get app
inews
Aa Text
Read Next : Jateng Genjot Energi Terbarukan, Industri Didorong Gunakan PLTS Atap

Emas Hijau dari Limbah Oli Bekas, Terobosan Energi Bersih di Tambang Martabe

Rabu, 12 November 2025 | 07:27 WIB
header img
Emas Hijau dari Limbah Oli Bekas, Terobosan Energi Bersih di Tambang Martabe. Foto: Ist

 

TAPANULI SELATAN, iNewsJoglosemar.id - Di lembah berhawa lembap Batang Toru, Sumatera Utara, suara mesin tambang berpadu dengan desau angin yang menuruni perbukitan. Dari kejauhan, truk-truk raksasa melintas seperti semut baja, membawa bebatuan hasil galian dari perut bumi.

Namun di balik hiruk-pikuk aktivitas itu, tersimpan persoalan yang diam-diam menghantui industri pertambangan: oli bekas. Selama bertahun-tahun, pelumas sisa dari alat berat tambang hanya dipandang sebagai limbah berbahaya.

Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2021, oli bekas termasuk Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) karena mengandung logam berat seperti timbal, kadmium, dan nikel yang sulit terurai. Setiap liter oli bekas yang dibuang sembarangan dapat mencemari hingga 1 juta liter air tanah, menurut data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK, 2023).

Bagi perusahaan tambang seperti PT Agincourt Resources (PTAR), volume limbah ini bisa mencapai puluhan ton per tahun—angka yang tak bisa diabaikan. Di saat banyak perusahaan memilih jalur konvensional, mengirim limbah ke pengolah eksternal berizin seperti PT Prasadha Pamunah Limbah Industr (PPLI), PTAR justru memilih jalan berbeda, mengubah limbah itu menjadi energi.

Sebuah gagasan yang lahir bukan dari laboratorium universitas besar, melainkan dari percakapan sederhana di lapangan. “Awalnya kami hanya ingin mencari cara agar oli bekas ini tidak sekadar dibuang,” tutur Rudolf Sitorus, Superintendent Drill Blast PTAR, Kamis (6/11/2025).

Dari niat kecil itu, lahir inovasi besar yang kini mengubah cara industri memandang limbah. ”Jadi, kami di Martabe ini memang sudah ada gen inovasi lah dari dulu. Kami biasa sebut itu Martabe Improvement Program,” lanjutnya.

Gagasan tersebut berkembang menjadi proyek bertajuk Waste Oil Purification Treatment Through Vacuum Chamber as Emulsion Base for Blasting Phase. Intinya, memurnikan oli bekas agar bisa digunakan kembali sebagai pengganti solar dalam bahan peledak tambang.

Teknologinya disebut Hypobaric Fraction Separator — sistem pemanasan dan penyaringan bertekanan rendah yang mampu menghilangkan kandungan logam berat, air, dan kotoran mikroskopis dalam oli bekas. Suhu optimalnya dijaga di kisaran 85°C, agar struktur molekul pelumas tidak rusak.

“Prosesnya dua tahap, filtrasi dan penguapan,” kata Rudolf menjelaskan.

Oli yang telah melalui pemurnian ini diuji laboratorium setiap batch. Jika kandungan logam masih tinggi atau kelembapan belum ideal, proses diulang hingga memenuhi spesifikasi.

Uji stabilitas termal menunjukkan hasil menggembirakan. Nilai kalor oli bekas yang telah dimurnikan mencapai 42.000 kJ/kg, mendekati nilai kalor solar industri (43.500 kJ/kg) menurut data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). Artinya, energi yang dihasilkan cukup untuk menggantikan bahan bakar fosil dalam proporsi besar.

Hasilnya, kini 80% komponen bahan bakar solar dalam komposisi bahan peledak di tambang Martabe telah digantikan oleh oli hasil daur ulang. Manfaat ekonominya langsung terasa.

Berdasarkan laporan internal PTAR yang disampaikan ke KLHK melalui sistem SIMPEL (Sistem Informasi Pelaporan Elektronik Lingkungan Hidup), volume pemanfaatan limbah pelumas mencapai 37 ton per tahun pada 2022. Setiap pemanfaatan dilaporkan secara daring, dan diverifikasi dalam bentuk laporan cetak setiap tiga bulan.

Dari program tersebut, PTAR mencatat penghematan biaya hingga Rp548.960.820 pada tahun yang sama. Angka itu berasal dari kombinasi tiga pos: pembelian solar yang berkurang, pengurangan biaya transportasi limbah, dan efisiensi pengelolaan B3.

Dampak lingkungannya pun signifikan. Berdasarkan hasil analisis Life Cycle Assessment (LCA) tahun 2024, inovasi ini menekan Global Warming Potential (GWP) sebesar 441,975 ton CO₂ ekuivalen, serta mengurangi potensi acidification dan eutrophication yang biasanya muncul dari pembakaran bahan bakar fosil.

“Bayangkan, oli yang dulu jadi beban kini justru jadi sumber daya,” ujar Rudolf. “Kita hemat energi, hemat biaya, dan yang paling penting, menjaga bumi.”

Menjaga Garis Aman

Namun, inovasi di dunia bahan peledak tak pernah lepas dari risiko. Setiap komposisi harus presisi. Jika kadar logam terlalu tinggi, bisa memicu reaksi spontan sebelum waktunya.

“Ini (proses) enggak boleh salah. Enggak boleh salah. Tidak boleh salah,” katanya berulang sembari menegaskan.

Untuk itu, PTAR menetapkan protokol keselamatan berlapis. Mulai dari pemisahan jenis oli (transmisi, hidrolik, mesin) hingga pengujian harian viskositas dan titik nyala. Semua proses diawasi oleh tim keselamatan dan divalidasi oleh KLHK setiap tiga bulan.

“Kami belajar bahwa sains dan keselamatan tidak bisa dipisahkan. Semakin presisi pengujian, semakin stabil hasilnya,” kata Rudolf.

Teknologi Hypobaric Fraction Separator kemudian diintegrasikan dengan sistem produksi bahan peledak berbasis emulsi, memungkinkan pencampuran ammonium nitrat lebih homogen. Dengan molekul lebih halus, energi ledakan meningkat tanpa menambah volume bahan bakar.

Dalam laporan riset internal PTAR yang diunggah di situs resmi perusahaan (AgincourtResources.com, 2025), tercatat bahwa sepanjang 2024 telah diolah 321,26 ton minyak pelumas bekas, dengan 155,15 ton berhasil dimanfaatkan kembali untuk operasional tambang.

Bahan bakar hasil daur ulang ini menggantikan konsumsi solar hingga 60.000 liter per tahun — setara dengan pengurangan emisi karbon sekitar 161 ton CO₂ berdasarkan konversi Kementerian ESDM (1 liter solar ≈ 2,68 kg CO₂).

Rangkaian riset ini dimulai sejak 2021, dengan uji coba di laboratorium internal PTAR dan pengujian lapangan di area blasting. Persetujuan resmi dari KLHK diperoleh pada 2022, dan sistem Hypobaric mulai beroperasi penuh pada 2023.

Kegiatan ini dijalankan oleh tim Mining PTAR. Seluruh proses dilakukan melalui fasilitas Waste Oil Processing Plant (WOPP), yaitu instalasi pengolahan limbah B3 yang digunakan untuk memproduksi bahan peledak emulsi di tambang emas Martabe.

Limbah yang dapat diolah di fasilitas ini adalah minyak pelumas bekas dengan kode Limbah B105d. Pengelolaan ini telah mendapat Persetujuan Teknis dari KLHK melalui surat Nomor S.192/PSLB3/PLB3/PLB.3.3.2022, serta Surat Kelayakan Operasional (SLO) Nomor S.588/PSLB3/PLB3/PLB.3/9/2022 yang diterbitkan pada 30 September 2022.

Proses pengolahan limbah pelumas bekas dimulai dari pengumpulan oli yang dihasilkan dari aktivitas perbaikan unit di workshop. Limbah tersebut dikirim ke WOPP menggunakan service truck, lalu dimasukkan ke Dirty Oil Tank di fasilitas pengolahan.

“Nah yang paling banyak logamnya itu kan di transmisi. Karena besi sama besi ketemu, ya banyak logamnya itu kita pisahkan. Udah enggak kita saring. Yang banyak kita gunakan itu adalah oli hidrolik,” jelasnya.

Tahap berikutnya adalah pretreatment, yaitu proses filtrasi dan pemurnian (purifikasi) menggunakan Treatment Waste Oil Module System. Hasilnya dialirkan melalui pipa menuju Clean Oil Tank.

Sementara itu, Ammonium Nitrate Prill dimasukkan ke dalam Tangki Meltdown dengan forklift untuk diolah menjadi oxidizer. Limbah pelumas bekas, oxidizer, dan emulsifier kemudian dialirkan secara terpisah ke Tangki Pencampur (Ribbon Blender) untuk dicampur menjadi bahan peledak emulsi, dengan komposisi maksimal pelumas bekas sebesar 3,62%.

Produk akhir disalurkan ke Tangki Penyimpan Produk Emulsi, lalu dipompa ke truk Mobile Processing Unit (MPU) untuk digunakan langsung di lokasi peledakan tambang.

“Kalau oil engine masih kita pakai, tapi oli transmisi kita pisahkan. Itulah yang masih kita buang. Jadi di awal pun kita pisahkan. Jangan sampai nanti si logamnya malah membuat bahan peledaknya berbahaya. Dan kita saring lagi, dari situ dapat seting-nya,” beber dia.

Program 3R untuk limbah B3 ini memberikan berbagai manfaat strategis bagi perusahaan dan lingkungan. Pertama, meningkatkan efektivitas pengelolaan limbah berbahaya melalui pemanfaatan energi yang terkandung dalam pelumas bekas sebagai bahan pengganti solar.

Kedua, program ini mengurangi biaya dan ketergantungan terhadap solar, terutama saat terjadi kelangkaan atau kenaikan harga bahan bakar. Ketiga, kegiatan ini turut menekan biaya pengelolaan limbah B3 yang sebelumnya harus ditangani oleh pihak eksternal melalui transporter dan pengolah berizin.

Program ini juga sejalan dengan Kebijakan 3R Limbah B3 Nasional (KLHK, 2023) yang menargetkan minimal 30% limbah B3 dikelola melalui proses reuse, recycle, atau recovery pada 2030. PTAR menjadi salah satu contoh implementasi di sektor tambang logam mulia.

“Pendekatan 3R ini bukan hanya slogan, tapi strategi menuju ekonomi sirkular,” ujar Bayu Ariyanto, Superintendent Environmental Monitoring PTAR. “Kami mengubah paradigma dari buang menjadi pakai ulang.”

Energi Hijau dan SDGs

Bayu menjelaskan, inovasi ini juga berkontribusi terhadap Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs), khususnya poin 12.4.2(b) yang mengukur proporsi limbah B3 yang diolah berdasarkan jenis penanganan. Dalam laporan keberlanjutan PTAR, indikator tersebut tercapai penuh.

Secara nasional, Indonesia menargetkan 23% bauran energi terbarukan pada 2025 (ESDM, 2024). Inovasi seperti ini memperluas definisi energi hijau—tidak hanya soal sumber baru, tapi juga soal efisiensi penggunaan sumber lama.

“Program ini menghasilkan penghematan biaya Rp2,28 miliar pada 2024. Serta mendukung pencapaian SDGs ke-12 tentang konsumsi dan produksi berkelanjutan, khususnya terkait penanganan limbah B3,” jelasnya.

PTAR berkomitmen terus mengembangkan inovasi pemanfaatan limbah B3 untuk efisiensi energi di lingkungan operasional tambang Martabe. Di titik ini, tambang emas Martabe tidak lagi sekadar lokasi produksi logam mulia, tetapi juga laboratorium hidup untuk teknologi ramah lingkungan.

“Kami ingin Martabe dikenal bukan hanya karena emasnya, tapi juga karena ide-idenya,” imbuh Rudolf.

Sebagai bentuk pengakuan, inovasi ini mengantarkan PTAR meraih Penghargaan Gold pada ajang Eco-Tech Pioneer and Sustainability Award (EPSA) 2025, yang digelar oleh Departemen Teknik Lingkungan Universitas Diponegoro (UNDIP), Semarang.

EPSA 2025 mengusung tema “Swarna Lestari Nusantara”, mengapresiasi inovasi teknologi yang menjaga keseimbangan antara produktivitas industri dan kelestarian lingkungan. PTAR memborong tujuh penghargaan sekaligus, dua di antaranya kategori Gold untuk Hypobaric Fraction Separator dan Closed-Loop Energy Reclamation.

Wakil Rektor Riset, Inovasi, Kerja Sama, dan Komunikasi Publik Universitas Diponegoro, Wijayanto, S.IP., M.Si., Ph.D., menegaskan bahwa persoalan lingkungan kini menjadi tantangan yang tak bisa ditunda lagi. Menurutnya, EPSA merupakan salah satu bentuk komitmen nyata dari dunia akademik untuk mendorong sinergi lintas sektor antara riset dan praktik industri dalam menjaga stabilitas ekosistem.

“Masalah lingkungan saat ini merupakan masalah yang mendesak perlu dituntaskan. EPSA merupakan penghargaan dari Departemen Teknik Lingkungan Undip ditujukan kepada perusahaan yang telah menunjukkan dan menerapkan inovasi teknologi untuk menjaga stabilitas lingkungan,” ujarnya.

“Melalui riset dan inovasi, kami sebagai lembaga akademik mendorong pelestarian lingkungan. Kami juga mengajak badan usaha dan masyarakat untuk ikut serta. Karena itu, kami sangat menghargai partisipasi perusahaan dalam menuntaskan isu-isu lingkungan, untuk bersama-sama menuju ekosistem hijau yang berkelanjutan,” tambah Wijayanto.

Sementara itu, Kepala Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Jawa Tengah, Widi Hartanto, menyebut EPSA kini telah menjadi tolok ukur (benchmark) bagi perusahaan yang berkomitmen pada efisiensi dan inovasi ramah lingkungan. Ia menjelaskan, dalam kurun 2023–2024 terdapat 268 perusahaan peserta PROPER di Jawa Tengah, dengan 154 perusahaan meraih peringkat Biru — tanda kepatuhan terhadap peraturan lingkungan hidup.

“Selama tiga tahun terakhir EPSA telah menjadi benchmark bagi dunia usaha yang berkomitmen pada inovasi dan teknologi demi pelestarian lingkungan,” ungkap Widi.

Lebih jauh, Widi menambahkan, bagi perusahaan yang telah menerapkan prinsip efisiensi energi dan air, mengurangi pencemaran, serta mengelola limbah dengan prinsip 3R (Reduce, Reuse, Recycle), pemerintah memberikan apresiasi tertinggi.

Ia menekankan, tantangan perubahan iklim seperti banjir, kekeringan, dan pencemaran lingkungan semakin nyata dan membutuhkan kolaborasi lintas sektor. “Ada tantangan krisis iklim yang kita hadapi seperti banjir, kekeringan, pencemaran lingkungan. Maka itu, upaya-upaya dan komitmen pelaku usaha perlu ditingkatkan,” tutur Widi.

Bagi Prof. Dr. Denny Nugroho Sugianto, S.T., M.Si., pakar lingkungan dari Universitas Diponegoro, pengelolaan limbah di sektor pertambangan tidak bisa dilihat semata dari sisi teknologi. Ada aspek moral, sosial, dan ekologis yang harus berjalan berdampingan.

“Saat ini ketika kita melakukan eksplorasi terhadap sumber daya alam, ini menjadi satu hal yang cukup ironis juga ya, karena di satu sisi kita mengeksploitasi alam, di sisi lain lingkungan pasti terdampak. Hal yang paling penting adalah bagaimana kita menerapkan sistem sustainability,” ujarnya.

Konsep pembangunan berkelanjutan, kata Prof. Denny, mencakup tiga pilar utama: ekonomi, sosial, dan lingkungan.

“Tambang yang bagus itu pasti memperhatikan ketiga pilar ini. Tidak hanya aspek ekonomi, tapi bagaimana aspek sosial dan lingkungan juga dijaga,” jelasnya.

Ia mengapresiasi langkah perusahaan besar yang mulai berkomitmen menerapkan sistem Sustainable Development Goals (SDGs) secara nyata. Menurutnya, penerapan prinsip keberlanjutan di sektor tambang bisa menjadi kunci agar kegiatan eksplorasi tidak menimbulkan degradasi lingkungan jangka panjang.

“Kementerian Lingkungan Hidup saat ini sudah sangat powerful untuk menegakkan hukum lingkungan hidup. Karena itu, pelaku tambang yang besar umumnya mulai melakukan upaya-upaya pengendalian lingkungan dengan serius,” kata Denny.

Prof. Denny juga menyoroti persoalan limbah minyak yang umum ditemukan di kegiatan tambang, baik tambang emas, nikel, maupun batu bara.

“Beberapa pelaku usaha tambang sudah menerapkan recycle. Jadi minyak itu tidak dibuang, tapi diolah atau dimanfaatkan lagi menjadi kepentingan lain. Itu bagus sekali karena artinya kita mulai menuju sistem zero waste,” tuturnya.

Baginya, pemanfaatan ulang limbah seperti oli bekas sebagaimana dilakukan PTAR melalui WOPP, adalah penerapan prinsip 3R (Reduce, Reuse, Recycle) di dunia industri ekstraktif.

“Pemanfaatan kembali limbah minyak akan menjadi semakin optimal ketika kita menganut prinsip reuse dan recycle. Ujungnya adalah zero waste. Tambang bisa tetap berjalan, tapi alam juga bisa berkelanjutan,” tegasnya.

Prof. Denny juga menekankan pentingnya kolaborasi lintas sektor — industri, akademisi, dan pemerintah — agar kebijakan lingkungan tidak berhenti di atas kertas.

“Saya kira ada baiknya ketika perusahaan tambang selalu memperhatikan aspek lingkungan sekecil apa pun. Karena itulah kehidupan kita. Jangan sampai kita merusak lingkungan hanya untuk kepentingan sesaat yang nantinya anak cucu kita yang terdampak,” tandasnya.

Inovasi PTAR itu mengajarkan bahwa keberlanjutan bukan hanya tentang menanam pohon, tetapi tentang berpikir ulang terhadap setiap tetes limbah. Bahwa di balik hitam pekat oli bekas, tersimpan potensi energi yang bisa menyalakan masa depan.

“Bagi kami, setiap tetes oli, setiap butir tanah, dan setiap kilowatt energi adalah tanggung jawab,” tutup Rudolf Sitorus.

Editor : Enih Nurhaeni

Follow Whatsapp Channel iNews untuk update berita terbaru setiap hari! Follow
Lihat Berita Lainnya
iNews.id
iNews Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik lebih lanjut