JOGJA, iNewsJoglosemar.id - Siham Hamda Zaula Mumtaza terlihat seperti mahasiswa biasa di Fakultas Peternakan (Fapet) UGM. Namun kehidupannya diwarnai dengan tantangan khusus sebagai penderita autis Asperger sejak masa sekolah dasar.
Kondisi ini membuatnya sensitif terhadap suara keras, mempengaruhi cara ia berinteraksi dengan lingkungannya. Meskipun begitu, Siham tetap gigih menempuh pendidikan di UGM melalui jalur Bidikmisi setelah lulus dari SMAN 1 Jepara, Jawa Tengah.
Setiap hari, ia menempuh perjalanan dari Condongcatur ke kampus dengan sepeda, menempati bangku depan untuk lebih fokus dalam proses belajar mengajar. Kehadiran komunitas UKM Peduli Difabel di UGM menjadi pendukung utama dalam perjalanan pendidikannya, memberikan lingkungan yang kondusif.
Siham bercerita bahwa dirinya saat ini diujung menjalani perkulihan. Ia mengaku hampir selesai kuliah di UGM, dan tengah menyiapkan diri agar bisa berwirausaha dalam penggemukan kambing atau domba.
Ketua Program Studi Ilmu dan Industri Peternakan, Ir. Tri Satya Mastuti Widi, S.Pt., MP., M.Sc., Ph.D., IPM., ASEAN Eng., atau yang biasa disapa Vitri, menegaskan sebagai universitas kerakyatan UGM termasuk di dalamnya Fapet UGM selalu terbuka bagi siapa pun yang akan menempuh studi di UGM.
Vitri tidak hanya mendukung Siham, tetapi juga menyuarakan pentingnya pendekatan 'customized' terhadap mahasiswa difabel di UGM. Sosialisasi dan lingkungan kampus yang ramah terhadap keberagaman menjadi kunci dalam mendukung keberhasilan akademik dan sosial mahasiswa seperti Siham.
“Tidak hanya Siham, ada penderita Autism Asperger lain yang juga mendapatkan pendampingan khusus dari Prodi dan pembimbing. Selain itu, ada mahasiswa tuli dan tunadaksa juga yang saat ini telah lulus,” kata Vitri dilansir dari website resmi UGM.
Vitri di beberapa kesempatan juga memberikan sosialisasi kepada civitas lainnya agar memahami kondisi mahasiswa difabel dan turut memberikan dukungan tidak langsung kepada para mahasiswa. Hal itu bisa dilakukan misalnya dengan menciptakan lingkungan kampus yang ramah dan supportif, seperti menumbuhkan kesadaran dan penerimaan terkait mahasiswa berkebutuhan khusus.
“Pendekatan yang dilakukan terhadap mahasiswa-mahasiswa difabel memang bersifat ‘customized’ tergantung kebutuhan mereka. Komunikasi yang intensif dengan keluarga dan pembimbing akademik mahasiswa-mahasiswa tersebut juga diperlukan sehingga kondisi mereka baik fisik maupun mental selalu terpantau,” pungkasnya.
Editor : M Taufik Budi Nurcahyanto