get app
inews
Aa Text
Read Next : Membaca Arah Energi Hijau dari Eksperimen Jadi Kebiasaan Baru

Stunting 19,8 Persen Jadi Sorotan Prabowo, IAKMI Desak Pemerataan Tenaga Kesmas

Sabtu, 01 November 2025 | 12:17 WIB
header img
Stunting 19,8 Persen Jadi Sorotan Prabowo, IAKMI Desak Pemerataan Tenaga Kesmas. Foto: Taufik Budi

SEMARANG, iNewsJoglosemar.id – Persoalan stunting dan tuberkulosis (TB) masih menjadi tantangan serius dalam pembangunan kesehatan nasional. Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) Pratikno menegaskan bahwa Indonesia belum keluar dari status darurat gizi dan penyakit menular.

Ia menyebut prevalensi stunting masih 19,8 persen, sementara Indonesia juga menjadi kontributor kedua kasus TB terbesar di dunia setelah India.

“Ini permasalahan sangat mendasarkan bagi kita. Pertama adalah stunting, prevalensi stunting kita masih 19,8. Hampir 1 anak dari 5 anak lahir di Indonesia adalah stunting. Ini masalah kita bersama,” ujar Pratikno, di sela Workshop Pra-FIT IAKMI yang digelar di Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) Universitas Diponegoro (UNDIP), Jumat (31/10/2025).

Selain stunting, Pratikno juga menyoroti penanganan tuberkulosis (TB) yang hingga kini belum menunjukkan penurunan signifikan.

“Yang kedua juga TB ya. TB ini, kita kontributor kedua terbesar di dunia, setelah India. Dan ini juga membutuhkan penanganan yang sangat cepat,” katanya.

Menurutnya, Presiden telah memberikan arahan kepada jajaran kabinet untuk mempercepat penurunan prevalensi dua masalah besar itu, karena keduanya berpengaruh langsung terhadap kualitas generasi mendatang.

Selain dua penyakit utama tersebut, Pratikno mengingatkan masih adanya ancaman penyakit zoonosis, yakni penyakit menular dari hewan ke manusia seperti rabies, flu burung, malaria, dan demam berdarah.

“Kita ini juga masih menghadapi penyakit-penyakit zoonosis yang dari akibat hewan, terutama di Indonesia adalah rabies. Di NTT, kasusnya tinggi,” ungkapnya.

Karena itu, ia menilai pendekatan One Health — yang mengintegrasikan kesehatan manusia, hewan, dan lingkungan — harus diperkuat agar sistem kesehatan lebih tangguh menghadapi wabah baru.

“Oleh karena itu, pentingnya kesehatan manusia itu juga ditangani dengan menangani kesehatan hewan dan juga kesehatan alam yang disebut dengan One Health,” jelasnya.

Menurut Pratikno, tenaga kesehatan masyarakat memiliki peran strategis dalam pendekatan ini karena bersentuhan langsung dengan masyarakat dan memiliki pemahaman sosial, bukan hanya klinis.

“Pendekatan abdi kesehatan masyarakat itu tidak hanya teknis medis, tetapi juga sosial, gaya hidup, dan kesehatan hewan serta lingkungan,” ujarnya.

Sinergi Kebijakan Kesehatan Jadi Tantangan

Pratikno menilai, masih banyak kebijakan di lapangan yang berjalan sendiri-sendiri tanpa koordinasi lintas sektor. Hal itu membuat intervensi pemerintah sering tidak efektif.

“Kami di Kemenko-an, semua Kemenko-an itu punya tugas SKP namanya sinkronisasi, koordinasi dan pengendalian,” tuturnya.

Ia menekankan tiga hal penting agar kebijakan kesehatan masyarakat lebih presisi, yakni menghapus ego sektoral, mengintegrasikan data antarinstansi, dan menggunakan teknologi dalam pengambilan keputusan.

“Dengan koordinasi yang makin intensif dibantu oleh data, oleh teknologi, kita bisa lebih presisi. Kebijakannya lebih presisi, intervensinya lebih presisi,” kata Pratikno.

Pratikno menegaskan bahwa masa depan Indonesia bergantung pada generasi sehat yang dibangun sejak hari ini. “Kalau kita tidak bisa memecahkan masalah-masalah ini, ini akan menjadi tantangan serius bagi membangun generasi emas, untuk Indonesia Emas 2045,” ujarnya.

Sementara itu, Ketua Umum Pengurus Pusat Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI), Dedi Supratman, SKM., MKM, mendesak pemerintah segera mengesahkan standar profesi dan kompetensi tenaga kesehatan masyarakat yang hingga kini masih tertunda.

“Standar kompetensi sudah dibuat, standar profesi sudah dibuat, tapi belum ditandatangani oleh Pak Menteri. Jadi mohon Pak Menteri untuk bisa tandatangan. Kalau ada yang salah, mohon koreksi, kami ikut,” ucap Dedi.

Menurutnya, penetapan standar profesi sangat mendesak agar kampus-kampus dapat membuka program studi profesi Kesehatan Masyarakat (Kesmas) secara resmi dan seragam di seluruh Indonesia.

“Yang penting segera ditandatangani. Sehingga pembukaan prodi-prodi di fakultas kesehatan Indonesia ini bisa segera dilaksanakan untuk pendidikan profesinya,” tegasnya.

Dedi juga menyoroti ketimpangan distribusi tenaga Kesmas yang masih terkonsentrasi di wilayah perkotaan dan Pulau Jawa. Padahal, banyak daerah terpencil dan perbatasan yang masih kekurangan tenaga kesehatan masyarakat.

“Kesmas ini sebenarnya terdistribusi di provinsi-provinsi di daerah terpencil dan perbatasan. Kami siap prinsipnya untuk mengisi kekosongan tenaga-tenaga itu, asal memang ada perintah,” ujarnya.

Menurut Dedi, penguatan tenaga Kesmas harus dilakukan secara menyeluruh, tidak hanya di puskesmas tingkat kecamatan, tetapi juga hingga puskesmas pembantu (pustu) di tingkat desa.

“Agar ini hidup, BPJS harus berbenah. BPJS itu jangan hanya dana untuk kapitalisasi di kecamatan untuk puskesmas. Ini harus diturunkan sampai ke desa-desa untuk promosi preventif. Nah, itu yang penting,” jelasnya.

Ia juga mengapresiasi langkah pemerintah yang kini mulai memperluas penugasan lintas profesi, tidak hanya bagi tenaga gizi, tetapi juga tenaga kesehatan masyarakat.

“Tidak hanya tenaga Gizi, tapi juga tenaga kesehatan masyarakat akan ditugaskan untuk melengkapi kekosongan-kekosongan tersebut,” tambahnya.

 

 

Editor : Enih Nurhaeni

Follow Whatsapp Channel iNews untuk update berita terbaru setiap hari! Follow
Lihat Berita Lainnya
iNews.id
iNews Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik lebih lanjut