get app
inews
Aa Text
Read Next : Dorong Daya Saing UMKM di Jawa Tengah, Mal Ini Coba Buka Pusat Sembako Murah

Pujasera Energi, Pusat Kuliner yang Hidup dari Sinar Matahari

Kamis, 30 Oktober 2025 | 13:19 WIB
header img
Pujasera Energi, Pusat Kuliner yang Hidup dari Sinar Matahari. Foto: Taufik Budi

Ekosistem Energi Hijau

Proyek PLTS hybrid di Pujasera Energi merupakan bagian dari komitmen Pertamina mendorong transisi energi berbasis komunitas. Langkah ini mendukung target nasional Net Zero Emission 2060, dengan memperluas pemanfaatan energi surya dan angin.

Area Manager Communication, Relations, and Corporate Social Responsibility (CSR) PT Pertamina Patra Niaga Jawa Bagian Tengah, Taufiq Kurniawan, menjelaskan bahwa Pujasera Energi di Semarang merupakan contoh penerapan energi baru terbarukan (EBT) berbasis Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) dengan sistem off-grid.

“Pujasera Energi ini menggunakan energi baru terbarukan melalui sistem PLTS off-grid. Sistem ini hanya menyerap energi matahari pada siang hari, lalu menyalurkannya kembali pada malam hari,” ujar Taufiq.

Dari sisi teknis, sistem panel surya di Pujasera Energi terdiri atas 20 lembar modul fotovoltaik yang mampu menghasilkan daya listrik total 5 kilowatt-hour (kWh) per hari. Energi tersebut disimpan melalui sistem off-grid dengan baterai penyimpanan berkapasitas menengah, sehingga daya yang dihasilkan pada siang hari dapat dimanfaatkan untuk penerangan dan kebutuhan operasional pada malam hari.

Dengan sistem tersebut, masyarakat pesisir yang tergabung dalam kelompok pengelola Pujasera kini mampu menghemat biaya listrik secara signifikan.

“Sebelumnya, untuk kebutuhan penerangan dan operasional, kelompok ini harus membayar listrik sekitar Rp600 ribu per bulan. Setelah menggunakan PLTS, biayanya turun menjadi sekitar Rp200 ribu per bulan, artinya ada penghematan sekitar Rp400 ribu setiap bulan,” jelasnya.

Lebih lanjut, Taufiq menegaskan bahwa konsep Pujasera Energi dirancang untuk meringankan beban operasional, meningkatkan efisiensi pengeluaran masyarakat, sekaligus mendorong kemandirian energi di tingkat komunitas.

“Konsep ini bertujuan meringankan beban operasional dan pengeluaran kelompok, serta ke depan bisa dimanfaatkan untuk kegiatan sosial kemasyarakatan,” ungkapnya.

Selain Pujasera Energi, Pertamina Patra Niaga juga menjalankan program lain seperti Desa Energi Berdikari (DEB) dan Sekolah Energi Berdikari (SEB), yang memiliki tujuan serupa: memperluas akses masyarakat terhadap energi bersih dan berkelanjutan.

“Kami juga mengembangkan Desa Energi Berdikari dan Sekolah Energi Berdikari untuk memperkuat gerakan menuju Indonesia Net Zero Emission tahun 2060,” tutur Taufiq.

Pemerintah telah menargetkan 76 persen dari tambahan kapasitas pembangkit listrik nasional sebesar 69,5 gigawatt (GW) hingga tahun 2034 akan bersumber dari energi terbarukan dan sistem penyimpanan energi.

Sejalan dengan arah kebijakan tersebut, Pertamina terus memperluas program Desa Energi Berdikari (DEB) yang kini telah hadir di 176 lokasi di seluruh Indonesia. Pertumbuhan sektor energi hijau ini diperkirakan akan mendorong penyerapan tenaga kerja hingga 836 ribu orang di bidang pembangkitan dan rantai pasok energi bersih.

Berdasarkan data Kementerian ESDM, hingga Juli 2025, pemerintah mencatat bahwa kapasitas Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) atap yang telah terpasang di Indonesia mencapai 538 megawatt peak (MWp), dengan sekitar 10.882 pelanggan telah memanfaatkan teknologi energi bersih tersebut. Padahal, potensi teknis energi terbarukan nasional mencapai lebih dari 3.700 gigawatt (GW), namun tingkat pemanfaatannya—terutama untuk PLTS dan Pembangkit Listrik Tenaga Bayu (PLTB)—masih tergolong rendah dibandingkan kapasitas yang tersedia.

Pakar Ekonomi Universitas Diponegoro, Dr. Jaka Aminata, menyebut langkah Pertamina melalui proyek PLTS–PLTB hybrid di Pujasera Energi menjadi sinyal kuat bahwa transisi energi di Indonesia mulai bergerak dari pusat ke akar rumput. Di tengah isu perubahan iklim global dan tekanan untuk menekan emisi karbon, inisiatif ini bukan sekadar mengganti sumber energi fosil dengan energi baru terbarukan (EBT), tetapi juga membangun ekosistem ekonomi baru — yang lebih efisien, berkeadilan, dan berkelanjutan.

“Selama ini, EBT sering dianggap urusan teknologi mahal dan kebijakan tingkat nasional. Namun proyek seperti PLTS membuktikan hal sebaliknya: transisi energi bisa dimulai dari masyarakat, dengan manfaat ekonomi nyata — terutama bagi pelaku usaha kecil dan komunitas daerah berkembang seperti Semarang,” lanjutnya.

Pertamina, sebagai BUMN energi nasional, kini tidak lagi sekadar produsen bahan bakar fosil. Melalui proyek PLTS di Pujasera Energi, Pertamina membangun ekosistem energi terbarukan. Sistem ini memungkinkan masyarakat menikmati pasokan listrik yang stabil, hemat, dan ramah lingkungan.

“Dari sisi makroekonomi, transisi energi hijau adalah kebutuhan mendesak, bukan semata karena tekanan global, tetapi karena realitas ekonomi domestik. Ketergantungan terhadap impor bahan bakar fosil membuat Indonesia rentan terhadap fluktuasi harga minyak dunia dan menekan neraca perdagangan,” beber dia.

Dengan memperluas pemanfaatan energi surya dan angin, Indonesia dapat menghemat devisa, memperkuat ketahanan energi, dan mempercepat industrialisasi hijau yang menjadi fondasi ekonomi masa depan. Namun esensi proyek ini bukan pada teknologinya semata, melainkan pada model partisipatif yang melibatkan masyarakat dan UMKM.

“Energi hijau tidak berhenti sebagai jargon, melainkan menjadi alat pemberdayaan ekonomi yang nyata,” tegasnya.

Editor : Enih Nurhaeni

Follow Whatsapp Channel iNews untuk update berita terbaru setiap hari! Follow
Lihat Berita Lainnya
iNews.id
iNews Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik lebih lanjut