Rajutan Tak Bertepi, Warisan Bu As Lintasi Batas Negeri

Kuasai Ekspor
Tas Asbag juga sering dikombinasikan dengan kulit asli maupun kulit ecoprint. Desainnya elegan dan tidak butuh penyangga tambahan, cocok untuk pasar premium.
Bu As tidak sendiri. Ia memberdayakan empat ibu-ibu sekitar rumahnya untuk merajut dan dua laki-laki untuk bagian jahit. “Semua freelance, rata-rata usia 50-an,” katanya.
Ia juga aktif memberi pelatihan. “Saya pernah ngajar mahasiswa di UMKM Center. Tapi banyak yang menyerah, bilangnya sulit. Padahal volunteer Jepang-Inggris saja bisa,” ujarnya.
Produk Asbag telah dibawa konsumen ke Australia, Jerman, Belanda, Hongkong, bahkan Rusia. “Pelanggan saya di Australia punya pabrik benang di Bandung. Dia penasaran, kok saya beli banyak. Akhirnya datang ke sini,” kisahnya.
Meski produknya mendunia, Bu As enggan ekspor langsung. “Ribet urusannya. Kalau dibeli lalu dibawa ke luar negeri ya malah senang,” katanya santai.
Harga produknya variatif. Pouch tanpa kulit mulai dari Rp150 ribu. Tas kombinasi kulit ecoprint bisa mencapai Rp1,3 juta. “Kulit ecoprint itu mahal, dan pengerjaannya rumit,” jelasnya.
Sejak tahun 2015, Bu As mulai memanfaatkan program Kredit Usaha Rakyat (KUR) dari BRI dan menjadi bagian dari UMKM binaan Rumah BUMN Semarang. Untuk memperkuat pondasi usahanya, ia pertama kali mengambil pinjaman sebesar Rp20 juta dengan bunga ringan hanya 3 persen per tahun.
Setelah pinjaman pertama selesai, ia kembali melanjutkan ke tahap berikutnya dengan mengajukan pinjaman kedua sebesar Rp50 juta. "Setelah pinjaman selesai, saya ditawari lagi untuk pinjam. Hingga sampai sekarang masih ada pinjaman berjalan," tutur Bu As.
Tambahan modal tersebut dimanfaatkan secara maksimal untuk memperkuat lini produksi—mulai dari pengadaan alat hingga pembelian bahan baku. Seiring waktu, diversifikasi produk pun terjadi. Tas rajut yang awalnya sederhana kini berkembang menjadi beragam model seperti dompet rajut, tas kombinasi kulit, tas dengan sentuhan ecoprint, bahkan motif batik yang disesuaikan dengan selera pasar.
Editor : Enih Nurhaeni