Mantra Mordan: Cara Pembatik Mengurai Warna Alam, Menjaga Masa Depan

SEMARANG, iNEWSJOGLOSEMAR.ID - Siti Roslina Arias Sunanti adalah seorang pembatik yang percaya bahwa membatik bukan sekadar proses teknis, tetapi juga perjalanan spiritual. Dalam setiap proses membatiknya, ia selalu mengawali dengan Mantra Mordan yang telah menjadi bagian dari ritualnya.
Mantra itu berbunyi: "Perlakukan aku dengan khusus, setelah itu kutinggalkan jejak pesonaku." Artinya, kain yang digunakan untuk membatik harus diperlakukan dengan istimewa. Setelah melalui proses tersebut, kain akan meninggalkan jejak-jejak keindahan.
Warga Kelurahan Plalangan, Kecamatan Gunungpati, Kota Semarang, itu menyampaikan, jika kain tidak diperlakukan secara khusus, maka hasilnya tidak akan maksimal. Warna tidak akan merata, dan motif yang dihasilkan pun kurang menarik.
“Membatik membutuhkan ketenangan dan cinta. Setiap goresan canting yang ia buat di atas kain adalah bentuk komunikasi dengan alam,” tutur dia, di Rumah BUMN Semarang, Jumat (7/3/2025).
Oleh karenanya Mantra Mordan tak pernah terlewatkan ketika mengawali prosesi batik. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), mordan memiliki arti “pengikat zat warna agar tidak melarut dalam air atau kelembapan”.
"Kalau kita tenang, hasilnya akan cantik-cantik. Tapi kalau tidak diperlakukan khusus, dia tidak mau, mesti jelek hasilnya," ungkapnya.
Sejak tahun 2019, Siti Roslina mulai fokus mengembangkan batik dengan pewarna alami. Ia berusaha mencari bahan-bahan pewarna dari tumbuhan sekitar, seperti daun indigofera yang menghasilkan warna biru.
Siti menemukan bahwa tidak semua daun bisa mengeluarkan warna. Indigofera, yang biasanya hanya dianggap sebagai makanan kambing, ternyata bisa memberikan warna biru yang khas setelah melalui proses fermentasi.
"Sebelum mendapatkan tanin, daun itu harus membusuk terlebih dahulu. Awalnya airnya berwarna jingga, kemudian berubah menjadi biru," katanya.
Tanin merupakan kumpulan senyawa organik amorf yang bersifat asam dengan rasa sepat, ditemukan dalam banyak tumbuhan, digunakan sebagai bahan penyamak, bahan pembuat tinta, dan bahan pewarna.
Selain indigofera, ia juga bereksperimen dengan berbagai bahan alami lainnya, seperti kulit kayu mahoni, kulit rambutan, buah mengkudu, dan daun mangga. Kayu mahoni, misalnya, mampu menghasilkan warna merah alami yang kuat. Ia juga menemukan bahwa warna dari bahan-bahan alami sering kali tidak bisa diprediksi secara pasti.
"Kita tidak bisa meminta warna merah begitu saja. Kita hanya bisa menerima apa yang diberikan oleh alam. Keunggulan pewarna alam ini adalah satu bahan bisa untuk beberapa warna, tinggal kita berapa kali celup," tuturnya.
“Satu pewarnaan biasanya 7-10 kali celup. Ini beda dengan warna sintetis atau kimia yang hanya dua kali celup sudah langsung keluar warna ngejreng (terang),” ujarnya.
Dalam proses membatik, malam (cairan lilin) digunakan sebagai perintang warna agar tidak bercampur. Setelah pewarnaan pertama selesai, maka bagian tersebut akan ditutup malam sehingga tidak bercampur dengan pewarnaan selanjutnya.
"Kalau ingin warna lebih pekat, kita harus mencelup berkali-kali. Tapi konseskuensinya nanti lapisan malam bisa pecah dan hasil akhirnya kurang bagus. Makanya saya biasanya hanya menggunakan tiga warna saja," jelasnya.
Editor : Enih Nurhaeni