KENDAL, iNewsJoglosemar.id – Keripik tempe khas Kendal ini bukan hanya legendaris tapi juga memiliki cita rasa unik. Industri rumahan keripik tempe yang digawangi emak-emak masih mempertahankan resep sehingga kualitas rasa tetap terjaga.
Lebih dari 20 tahun, usaha pembuatan keripik tempe dilakukan secara turun temurun di Karangsari Kendal. Kali ini, Mu’awanah (47) yang memegang kendali dengan bantuan suami dan anak-anaknya sebagai tenaga produksi sekaligus pemasaran.
Meski demikian, keripik tempe buatannya menjadi ikonik produk UMKM Kelurahan Karangsari Kendal. Terlebih, produk itu kini juga telah memasuki dunia digital dengan pangsa pasar pengguna media sosial Tiktok.
Akhir Juli lalu, salah satu mahasiswi KKN Tematik Undip yaitu Tyara Marshanda mendatangi tempat usaha Mu’awanah. Setelah menjajal rasa keripik tempe, gadis itu mengedukasi pemilik usaha untuk memperluas pasar menggunakan kemajuan teknologi informasi.
“Dengan bantuan Himma anak bungsu Bu Mu’awanah yang suka Tiktokan juga, akun keripik tempe Bu Mu’awanah @kriukzzz pun dibuat,” kata Tyara.
Ratusan bungkus keripik tempe berhasil diproduksi oleh keluarga tersebut untuk dipasarkan. Dibanderol harga Rp5.000 – Rp15.000 per bungkus, keripik tempe yang renyah dan minim minyak banyak didistribusikan ke pasar tradisional, rumah makan, dan pusat oleh-oleh di Kendal.
“Saya juga ajarkan creative content marketing kepadanya, supaya minimal produk keripik tempenya mulai dikenal luas tidak hanya di Karangsari Kendal saja,” imbuh Tyara.
Mu’awanah menyambut gembira bisnis yang digelutinya itu kini bisa mudah ditemukan di media sosial. Apalagi dia telah mengambil langkah berani untuk meneruskan usaha keluarga agar semakin berkembang.
“Waktu pandemi memang sempat ibu merasa ada kesulitan, sepi sekali. Namun, alhamdulillah berhasil melewatinya dan tetap memiliki konsumen yang setia sejak 20 tahun yang lalu,” terang dia.
Dia mengaku tetap menggunakan resep yang sama tanpa diubah untuk mempertahankan cita rasa. Uniknya lagi, proses pembuatan keripik tempe dilakukan secara tradisional, tidak pakai pengawet, dan minim minyak goreng namun tetap terasa renyahnya.
“Cukup dengan membuat produk dengan sepenuh hati, jujur, dan tanpa pengawet,” ucapnya.
Editor : M Taufik Budi Nurcahyanto
Artikel Terkait