Tantangan terberat baginya justru terjadi saat pandemi Covid-19. “Semua orang pakai masker, saya jadi nggak bisa membaca gerak bibir. Waktu itu susah banget, jadi semua komunikasi pakai tulisan,” kenangnya.
Madina sendiri menyandang disabilitas sejak kecil dan tumbuh di sekolah umum, bukan SLB (Sekolah Luar Biasa). Ia mengaku pernah minder, terutama soal komunikasi. Tapi seiring waktu, ia berhasil mengatasi rasa itu dan membuktikan dirinya mampu berdiri sejajar dengan desainer lainnya.
“Saya enggak bisa dengar dengan jelas, tapi pakai alat bantu bisa sedikit-sedikit (mendengar). Sekarang saya lebih percaya diri. Saya ingin buktikan bahwa disabilitas bukan hambatan,” ujar Madina.
Perjalanan Madina makin berkembang sejak bergabung dalam program Rumah BUMN BRI tahun 2024. Ia tak hanya mendapat dukungan modal, tetapi juga pendampingan dan akses ke berbagai kegiatan ekspo nasional.
“Sebelum ada BRI, saya cuma promosi di Instagram. Setelah ikut program Rumah BUMN, saya bisa ikut pameran bareng Bhayangkari dan dapat klien dari Polda Jateng sampai Mabes Polri. Mereka pesan yang custom,” ungkapnya.
Selain itu, Madina juga difasilitasi alat pembayaran digital seperti QRIS dan EDC. “Kalau pakai QRIS, uang lebih cepat masuk ke rekening. Lebih praktis dan aman daripada tunai,” ujarnya.
Kini, brand Madina Salma bahkan telah menembus pasar internasional. Lewat komunitas UMKM binaan UNESCO, ia memperoleh klien dari luar negeri seperti Prancis, Singapura, dan Jepang.
Dengan omzet bulanan yang menembus angka Rp20 juta, Madina terus mengembangkan lini produknya. Harga busana buatannya pun bervariasi, dari Rp250 ribu untuk ready to wear, hingga Rp7 juta untuk gaun pengantin pasangan.
“Kita banyak produksi gaun pengantin juga, tapi yang sering dipamerkan itu yang ready to wear. Lebih praktis dan cocok untuk ekspo,” jelasnya.
Salah satu karya paling membekas bagi Madina adalah koleksi Setitik Culture Wear. Dalam proyek itu, ia berkolaborasi dengan pelukis asal Bali, Idayu. Batik dalam koleksi tersebut dilukis tangan dan mengambil inspirasi dari arsitektur kolonial di kawasan Kota Lama Semarang.
Kolaborasi lintas disiplin itu bukan hanya memperkuat karakter produknya, tetapi juga memperluas jejaring dan eksposur brand. “Saya suka kerja sama dengan seniman lain, apalagi kalau bisa eksplor budaya lokal,” tambahnya.
Editor : Enih Nurhaeni
Artikel Terkait