DEMAK, iNewsJoglosemar.id – Udara pagi masih terasa lembap, ketika suara tawa anak-anak kecil terdengar bersahut-sahutan di sebuah rumah bertuliskan Posyandu Flamboyan, RT 3/5 Desa Cabean, Kecamatan Demak, Kabupaten Demak. Suasana makin riuh oleh tangisan balita saat ditimbang, dan sapaan hangat para kader yang hilir mudik membawa alat ukur.
Di beranda rumah bercat hijau merah muda itu, meja kayu sederhana disulap menjadi meja registrasi. Timbangan bayi, alat ukur tinggi badan digital, dan beberapa buku catatan tersusun rapi di atasnya.
“Biasanya kami ganti-gantian tempat, di balai desa dan rumah tiap Ketua Posyandu. Yang penting cukup untuk menampung ibu-ibu dan anak-anak,” tutur Ketua Posyandu Pos 5 Flamboyan, Musriah, sambil menatap layar ponselnya yang kini menggantikan tumpukan buku catatan manual, Rabu (8/10/2025).
Di pojok teras rumah, seorang kader Posyandu perempuan paruh baya juga terlihat sibuk mengetik di layar ponselnya. Jemarinya lincah, matanya fokus. Ia bukan sedang bermain gim, melainkan mencatat data tumbuh kembang balita ke dalam sistem digital baru yang kini sedang diperkenalkan di desanya: SiCandu — Sistem Informasi Cabean Posyandu.
Perempuan itu bernama Lasipah, kader Posyandu Pos 5 Flamboyan. Sekira enam tahun ini ia mendampingi para ibu di lingkungannya menimbang anak, memantau kesehatan, dan mencatat hasil pengukuran di buku tebal yang mulai lusuh di tepiannya. Namun sejak beberapa bulan terakhir, semua berubah.
“Sekarang lebih mudah pakai program itu. Di Posyandu ini melayani 49 balita, untuk pos yang lain beda-beda jumlahnya,” katanya mantap. “Langsung bisa tahu data terbaru. Tidak perlu buka catatan lama.”
Ia teringat masa ketika setiap Posyandu selesai, tumpukan kertas laporan harus dikumpulkan ke bidan, lalu direkap ulang di puskesmas. Proses itu bisa memakan waktu berminggu-minggu.
“Kalau dulu ada kesalahan, kami bingung cari datanya di mana,” tuturnya. “Sekarang, cukup buka SiCandu, semua sudah tersimpan.”
Pelatihan penggunaan SiCandu yang digelar oleh tim dosen dari Universitas Semarang (USM) menjadi pengalaman pertama bagi Lasipah mengenal dunia digital secara nyata. Ia merasa bangga karena bisa belajar teknologi dan langsung menggunakannya untuk masyarakat.
“Dulu saya enggak kebayang bisa kerja pakai HP untuk data Posyandu,” ujarnya sambil tersenyum. “Sekarang saya bisa lihat hasil timbangan balita langsung muncul di layar. Rasanya seperti kerja di kantor besar.”
Ide besar ini datang dari Sulistyorini, S.E., M.M, dosen Fakultas Ekonomi Universitas Semarang (USM). Ia bukan sekadar akademisi yang meneliti dari balik meja kampus, melainkan bagian dari masyarakat Cabean sendiri—tinggal di antara warga, hadir di setiap kegiatan Posyandu, dan tahu betul bagaimana tantangan nyata di lapangan.
“Setiap bulan kami mengisi data yang sama, menulis angka berulang, lalu menyalinnya lagi untuk laporan puskesmas,” kenangnya. “Padahal kalau satu data saja tertinggal, bisa repot mencari ulang di buku lain. Kadang hilang, kadang rusak kena hujan.”
Rini, panggilan akrabnya, juga merupakan kader Posyandu di pos 5. Dari pengalamannya sehari-hari, ia melihat keterbatasan alat dan sistem manual menjadi hambatan besar dalam pelayanan kesehatan masyarakat desa.
“Rumah saya dekat Posyandu,” ujarnya sambil tersenyum. “Jadi ketika melihat ibu-ibu kader masih mencatat manual, saya berpikir: kenapa tidak dibuat sistem digital saja?”
Ia bercerita, di enam Posyandu aktif di Desa Cabean, seluruh kegiatan pencatatan masih dilakukan manual: menulis nama balita, mengukur tinggi badan, hingga menghitung status gizi dengan membandingkan grafik di buku KIA (Kesehatan Ibu dan Anak). Tidak jarang, proses ini memakan waktu lama dan berisiko salah tulis.
“Beberapa alat yang digunakan ada yang masih belum modern,” katanya. “Jika kunjungan ke rumah warga, enggak mungkin bawa alat tinggi badan yang besar itu. Maka saya pikir, bagaimana kalau alatnya dibuat digital dan mudah dibawa? Dengan menggunakan alat tinggi badan digital”
Gagasan itu tumbuh saat ia mengikuti program pengabdian masyarakat dari Direktorat Pengabdian kepada Masyarakat (DPPM) Kemendiktisaintek. Bersama tim dosen dari USM dan Universitas IKIP Veteran Semarang, ia merancang proyek bertajuk Implementasi SiCandu: Peningkatan Kualitas Program Integrasi Layanan Primer di Desa Cabean Berbasis Web.
Pendanaannya berasal dari hibah nasional Direktorat Pengabdian kepada Masyarakat (DPPM) Kemendiktisaintek tahun 2025. Sejak Juli memulai observasi lapangan kemudian Agustus, Sulistyorini melakukan sosialisasi kepada kader serta warga desa.
Teknologi untuk Desa
Berbeda dari kebanyakan aplikasi kesehatan berbasis Android, SiCandu dikembangkan berbasis website, agar mudah diakses bahkan dari ponsel sederhana. “Kita belum punya versi aplikasi di Android atau iOS,” kata Sulistyorini. “Tapi justru dengan web, warga bisa lebih mudah membuka lewat link dan melihat jadwal kegiatan Posyandu.”
Sistem ini sederhana tapi fungsional. Kader cukup memasukkan nama, NIK, berat badan, tinggi badan, dan lingkar kepala anak. Dalam hitungan detik, sistem akan menampilkan grafik pertumbuhan digital yang dibandingkan dengan standar WHO.
“Kalau anaknya di bawah garis merah, berarti dia suspek stunting. Jadi kader langsung tahu,” terangnya.
Sampai September, sudah ada 332 data balita telah dimasukkan ke sistem dari jumlah 508 anak yang masih tercatat secara manual. Mereka tersebar di enam pos aktif RW 1 sampai RW 6. Meski masih tahap awal, SiCandu sudah memberi dampak nyata.
Sebelum digitalisasi, data gizi harus dimasukkan satu per satu ke aplikasi gizi—angka tinggi atau berat anak bisa tertukar, yang menyulitkan pembuatan laporan, atau bahkan catatan hilang. Kini, semuanya terekam otomatis dan bisa diunduh dalam format Microsoft Excel untuk laporan bidan.
“Kita dulu susah kalau diminta data mendadak,” ujarnya. “Sekarang tinggal klik, semua data sudah muncul. Nama, NIK, berat badan, tinggi badan. Semuanya bisa ditarik langsung dari sistem.”
Berdasarkan data awal, jumlah anak yang terindikasi stunting di Desa Cabean menurun dari delapan menjadi enam anak.
“SiCandu bukan alat penurun stunting, tapi alat pelapor dan detektor dini. Yang bisa menurunkan stunting itu pola asuh, gizi, dan pendampingan bidan. Tapi lewat SiCandu, kita tahu lebih cepat siapa yang perlu didampingi.”
Sistem ini juga menampilkan warna indikator—merah untuk di bawah garis pertumbuhan, hijau untuk normal. Bagi kader yang belum terbiasa membaca grafik, tampilan ini sangat membantu.
“Kader dengan usia yang bervariasi,” ujarnya pelan. “Jadi sistemnya dibuat semudah mungkin. Tinggal input, hasilnya langsung keluar.”
Membangun dari Gotong Royong
Implementasi sistem digital di tingkat desa tentu bukan perkara mudah. Masalah klasik seperti jaringan internet lambat, server yang sering “ngelag”, hingga perangkat terbatas masih jadi tantangan.
“Server-nya masih seadanya,” aku Sulistyorini sambil tertawa kecil. “Kadang pas mau upload data, macet. Tapi ya itu bagian dari proses belajar.”
Untuk mengatasinya, ia menunjuk enam kader admin kunci yang bertanggung jawab di masing-masing pos. Mereka dibekali pelatihan singkat dan difasilitasi untuk mengakses sistem melalui ponsel pribadi. Total ada 42 kader dan dua bidan desa yang kini mulai memahami menggunakan SiCandu.
“Kami tahu tidak semua kader punya HP canggih. Tapi semangat mereka luar biasa,” ujarnya bangga. “Mereka belajar bersama, saling bantu. Ada yang usia tidak muda lagi, tapi tetap mau belajar pakai web.”
Sulistyorini sadar, keberhasilan digitalisasi Posyandu tidak bisa berdiri sendiri. Ia berharap sistem ini kelak bisa terintegrasi dengan sistem nasional, seperti e-PPGBM dan SATUSEHAT milik Kementerian Kesehatan.
“Kalau bisa terhubung, data dari desa langsung masuk ke sistem pusat tanpa perlu rekap ulang,” jelasnya. “Tapi butuh dukungan pemerintah dan kesiapan infrastruktur. Sekarang kita masih di level desa dulu.”
Meski begitu, ia sudah melihat potensi besar ke depan. Dengan memperluas cakupan ke desa dan kelurahan lain di Kecamatan Demak Kota seperti Tempuran hingga Mangunjiwan. SiCandu bisa menjadi model pengelolaan data kesehatan digital di seluruh Kabupaten Demak.
“Harapannya bukan cuma untuk balita, tapi semua siklus hidup—dari ibu hamil, menyusui, remaja, sampai lansia,” ujarnya. “Itu namanya ILP, Integrasi Layanan Primer. Jadi Posyandu bukan cuma tempat timbang anak, tapi pintu masuk layanan kesehatan seluruh keluarga.”
Transformasi ini tak lepas dari peran Emy Marliyana, Ketua Tim Penggerak PKK Desa Cabean. Ia menjadi motor penggerak yang memastikan para kader, bidan, dan perangkat desa siap menghadapi perubahan.
“Di Desa Cabean ada enam Posyandu aktif. Setiap pos diberi nama bunga, di antaranya Pos 1 Kenanga, Pos 2 Cempaka, Pos 3 Bougenvile, Pos 4 Mawar, Pos 5 Flamboyan, dan Pos 6 Anggrek. Masing-masing pos dibantu dua kader PKK, jadi total ada dua belas kader yang ikut turun langsung setiap kegiatan.”
Menurut Emy, perubahan paling terasa sejak SiCandu digunakan adalah efisiensi dan ketepatan data. Program itu juga mampu menampilkan data anak yang berisiko stunting secara otomatis, sehingga penanganan bisa dilakukan lebih cepat.
“Sebelumnya, angka stunting kami masih delapan anak. Kini, jumlahnya turun menjadi enam,” tuturnya.
Perempuan yang memiliki balita 4 tahun itu menekankan bahwa penurunan ini bukan semata karena teknologi, melainkan hasil kerja bersama — kader, bidan, PKK, dan masyarakat — yang kini punya data lebih akurat untuk bertindak.
Kehadiran warga di Posyandu pun meningkat signifikan. Warga yang sebagian besar bekerja di sektor pertanian dan peternakan kini lebih aktif mengikuti kegiatan Posyandu karena bisa memantau jadwal dengan mudah.
“Dulu kehadiran masih belum optimal sasarannya, karena banyak yang lupa jadwal. Terakhir kemarin 1 Oktober di Pos 6 Anggrek, 8 Oktober Pos 5. Terdekat 15 Oktober di Pos 3 Balai Desa, 16 Oktober Pos 2 Cempaka, 17 Oktober di Pos 4, dan 22 Oktober di Pos 1 Kenanga,” ujarnya.
“Sekarang, dengan pemberitahuan digital di SiCandu, kehadiran bisa lebih meningkat di setiap siklus.”
PKK, lanjutnya, juga ikut membantu memindahkan data dari buku ke sistem digital. Setiap pos memiliki admin kunci dari kader Posyandu, dan PKK siap membantu jika ada kendala. “Gotong royongnya terasa sekali. Para kader saling bantu,” ujarnya.
Menurut Emy, dukungan pemerintah desa juga menjadi kunci keberlanjutan program. “Pemerintah desa memberikan honor setiap bulan dan dana operasional untuk tiap pos,” katanya. “Jadi kader tidak hanya semangat, tapi juga merasa dihargai.”
Digitalisasi untuk Deteksi Dini
Perubahan sistem pencatatan ini memberi dampak besar bagi para tenaga kesehatan di lapangan. Fiden Yuki Yulinawati, bidan desa Cabean, mengaku kini lebih mudah memantau perkembangan balita karena data bisa diakses kapan pun dibutuhkan.
“Jumlah balita yang tercatat di SiCandu ada 332 anak dan tingkat imunisasi mencapai 95%. Namun belum semuanya masuk ke sistem, dan bisa dipantau dengan cepat.”
Menurutnya, sebelum digitalisasi, laporan bulanan bisa memakan waktu hingga sebulan karena harus menunggu semua Posyandu selesai. Kini, setelah data dimasukkan ke sistem, laporan bisa langsung ditarik tanpa perlu rekap ulang.
“Kalau berat badan dan tinggi badan anak sudah diinput, hasil status gizinya langsung muncul,” jelasnya. “Sistem ini otomatis memberi tanda jika ada anak yang stunting.”
Yuki menilai waktu kerja kader kini jauh lebih efisien. “Dulu mereka bisa seharian hanya untuk merekap catatan satu pos,” katanya. “Sekarang semua bisa dilakukan dalam waktu singkat.”
Bahkan, menurutnya, warga kini merasa lebih percaya terhadap layanan Posyandu karena informasi lebih cepat dan transparan. “Ibu-ibu bisa tahu kapan jadwal Posyandu, apa hasil pengukuran anaknya, semua lewat sistem. Ini bentuk pelayanan publik yang lebih baik.”
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, jumlah penduduk di Kabupaten Demak mencapai 1,25 juta jiwa pada tahun 2024. Dari jumlah tersebut, Demak termasuk daerah berpenduduk padat di pesisir utara Jawa Tengah.
Dari total populasi itu, sekira 23,46% atau lebih dari 290 ribu jiwa merupakan anak-anak berusia 0–14 tahun. Jumlah anak yang besar ini menjadi potensi sekaligus tantangan, terutama dalam memastikan tumbuh kembang mereka terpenuhi dengan baik.
Data Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) 2024 menunjukkan bahwa angka stunting di Demak masih berada di kisaran 10%. Rinciannya adalah 1,1% balita tergolong severely stunting dan 8,9% stunting biasa, serta 90% anak dalam kondisi gizi normal.
Dari data itu, Demak memang lebih baik dibandingkan beberapa kabupaten lain: Kendal (15,2%), Grobogan (20,8%), atau Temanggung (22%), namun sedikit tertinggal dibanding Kota Semarang (10,6%) dan Kota Salatiga (10,2%). Meski tren menurun dibandingkan tahun sebelumnya, namun tetap menjadi sinyal bahwa upaya pencegahan belum boleh berhenti.
Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Demak dr. Ali Maimun, M.Kes menyebut, angka itu bukan sekadar statistik. Ia melihatnya sebagai cermin nyata tantangan yang masih dihadapi masyarakat di tingkat akar rumput — mulai dari kesadaran gizi, perilaku hidup sehat, hingga kualitas pendampingan ibu hamil dan balita.
“Deteksi dini risiko stunting di Demak kami lakukan dengan memanfaatkan data dari E-PPGBM dan SIGIZI. Sistem ini membantu kami memantau bayi lahir dengan tinggi badan tidak normal, atau yang kami kategorikan sebagai suspek stunting,” ujarnya.
Ali Maimun menjelaskan, seluruh Posyandu di Demak kini diarahkan untuk melakukan input data secara rutin ke dalam sistem pelaporan digital. Melalui E-PPGBM, ASIK, dan SIGIZI, data dari tingkat Posyandu hingga puskesmas dapat ditarik secara real time oleh dinas kesehatan.
Sistem ini menjadi tulang punggung dalam mendeteksi risiko stunting lebih cepat. Bayi yang lahir dengan panjang tubuh di bawah batas normal akan segera mendapatkan pendampingan, bukan hanya dari tenaga medis, tetapi juga dari Tim Percepatan Penurunan Stunting (TPPS) di tingkat kabupaten.
“Kami mengawal setiap bayi dengan tinggi badan di bawah rata-rata sejak lahir. Ini penting agar tidak terlambat melakukan intervensi,” tegasnya.
Namun, Ali Maimun tak menutup mata bahwa digitalisasi pun menghadapi kendala tersendiri. Keterbatasan perangkat, jaringan internet di wilayah pelosok, dan kemampuan kader dalam menggunakan aplikasi masih menjadi catatan. Oleh sebab itu, pihaknya menyiapkan strategi pendampingan jangka panjang.
“Strategi kami dalam peningkatan SDM di lapangan dilakukan melalui pendampingan berkelanjutan bagi kader. Kami latih mereka untuk bisa mengoperasikan aplikasi ASIK dan SIGIZI dengan dukungan anggaran dari desa, puskesmas, dan dinas,” tuturnya.
Ia menekankan, penurunan stunting tidak bisa hanya mengandalkan intervensi kesehatan. Karena itulah, Pemerintah Kabupaten Demak membangun kolaborasi lintas sektor melalui TPPS yang dipimpin langsung oleh Wakil Bupati Demak Ali Makhsun. Pendekatan yang digunakan bukan hanya medis, tetapi juga sosial dan edukatif.
“Untuk intervensi spesifik, Dinas Kesehatan yang memegang peran utama. Sedangkan intervensi sensitif dijalankan secara kolaboratif antar-OPD di bawah koordinasi TPPS Kabupaten,” terang Ali Maimun.
Keberhasilan program kesehatan di daerah sangat ditentukan oleh keterlibatan masyarakat dan perguruan tinggi. Salah satu contoh nyata adalah kolaborasi dengan Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Kemendiktisanintek) melalui Universitas Semarang (USM) dan Unisvet yang melahirkan platform digital SiCandu di Desa Cabean, Kecamatan Demak.
Aplikasi berbasis web itu menjadi contoh bagaimana teknologi bisa menjembatani kesenjangan data di tingkat Posyandu. Kader desa kini dapat memasukkan tinggi, berat, dan usia balita secara langsung, yang kemudian dikonversi menjadi grafik pertumbuhan berbasis standar WHO.
Bukan Sekadar Angka
Pakar teknologi informasi dari Universitas Semarang, Dr. Ari Endang Jayati, menilai SiCandu merupakan langkah awal yang tepat dalam membangun digitalisasi kesehatan berbasis masyarakat. Namun, menurutnya, peningkatan kapasitas server dan optimasi database perlu segera dilakukan.
“Kalau data yang diakses semakin banyak, performa bisa melambat,” ujarnya. “Jadi perlu penambahan indeks di kolom yang sering dicari agar sistem tetap cepat.”
Ia menambahkan bahwa analisis terhadap penggunaan sumber daya server juga penting. Apalagi, SiCandu akan terus dikembangkan untuk membangun fondasi ekosistem digital kesehatan yang bisa diperluas ke berbagai desa lain.
“Kadang sistem web menggunakan terlalu banyak memori atau CPU. Harus dianalisis proses mana yang boros sumber daya supaya sistem efisien,” jelasnya.
Dari layar ponsel yang kadang panas karena jaringan lambat, Sulistyorini tahu betul makna sebenarnya dari setiap angka yang tercatat di SiCandu. Di balik setiap “112 cm” tinggi badan atau “15 kg” berat badan, ada masa depan seorang anak kecil yang harus dijaga.
Kini, di Desa Cabean, para kader tidak hanya dikenal sebagai penjaga kesehatan, tapi juga pelopor transformasi digital. Mereka belajar teknologi, memahami data, dan menggunakan informasi untuk tindakan nyata.
“Bagi kami, data bukan sekadar angka,” katanya. “Itu cerita tentang tumbuh kembang, tentang ibu-ibu yang rela datang pagi-pagi membawa anaknya. Tentang harapan supaya anak mereka tumbuh sehat.”
Ia tak menutup mata bahwa perubahan besar di desa tidak terjadi seketika. Tapi dengan teknologi yang lahir dari masyarakat sendiri, perubahan kini terasa nyata. “Kalau dulu kami sibuk menulis angka, sekarang kami bisa membaca maknanya,” ujarnya tersenyum.
Editor : Enih Nurhaeni
Artikel Terkait