Wayang Kulit RW 11 Pudakpayung Sukses Besar, Wali Kota Semarang Turut Hadir

SEMARANG, iNEWSJOGLOSEMAR.ID – Puncak acara Sedekah Bumi RW 11, 1, dan 2 Pudakpayung, Banyumanik, Semarang, ditutup dengan pementasan wayang kulit semalam suntuk yang menyedot perhatian ribuan warga, Sabtu (24/5/2025) malam hingga Minggu dini hari. Cuaca cerah, sehingga penonton enggan beranjak dari kursinya hingga tancep kayon sebagai penanda pertunjukan wayang berakhir.
Panggung utama di Lapangan Abba Jalan Renjana Raya kembali dipadati penonton dari berbagai usia. Bahkan, di tengah malam, Wali Kota Semarang Agustina Wilujeng menyempatkan hadir di antara penonton setelah menghadiri serangkaian kegiatan masyarakat di berbagai wilayah Kota Semarang.
Ki Exwan Susanto, dalang muda asal Sragen, memimpin pertunjukan wayang kulit dengan lakon "Semar Gumregah". Dengan gaya khas dan kreativitas yang segar, ia sukses membangun suasana panggung yang hangat dan akrab.
"Selain kita kreasi dari wayang-wayang model baru yang raksasa, kita juga menggarap iringan yang belum pernah digarap oleh teman-teman. Membuat gaya panggung gojekan yang mungkin beda sama yang lain," kata Ki Exwan.
Menurutnya, setiap pementasan selalu menyesuaikan dengan lingkungan dan karakter penontonnya. Pementasan itu semakin lengkap dengan enam sinden muda dan banyolan segar dari pelawak Gareng Tralala.
"Saya kira setiap kali ada pementasan di sini itu biasanya kadang ada spontan, ada pemikiran lain. Biasanya ketemu, menyesuaikan sama lingkungan setempat," ujarnya.
Yang menarik, sebagian besar nayaga atau penabuh gamelan merupakan anak-anak muda. Ki Exwan menjelaskan, mereka tergabung dalam satu sanggar bernama Kukilo Laras yang berbasis di Ngawi.
“Teman-teman itu saya rangkul, yuk kita berinovasi, kita masih muda, harus punya kreativitas dalam dunia seni, supaya ke depan bisa diterima semua lapisan masyarakat,” ungkapnya.
Anggota sanggar tersebut datang dari berbagai daerah seperti Sragen dan Ngawi. “Di dunia seni, masuk jadi pegawai negeri itu susah. Makanya saya kumpulkan teman-teman dalam satu wadah sanggar Kukilo Laras. Kadang ada waktu rutin latihan, membahas karya-karya baru,” tambahnya.
Ia juga menjelaskan makna dari nama Greng sebagai identitas kelompoknya. “Greng itu bisa diartikan Generasi Remaja Eling Neng Gawean, atau Generasi Remaja Eling Neng Kabudayan untuk Grenk. Intinya kita sebagai anak muda, ayo terus berkarya,” ucap Ki Exwan.
Pementasan kedua di RW 11 Pudakpayung, menurut Ki Exwan, terasa sangat dekat secara emosional. “Alhamdulillah, berhubung kita sama beliau-beliau itu sudah seperti keluarga, jadi saya sangat menikmati. Seolah bukan orang lain, seperti keluarga sendiri. Beliau orang tua saya, saya adalah anaknya. Jadi ketika pentas itu rasanya lebih mudah,” tuturnya penuh syukur.
Sementara itu, Ketua RW 11 Pudakpayung, Sulistijono, SE.Ak.MSi, menyatakan bahwa tradisi apitan seperti ini merupakan warisan budaya turun-temurun. “Kegiatan atau tradisi melestarikan budaya yang ada di Pudakpayung ini memang sudah ada sejak dulu. Dimulai dari Dukuh Krajan, kemudian sampai di kita, yaitu di Dawung, termasuk di RW 11 ini,” terangnya.
Menurut Sulistijono, kegiatan apitan selalu diadakan di antara Idulfitri dan Iduladha. “Puncaknya dengan mengadakan kegiatan wayang kulit semalam suntuk. Tujuannya mengembangkan budaya yang sudah kita punya sejak dulu, yaitu melestarikan tradisi, menguri-uri budaya Jawa, wayang kulit,” ucapnya.
Ia menyebut, wayang kulit adalah potret kehidupan. “Jagat pewayangan adalah potret dari kita. Jadi apa-apa yang ada di cerita wayang itu merupakan potret dari kita: ada yang seperti Kurawa, Pandawa, dan semua ada di situ. Kita bisa mengambil hikmah dari cerita-cerita tersebut,” jelas Sulistijono.
Ia juga menambahkan bahwa kegiatan apitan didukung sepenuhnya oleh warga. “Bahkan dari luar RW juga ikut mendukung. Masyarakat sekaligus mengembangkan ekonomi. UMKM dan pedagang turut meramaikan di luar area pewayangan. Cukup banyak, untuk membina perekonomian masyarakat,” katanya.
RW 11 sendiri, kata Sulistijono, juga menyisipkan bentuk kreativitas baru. “Sebelum wayangan, kita gelar seni budaya untuk anak muda, seperti musik indie, tarian modern, dan sebagainya. Jadi kita mengikuti zaman yang ada, tapi tetap melestarikan budaya seperti wayang kulit dan jathilan yang telah kita gelar,” pungkasnya.
Pementasan ini menjadi penutup yang meriah dari seluruh rangkaian kegiatan Sedekah Bumi RW 11 Pudakpayung, yang dimulai dari pertunjukan jathilan siang hari, bazar UMKM, hingga puncaknya wayangan. Warga berharap tradisi ini bisa terus dilestarikan dan diwariskan kepada generasi muda.
Editor : Enih Nurhaeni