Pujasera Energi, Pusat Kuliner yang Hidup dari Sinar Matahari
Meningkatkan Daya Saing UMKM
Bagi UMKM, biaya energi adalah salah satu komponen terbesar dalam struktur biaya produksi. Di sektor kuliner hingga pengolahan hasil laut, listrik dapat mencapai 30% dari total biaya operasional.
Melalui sistem PLTS, UMKM mampu menekan pengeluaran energi hingga 40–60%, tergantung skema kepemilikan. “Dalam model Power Purchase Agreement (PPA), misalnya, pelaku usaha cukup membayar listrik sesuai pemakaian tanpa investasi awal besar. Efisiensi ini dapat dialihkan untuk inovasi produk, perluasan pasar, atau peningkatan kesejahteraan pekerja,” ujarnya.
Lebih dari sekadar efisiensi, penggunaan energi hijau juga meningkatkan nilai jual dan citra usaha. Konsumen global kini semakin sadar terhadap keberlanjutan; produk dengan jejak karbon rendah lebih diminati. Dengan demikian, energi hijau menjadi modal tak kasat mata yang memperkuat daya saing UMKM, baik di pasar domestik maupun global.
“Proyek komunitas seperti PLTS di Pujasera Energi menciptakan rantai nilai ekonomi baru yang tidak hanya bergantung pada Pertamina, tetapi juga melibatkan teknisi lokal, universitas, startup teknologi energi, dan koperasi masyarakat,” imbuhnya.
“Dalam konteks kota menengah seperti Semarang, dampaknya bisa langsung dirasakan. Proyek energi hijau mendorong munculnya green jobs, mulai dari perakitan panel surya, pemeliharaan turbin angin, hingga monitoring digital berbasis Internet of Things (IoT),” bebernya melanjutkan.
Menurut studi Bank Dunia, setiap 1 MW energi terbarukan menciptakan 40–60 lapangan kerja langsung, belum termasuk efek berantai di sektor jasa dan perdagangan. Jika ekosistem seperti Pujasera direplikasi di 100 kota menengah Indonesia, potensinya mencapai puluhan ribu lapangan kerja baru dalam lima tahun ke depan.
Proyek berbasis komunitas juga dinilai membuka peluang besar bagi investasi hijau (green investment). Investor kini mencari proyek berakar sosial dengan risiko rendah dan dampak nyata.
“Dengan partisipasi publik yang tinggi, proyek seperti Pujasera dinilai berkelanjutan dan inklusif. Ini adalahfaktor yang sangat dicari investor global,” jelasnya.
Ia melanjutkan, keberhasilan proyek PLTS–PLTB hybrid tidak bisa bertumpu pada satu aktor. Diperlukan kolaborasi tiga arah antara pemerintah, BUMN/swasta, dan masyarakat.
“Pemerintah menyediakan regulasi dan insentif fiskal, seperti pembebasan bea impor panel surya atau kredit hijau berbunga rendah. Kemudian BUMN dan swasta bertindak sebagai katalis investasi dan transfer teknologi,” terangnya.
“Selanjutnya adalah komunitas dan UMKM berperan sebagai pengguna sekaligus pengelola energi, agar proyek tidak berhenti pada tahap percontohan,” ungkap pria asal Yogyakarta itu.
Konsep ini dikenal sebagai Just Energy Transition, yaitu transisi energi yang bukan hanya mengejar dekarbonisasi, tetapi juga memastikan pemerataan manfaat ekonomi. Masyarakat tidak sekadar menjadi penonton, melainkan aktor utama dalam revolusi energi nasional.
Pujasera Energi memberi pelajaran penting: transisi energi bisa dimulai dari komunitas kecil dengan dampak besar. Jika setiap kota menengah memiliki satu kawasan energi seperti ini, Indonesia dapat membangun jaringan “kota energi hijau” — ramah lingkungan, produktif, dan inklusif.
“Transisi energi bukan sekadar mengganti bensin dengan listrik atau batu bara dengan matahari, melainkan membangun ekonomi baru yang efisien, adil, dan berkelanjutan,” pungkasnya.
Editor : Enih Nurhaeni