belum dapat memberikan penjelasan lebih jauh mengenai kemungkinan perubahan kebijakan di masa mendatang.
“Kita nanti mungkin untuk petani garam itu juga karena ini terkait regulasi, jadi kita juga tidak bisa terlalu memberikan keterangan banyak soal petani garam ini nantinya akan diregulasikan oleh Dirjen Migas,” katanya.

Ia menegaskan kembali, hingga saat ini petani garam belum masuk dalam golongan penerima subsidi LPG 3 kilogram sesuai ketentuan yang berlaku. “Tapi sampai sekarang petani garam ini tidak masuk dalam golongan yang berhak mendapatkan subsidi,” tegas Taufiq.
Pemerintah menyiapkan stok LPG 3 kilogram di Jawa Tengah sebesar 1.213.096 metrik ton untuk tahun 2025. Pasokan ini akan disalurkan melalui 55.715 pangkalan yang tersebar di seluruh Jateng. Dengan stok tersebut, pemerintah memastikan ketersediaan pasokan untuk mencegah terjadinya kelangkaan LPG 3 kilogram.
Berdasarkan data Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Jawa Tengah, produksi garam rakyat di wilayah ini pada tahun 2024 tercatat mencapai 536.612 ton. Luas lahan tambak garam mencapai 8.267 hektare dengan jumlah petani sebanyak 6.420 orang, tersebar di sembilan daerah sentra produksi yakni Brebes, Demak, Jepara, Pati, Rembang, Cilacap, Kebumen, Purworejo, dan Grobogan.
Tidak seluruh hasil produksi garam rakyat tersebut memenuhi standar kualitas industri, karena proses pengolahan masih bergantung pada cuaca dan menggunakan teknologi yang relatif sederhana. Sementara kebutuhan garam di Jawa Tengah pada 2024 mencapai 119.400 ton, terdiri atas 33.000 ton untuk garam konsumsi dan 86.400 ton untuk industri.
Dengan keterbatasan tersebut, sebagian kebutuhan garam industri di Jawa Tengah masih harus dipasok dari luar daerah. Untuk garam rakyat dengan NaCl 95 persen, sedangkan untuk industri, NaCl-nya harus di atas 97 persen.
Inovasi Akar Rumput
Pakar Ekonomi Universitas Diponegoro (Undip) Dr. Jaka Aminata, SE., MA menilai penggunaan tabung LPG 3 kilogram oleh petani garam di pesisir Demak sebagai pengganti bensin atau solar untuk pompa air asin merupakan bentuk efisiensi energi di sektor mikro. Menurutnya, langkah itu mencerminkan inovasi akar rumput yang lahir dari tekanan ekonomi, sekaligus upaya adaptasi teknologi tepat guna.
“Ya, ini bentuk efisiensi energi di sektor mikro, dan bahkan bisa dibaca sebagai inovasi akar rumput,” ujar Jaka Aminata.
Ia menjelaskan, petani garam tradisional umumnya mengandalkan bensin atau solar untuk menggerakkan pompa air laut dari sungai ke petak penguapan. Aktivitas itu dilakukan berulang kali dalam sehari, sehingga konsumsi bahan bakar cukup besar dan menjadi komponen biaya operasional yang paling sensitif terhadap harga minyak.
Sementara LPG 3 kilogram — yang disubsidi pemerintah — memiliki harga lebih rendah per satuan energi dibandingkan bensin atau solar eceran nelayan dan petani tambak. “Ketika petani memodifikasi mesin pompa agar bisa menggunakan LPG, mereka sedang melakukan substitusi energi yang lebih murah dan relatif lebih bersih,” paparnya.
Dari sisi mikroekonomi, lanjut Jaka, penurunan biaya energi otomatis menurunkan biaya per meter kubik air yang dipompa. Efek berantainya, biaya awal proses penggaraman ikut turun dan margin keuntungan petani meningkat.
“Harga jual garam itu price taker. Petani kecil enggak bisa seenaknya menaikkan harga, jadi satu-satunya ruang napas mereka ya di efisiensi biaya,” jelas Ketua Program Studi Ekonomi itu.
Jaka menyebut langkah petani ini sebagai bentuk “appropriate technology”, yakni inovasi lapangan yang lahir tanpa intervensi birokrasi. “Ini bukan solusi top-down dari kementerian, tapi rekayasa lapangan. Artinya, mereka menemukan cara hemat sendiri sebelum negara sempat mendesain skema buat mereka,” tegasnya.

Namun di sisi lain, fenomena ini juga menandakan belum adanya jalur energi produktif yang formal dan terjangkau bagi sektor garam rakyat. “Secara kebijakan energi, ini sinyal bahwa subsidi rumah tangga bocor ke sektor produktif informal karena memang belum ada kanal resmi,” ujarnya.
Menurut Jaka Aminata, jika tren penggunaan LPG 3 kilogram oleh petani garam meluas, pemerintah sebaiknya tidak serta merta menudingnya sebagai penyalahgunaan subsidi. Ia menyarankan agar kebijakan energi diperluas untuk mengakui penggunaan produktif oleh sektor mikro strategis seperti petani garam.
“Pemerintah bisa mengklasifikasikan petambak garam rakyat sebagai ‘usaha mikro pangan strategis maritim’, lalu memasukkan mereka ke daftar penerima energi bersubsidi produktif,” usulnya.
Dengan demikian, lanjut Jaka, pemerintah dapat membuat sistem kuota tabung LPG 3 kilogram per petani garam terdaftar. “Dua keuntungannya: pertama, biaya produksi garam rakyat turun secara terukur. Kedua, subsidi jadi transparan di APBN, bukan kebocoran tak resmi,” katanya.
Ia menegaskan, jika garam sudah dianggap komoditas strategis nasional dalam agenda ketahanan pangan dan industri, maka energi untuk memproduksinya juga patut diakui sebagai energi strategis. “Artinya kalau garam diposisikan strategis, konsistennya adalah energi produksinya juga strategis,” tandasnya.
Swasembada Garam 2027
Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) mencatat, pada tahun 2024, produksi garam nasional berhasil menembus 2,04 juta ton, melebihi target 2 juta ton. Untuk 2025, produksi domestik diperkirakan mencapai 2,25 juta ton, ditambah stok 836 ribu ton, sehingga total pasokan lokal mencapai sekitar 63% dari kebutuhan nasional sebesar 4,9 juta ton.
Kinerja petani di Babalan berkontribusi cukup signifikan terhadap pencapaian ini, meski produksi tetap dipengaruhi kondisi cuaca, seperti kemarau basah yang menurunkan kualitas garam. Dukungan pemerintah terhadap garam rakyat tak hanya dari sisi produksi, tetapi juga strategi nasional.
Menuju swasembada garam 2027, pemerintah menyiapkan beberapa langkah di antaranya: Intensifikasi Produksi – penerapan teknologi modern dan mekanisasi di tambak garam yang ada; Ekstensifikasi Tambak – pengembangan lahan baru, khususnya di Pulau Rote, Nusa Tenggara Timur, dengan target 13.000 hektare; Pemanfaatan Teknologi Modern – seperti geomembran dan sistem pemurnian air tua untuk meningkatkan kuantitas dan kualitas garam; serta Pengembangan Kawasan Sentra Industri Garam Nasional (KSIGN) – fokus pada kawasan industri garam di Pulau Rote untuk kebutuhan industri dalam negeri.
Kebutuhan garam nasional mencapai 4,8 juta ton pada 2024 dan diperkirakan meningkat menjadi 4,9 juta ton pada 2025, dengan konsumsi industri seperti Chlor Alkali Plant mencapai ±1,7 juta ton per tahun. Pemerintah menargetkan menghentikan impor garam konsumsi pada 2025, meski impor industri tertentu tetap diperlukan.
Jaka menilai subsidi energi bisa menjadi kunci menuju swasembada garam 2027. Meski demikian, ia memberi catatan subsidi energi harus dipaketkan bersama kebijakan lain seperti perbaikan infrastruktur dan peningkatan kualitas produksi.
“Subsidi energi bisa jadi instrumen penting untuk menurunkan biaya produksi, tapi kalau berdiri sendiri, dampaknya terbatas,” jelasnya.

Ia menguraikan, proses produksi garam rakyat cukup sederhana tetapi intensif energi, terutama pada tahap pemompaan air asin dan pengeringan. Karena itu, menurunkan biaya energi berarti langsung menurunkan harga pokok penjualan (HPP).
“HPP yang lebih rendah membuat garam rakyat lebih bisa bersaing dengan garam impor,” tuturnya.
Namun, tambahnya, tantangan utama swasembada garam bukan semata biaya, melainkan juga kualitas (kemurnian NaCl), konsistensi produksi, dan kepastian lahan tambak. “Tanpa perbaikan teknologi rekristalisasi dan konsolidasi lahan tambak yang clean and clear, subsidi energi hanya menyelamatkan margin petani, belum menghapus impor,” tegasnya.
Karena itu, Jaka menilai subsidi energi seperti LPG 3 kilogram sebaiknya dilihat sebagai instrumen jangka pendek untuk menstabilkan ekonomi pesisir dan menjaga daya hidup petani garam. Sementara strategi jangka panjang tetap harus berfokus pada modernisasi teknologi dan pembiayaan sektor pergaraman.
Lebih jauh, Jaka juga menyoroti aspek lingkungan dan efisiensi emisi dari peralihan bahan bakar ini. Ia mengakui pembakaran LPG menghasilkan emisi partikel dan sulfur lebih rendah dibanding solar atau bensin, namun tetap mengingatkan bahwa arah kebijakan energi nasional tidak bisa berhenti di substitusi bahan bakar saja.
“Kalau tujuan pemerintah mengurangi emisi, subsidinya harus optimal, bukan sekadar mengganti bensin dengan LPG,” ujarnya.
Ia menegaskan, kebijakan energi dan subsidi hanya akan efektif jika disertai transparansi proses produksi dan mekanisme distribusi yang adil. “Proses produksinya harus jelas supaya kebijakan pemerintah juga jelas. Apakah perlu disubsidi atau tidak, itu bisa diukur dengan benar,” tegasnya.
Berdasarkan data resmi dari Kementerian ESDM, nilai faktor emisi karbon dioksida (CO₂) untuk bahan bakar LPG adalah sekitar 65,41 ton CO₂ per terajoule (TJ) energi yang dihasilkan, dengan nilai kalor netto (NCV) sebesar 46,12 TJ per gigagram (Gg). Sementara untuk bensin, nilai faktor emisi CO₂ adalah sekitar 73,28 ton CO₂ per TJ, dengan nilai kalor netto 43,27 TJ per Gg.
Dari data ini, dapat disimpulkan bahwa LPG menghasilkan emisi CO₂ yang lebih rendah dibandingkan bensin. Namun, perlu dicatat bahwa faktor emisi CO₂ ini hanya mencakup emisi langsung dari pembakaran bahan bakar dan tidak mempertimbangkan emisi dari proses produksi dan distribusi bahan bakar tersebut.
LPG dianggap sebagai alternatif bahan bakar yang lebih ramah lingkungan dibandingkan bensin, terutama dalam hal emisi CO₂ dan CO. Namun, perlu dilakukan pengelolaan dan pengawasan yang baik untuk meminimalkan potensi peningkatan emisi hidrokarbon (HC).
Jaka mengingatkan bahwa arah pembangunan Indonesia menuju 2045 adalah ekonomi hijau (green economy). Karena itu, ia menilai penting bagi kebijakan energi mikro seperti LPG untuk petani garam dikaitkan dengan prinsip keberlanjutan lingkungan dan tanggung jawab sosial.
“Kalau garam diproduksi dengan emisi tinggi, itu bisa ditolak di pasar internasional. Tapi kalau ramah lingkungan dan efisien, justru menaikkan daya saing,” katanya.
Ia juga menekankan bahwa dukungan terhadap garam lokal adalah bentuk nasionalisme ekonomi yang nyata. “Pemerintah harus jadi driver yang mendorong rakyat membeli garam dari negeri sendiri. Politik pangan dan energi ini bukan cuma soal angka produksi, tapi soal harga diri bangsa,” pungkasnya.
Editor : Enih Nurhaeni