Banjir rob dan abrasi yang terus meningkat menyebabkan banyak warga harus meninggalkan desanya. Jembatan kayu yang digunakan sebagai catwalk dalam acara ini pun merupakan hasil gotong royong warga dari kayu-kayu bekas rumah yang tenggelam.
“Peragaan busana ini lebih dari sekadar pertunjukan fesyen. Ini adalah simbol ketahanan warga pesisir dalam menghadapi perubahan iklim. Kami ingin menunjukkan bahwa ada masyarakat yang masih bertahan dengan segala keterbatasan, dan mereka membutuhkan solusi nyata, bukan hanya adaptasi terpaksa,” tegas Leya.
Selain menampilkan koleksi dari UMKM binaan BRI, fesyen show ini juga melibatkan berbagai komunitas kreatif, seperti Patanning.co dari Sumba Timur, Zie Batik dari Semarang, Swarna Bumi Ecoprint dari Nganjuk, hingga Nine Penenun dari Lombok Timur. Para model yang berjalan di atas jembatan kayu bukan hanya profesional, tetapi juga ibu-ibu nelayan dan aktivis lingkungan.
Lasmiyah, seorang perempuan nelayan yang ikut dalam peragaan busana ini, mengungkapkan bahwa pengalaman tersebut adalah yang pertama baginya. “Biasanya saya membantu suami mencari nafkah, ini baru pertama kali ikut fesyen show seperti ini. Untuk bajunya dikasih dari para aktivis itu, bagus bajunya, adem, enak dipakai, dan katanya ramah lingkungan,” ujarnya.
Namun di balik momen spesial ini, ia juga menceritakan bagaimana hidupnya semakin sulit akibat banjir rob yang tidak kunjung surut. “Dulu kami bisa hidup lebih tenang, tapi sekarang desa ini sudah seperti lautan. Rumah-rumah tenggelam, semua serbasusah,” katanya.
Fesyen show ini diharapkan dapat memberikan dampak lebih luas, bukan hanya bagi industri fesyen berkelanjutan tetapi juga bagi kesadaran akan pentingnya aksi nyata menghadapi perubahan iklim. Dengan keterlibatan UMKM binaan BRI, komunitas lokal, dan berbagai pihak lainnya, acara ini menjadi bukti bahwa fesyen bisa menjadi alat advokasi sosial dan lingkungan yang kuat.
Editor : Enih Nurhaeni
Artikel Terkait